Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Kebohongan

Mengapa kebohongan bisa bertahan lama? Karena manusia hidup dengan kekuatan fiksi.

21 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK orang menderita dan hal itu sering kali disebabkan oleh kebohongan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Iraq Body Count, situs yang menyajikan data kekerasan di Irak selama invasi Amerika Serikat, lebih dari 100 ribu warga sipil Irak tewas sejak serbuan Amerika di negara itu. Amerika sendiri kehilangan hampir 4.500 tentara. Perang yang dimulai pada 19 Maret 2003 itu dilandasi tuduhan George W. Bush bahwa Saddam Hussein memiliki "senjata pemusnah massal".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 9 April 2003 Bagdad jatuh: patung Saddam Hussein digulingkan oleh tank Amerika. Enam bulan kemudian, Amerika mengakui senjata pemusnah massal tidak pernah ditemukan. Perang baru benar-benar usai pada 2011 dengan hampir 15 ribu manusia tewas.  

Bagaimana kita bisa membiarkan kebohongan besar meluncur mulus melewati kesadaran kita dan merusak begitu banyak kehidupan? Kenapa tidak ada kekuatan yang mampu menghentikannya sebelum tindakan-tindakan gegabah diambil?

Dalam 21 Lessons for the 21st Century, Yuval Noah Harari menyebutkan bahwa kita memang hidup di era pasca-kebenaran yang menakutkan. Bukan hanya karena insiden militer tertentu terjadi, tapi karena seluruh sejarah dan kisah bangsa-bangsa dibangun di atas dusta-dusta raksasa.

Pada 1931, tentara Jepang melakukan serangan palsu terhadap dirinya sendiri untuk membenarkan invasinya ke Cina. Jepang juga menciptakan negara abal-abal Manchukuo untuk melegitimasi penaklukannya. Cina sebagai korban hingga kini menyangkal Tibet pernah ada sebagai negara merdeka. Di ujung yang lain, permukiman warga Inggris di Australia dibangun menggunakan doktrin hukum terra nullius (tanah tak bertuan) sebagai justifikasi. Inggris secara efektif telah menghapus 50 ribu tahun sejarah Aborigin.

Pada awal abad ke-20, slogan favorit Zionis adalah kembalinya “orang tanpa tanah ke tanah tanpa orang”. Perdana Menteri Israel Golda Meir pada 1969 berkata, “Tidak ada dan tidak pernah ada orang Palestina.” Keberadaan penduduk Arab di Palestina diabaikan. Ironis bahwa untuk melawan sesuatu yang “tidak ada”, konflik bersenjata terjadi puluhan tahun, hingga kini, dengan merenggut begitu banyak korban jiwa.

Pada akhir Februari 2014, unit khusus Rusia tanpa lambang dan tanda-tanda tentara menyerbu Ukraina dan menduduki instalasi penting di Krimea. Pemerintah Rusia dan Presiden Vladimir Putin berulang kali menyangkal kabar bahwa pelaku serangan adalah pasukan Rusia. Putin menggambarkan mereka sebagai "kelompok pertahanan" Ukraina yang mungkin memperoleh peralatan mirip produk Rusia dari toko-toko lokal. Klaim yang tentu saja tidak masuk akal: Putin serta para pembantunya tahu bahwa mereka tengah berbohong.

Orang Indonesia pernah diwajibkan menonton film Pengkhianatan G 30 S PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noer. Hari ini sebagian dari kita percaya bahwa film tersebut, juga Monumen Lubang Buaya, adalah kebohongan pemerintah Orde Baru. Propaganda dibangun untuk membenarkan pembunuhan massal ribuan orang yang dituding terlibat G30S. Lebih dari lima dasawarsa berlalu, hingga kini PKI dan komunis masih menjadi hantu gentayangan yang bisa dipanggil sewaktu-waktu untuk menghantam lawan politik. Para penyintas tragedi itu hidup dalam trauma yang dalam dan hingga kini tak pernah dipulihkan hak-haknya. 

Tapi, jika saat ini adalah era pasca-kebenaran, kapan tepatnya era kebenaran? Homo sapiens adalah spesies yang bergantung pada kebohongan dan kepercayaan pada fiksi, kata Harari. Selama semua orang percaya pada fiksi yang sama, kita akan mematuhi hukum yang sama, dan dengan demikian dapat bekerja sama secara efektif pula. Karena itu, banyak kebohongan bertahan dalam waktu lama. Kita saling percaya untuk merekatkan hubungan sosial.

The ugly truth” terletak pada kenyataan bahwa sebagai spesies, manusia lebih sering memilih kekuasaan daripada kebenaran. Kita menghabiskan lebih banyak waktu dan upaya untuk mengendalikan dunia daripada memahaminya. Ketika memahami dunia, kita sebenarnya sedang berupaya mengendalikannya. Sejarah dunia adalah bukti hasrat pada kekuasaan merupakan energi gerak yang lebih besar dibanding kebenaran.

Kebenaran dan kekuasaan tak selalu bisa berjalan bersamaan. Pada titik-titik tertentu, kekuasaan bahkan didapatkan dengan cara menyebarkan kebohongan. Selanjutnya, untuk mempertahankan kekuasaan, kebenaran harus dibungkam. Di titik lain, jika pilihannya adalah kebenaran atau persatuan, lebih sering kebenaran mengalah pada ancaman perpecahan.

Maka, jika kita memimpikan suatu masyarakat di mana kebenaran mengemuka dan kebohongan menepi, kita harus bersiap kecewa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus