VISUM et repertum adalah semboyan para dokter yang menjadi sangat terkenal di pengadilan. Ungkapan dalam bahasa Latin itu berarti, "Saya melihat dan saya menemukan." Singkat, tapi terasa sangat berwibawa: sidang, dan para hadirin harap percaya. Tapi wibawa itulah yang kini menjadi masalah. Khususnya dalam kasus Nur Usman yang dituduh mendalangi pembunuhan anak tirinya, Roy Bharya. Nur, bekas pejabat Pertamina itu, berhasil menghindari sidang pengadilan sebanyak 13 kali karena keterangan sakit yang diberikan dokter Rumah Tahanan Salemba, dr. Wunardi. Pihak kejaksaan dalam peradilan Nur Usman, terang-terangan, meragukan keterangan dr. Wunardi. Keraguan itu punya latar belakang cukup ruwet. Setelah berulang kali disebutkan sakit, Nur diperiksa tim dokter RSPAD yang ternyata menyimpulkan Nur tidak sakit serius. Sekalipun sudah ada pemeriksaan itu Wunardi tetap menyatakan Nur Usman sakit, dan menyebabkan ia tak bisa menghadiri sidang. Dokter ini berkeras, pasiennya kembali sakit ketika diperiksa lagi di rumah tahanan. Majelis, Hakim yang diketuai Oemar Sanusi, S.H., tak bisa berkutik. "Semua keterangan tentang keadaan fisik atau kesehatan terdakwa adalah wewenang dokter rutan," katanya. Dan apa yang dikatakan Oemar Sanusi itu memang tercantum pada Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983. Sekalipun begitu, Senin dan Selasa pekan lalu, kesehatan Nur Usman kembali diperiksa. Kali ini di RS Cipto Mangunkusumo oleh tim dokter yang dipimpin Prof. Rukmono. Hasilnya, tim dokter tegas menyatakan, Nur Usman bisa menghadiri sidang. Ketika dihubungi, Prof. Rukmono tak bersedia menyebutkan penyakit yang diderita Nur. "Persoalan itu menyangkut kode etik, saya tidak bisa memberitahukan pada Saudara," katanya. Tapi dokter itu menegaskan, "Nur Usman tak perlu diopname." Ketika didesak, Rukmono menyatakan pemeriksaan dilakukan teliti dan lengkap. Seperti pada general check up? "Lebih dari itu," jawabnya. Ia juga mengkonfirmasikan pemeriksaan melibatkan pemeriksaan laboratorium, ronsen, EEG (pemeriksaan otak), dan ECG (untuk pemeriksaan jantung). Hasil pemeriksaan RSCM ini jelas berlainan dengan keterangan dr. Wunardi. Karena itu, dalam keterangannya pada TEMPO Senin pekan ini dokter lulusan Universitas Tarumanegara itu masih tetap menyebutkan Nur menderita sakit dengan beberapa penyakit sekaligus: ginjal, liver, empedu, dan darah tinggi. Namun, berbeda dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh kedua rumah sakit besar itu, keterangan sakit Wunardi tampaknya belum didukung penelitian yang mendalam. Kepada Happy S. dari TEMPO, Wunardi mengakui tidak pernah melakukan pemeriksaan laboratorium. Padahal, paling tidak penyakit liver membutuhkan konfirmasi pemeriksaan laboratorium itu. Lepas dari pemeriksaan mana yang benar, yang jelas dr. Kartono Mohamad, Ketua IDI yang baru saja dikukuhkan, bermaksud akan mengimbau Majelis Kode Etik Kedokteran DKI untuk memanggil dokter Rutan Salemba itu. "Demi menjaga kewibawaan surat keterangan dokter dan kewibawaan profesi," katanya. Kartono juga menegaskan, sebenarnya perlu ada perincian lebih jelas mengenai status dokter rumah tahanan berikut aturan mainnya, agar pengadilan tidak hanya terpaksa mempercayai seorang dokter, tapi mempercayai kebenaran. Peraturan Pemerintah No. 27/1983 itu yang memuat perihal keterangan dokter tampaknya memberikan wewenang terlampau besar pada seorang dokter rutan. Di samping itu, umpamanya perihal pemeriksaan laboratorium, hampir tidak diperhatikan. Untuk soal ini, Kartono menyatakan, IDI siap membantu. "Kita bisa membahasnya bersama, agar terinci dan aman," kata dokter itu. Jim Supangkat Laporan Yusroni H. dan Happy S. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini