BENARKAH proses pembangunan nasional selama 15 tahun terakhir ini merupakan proses pemiskinan? Presiden Soeharto, mempersoalkan hal ini pekan lalu, waktu ia berbicara dengan kelompok pelestari lingkungan sumber daya alam di Desa Made, Wonogiri, Jawa Tengah. Pertemuan itu merupakan puncak acara Pekan Penghijauan Nasional ke-25. Tanpa digembar-gemborkan, kata Presiden, dunia kini mengakui bahwa usaha pembangunan pertanian Indonesia berhasil. Bahkan pertengahan November lalu Presiden Soeharto diundang menghadiri sidang FAO di Roma untuk menjelaskannya. "Tapi ternyata di dalam negeri ada yang mengatakan seolah-olah proses pembangunan kita selama 15 tahun ini, bahkan 18 tahun, merupakan proses pemiskinan terhadap rakyat kita," ujar Kepala Negara. Presiden tidak mengungkapkan siapa yang dimaksudnya. Ia hanya menyebut "para pengamat ekonomi dan para ahli". Sebagai bukti terjadinya proses pemiskinan, para ahli itu menunjukkan jumlah petani yang memiliki lahan sempit makin lama makin bertambah sempit. Padahal, kata Presiden, pembangunan memang mengusahakan agar rakyat yang memiliki lahan yang sempit makin kecil jumlahnya, karena kehidupan mereka harus lebih di tingkatkan. "Tapi mereka mempunyai penilaian bahwa makin kecil itu karena tanahnya dijual kepada petani yang lebih kaya." Presiden membantah itu. Menurut Sensus 1980, pemilik lahan di bawah 0,5 hektar berjumlah hampir 11 juta, dan pada Sensus 1983 jumlahnya menurun menjadi 8,75 juta. "Tapi tidak betul kalau penurunan itu karena tanahnya beralih kepada mereka yang memiliki tanah yang luas." Sebagai bukti, Presiden menunjuk hasil Sensus 1980: pemilik tanah di atas 0,5 hektar hanya 6,5 juta. Sedang dalam Sensus 1983 jumlahnya menjadi 10 juta. Pertambahan ini, menurut Kepala Negara, membuktikan bahwa teori yang mengatakan lahan sempit yang dimiliki petani kecil semakin sempit, sementara pemilik lahan luas semakin besar jumlahnya, "sama sekali tidak benar". Angka sensus yang dikutip Presiden berasal dari Biro Pusat Statistik. Menurut catatan BPS, memang ada penurunan yang berarti dalam angka rumah tangga yang mengusahakan lahan pertanian yang luasnya kurang dari 0,5 hektar. Pada 1980 tercatat 11,03 juta, sedang pada 1983 ada 8,75 juta. "Fakta itu memang bisa menimbulkan banyak spekulasi," kata Soetjipto Wirosardjono, Wakil Ketua BPS. Sebagai statistisi, Soetjipto melihat perubahan itu wajar dan masuk akal. Pernyataan Presiden di Wonogiri itu dinilainya sah. Lagi pula, bila catatan itu dihubungkan dengan Sensus 1973, menurut Soetjipto "amat konsisten". Konsistensi itu bisa dilihat, misalnya, dari kecenderungan pengusahaan lahan yang makin luas per rumah tangga. Menurut sensus pertanian 1973, rata-rata tiap rumah tangga petani mengusahakan lahan seluas 0,99 hektar. Pada sensus 1983 ini meningkat menjadi 1,08 hektar per rumah tangga. Kalau dibandingkan hasil sensus pertanian 1973 dan 1983, dari 25 provinsi hanya di 7 provinsi rata-rata pengusahaan lahan per rumah tangga menurun. Soetjipto mengakui. Sensus 1983 lebih baik karena merupakan sensus pertanian, sedang Sensus 1980 merupakan sensus penduduk. Meski pembandingan kedua sensus itu mengandung kelemahan, pembandingan yang dikemukakan Presiden, kata Soetjipto, "dapat dipertanggungjawabkan". Pendapat Prof.Dr. Sajogyo berbeda. Guru besar sosiologi pedesaan IPB ini menganggap lebih baik membandingkan sensus pertanian 1983 dengan sensus pertanian 1973. Di Jawa ternyata pemilikan lahan di bawah 0,5 hektar dari 1980 ke 1983 naik dengan 12,7 persen. Di luar Jawa (kecuali Ir-Ja dan Tim-Tim) naik 2 persen. Sedang pemilikan lahan di atas 0,5 hektar pada saat yang sama naik 16,1 persen di Jawa dan 16 persen di luar Jawa. "Ternyata, hasil koreksi yaitu sensus penduduk setelah dikoreksi dengan melakukan interpolasi, menunjukkan kenaikan petani pemilik lahan di bawah 0,5 hektar kurang cepat dibandingkan dengan yang kaya, yaitu petani dengan lahan di atas 0,5 hektar," ujar Sajogyo. Dengan demikian, kata Sajogyo, terjadi kecenderungan, petani berlahan sempit makin banyak, dan petani yang berlahan luas juga makin banyak. Standar hidup petani sekarang dibanding 18 tahun yang silam umumnya sudah ada peningkatan. "Berdasar hasil pengamatan saya, pada 1970-1976 memang ada gejala pemiskinan, dalam arti golongan yang miskin keadaan makannya bertambah jelek. Tapi pada 1976-1981 keadaannya sudah lebih baik, artinya yang miskin mulai berkurang persentasenya, dengan keadaan makanan lebih baik. Untuk 1981-1984, "Saya belum mendapatkan data," kata Sajogyo. Prof. Dr. Mubyarto, Kepala Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan UGM, juga kurang sepakat kalau sensus penduduk 1980 dibandingkan dengan sensus pertanian 1983. "Lebih baik membandingkan sensus pertanian 1963, 1973, dan 1983, agar mendapat data yang benar," katanya. Ia mengutip data yang dikemukakan Soemartoyo, anggota HKTI Pusat, dalam suatu seminar awal Desember lalu. Menurut catatan itu, pemilik lahan yang kurang dari 0,5 hektar di Indonesia dari 1963 ke 1973 naik 2,3 persen, dan dari 1973 ke 1983 naik 4,5 persen. "Artinya, jumlah petani berlahan di bawah 3,5 hektar itu meningkat," katanya. Mubyarto belum bisa mengomentari berkurang atau bertambahnya jumlah petani dengan lahan lebih dari 0,5 hektar. "Saya lupa angka penelitian itu," katanya. Ia membantah ada ahli yang mengatakan pembangunan sekarang merupakan proses pemiskinan. "Pembangunan sekarang membuat penduduk pedesaan secara menyeluruh lebih makmur. "Saya kira orang menjadi lebih miskin itu tidak ada Semua bertambah makmur. Tapi bagi golongan rendah, kenaikan itu naiknya relatif kecil," ujarnya. Susanto Pudjomartono Laporan Putut Tri Husodo, Gatot Triyanto (Jakarta) dan Yuyuk Sugarman (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini