INGGERIS, di tahun 1820-an, adaIah negeri yang muram. Sebuah
majalah yang bernama The Lion di tahun 1828 misalnya bercerita
tentang nasib Robert Blincoe. Bukan kisah khayal, tapi tak
kurang mengerikannya.
Blincoe adalah seorang anak. Sebagaimana banyak anak melarat di
zaman itu, ia bekerja bersama 80 kawannya di pabrik. Dan seperti
anak-anak sebayanya yang berumur sekitar 10 tahun, Blincoe
bekerja siang malam -- dan dicambuki. Cambuk itu bukan cuma buat
menghukum yang bersalah, tapi juga buat melecut kerja lebih
keras.
Bahkan ketika Blincoe dipindahkan ke pabrik lain di Litton,
majikannya punya kemampuan spesial: pandai menjepit kuping buruh
anak-anak, hingga kuku jarinya saling bertemu menembusi daging
daun telinga.
Memang, kekejaman seperti itu merupakan bentuk ekstrim, dan
bukan kelaziman. Namun Inggeris, di tahun 1820-an, memang
mengandung dasar kebrutalan itu. Buruh terinjak. Si miskin tak
punya pelindung. Jam bekerja merentang keras selama 16 jam.
Mereka tak bisa punya pilihan lain.
Sebab sementara itu mesin-mesin sudah mapan dipergunakan.
Teknologi baru ini dengan mudah bisa menyisihkan kaum buruh --
buat digantikan dengan perkakas yang tak pernah mengeluh.
Kebutuhan akan kerja menyebabkan terjadinya persaingan antara
mesin dengan manusia. Dalam dasawarsa pertama abad ke-19, protes
dan kekerasan terhadap teknologi menjalar di mana-mana di
Inggeris. Kelas bawah marah. Sastrawan Walter Scott, yang tak
termasuk kelas bawah, berduka: "Negeri ini dipasangi ranjau di
bawah kaki kita."
Keadaan memang mirip itu. Bahkan sampai beberapa puluh tahun
kemudian, tatkala di tahun 1848, sebuah pamflet terbit dengan
kalimat pertama ini: "Sesosok hantu sedang menghuni Eropa-hantu
Komunisme." Penulisnya Karl Marx. Judulnya Manifesto Komunis.
Tapi Marx bukan satu-satunya pemberi isyarat buat zaman yang
sumpeg itu. Beberapa tahun sebelumnya ada seoran aneh: Robert
Owen.
Owen lahir di keluarga miskin di Wales di tahun 1771. Melalui
proses bekerja pada seorang pemilik pabrik pintal besar, ia
pelan-pelan meningkatkan nasib. Tertarik oleh semangat Owen si
pemilik pabrik memberinya seperempat bagian saham. Kemudian Owen
menikah dengan seorang gadis, anak seorang pemilik pabrik lain.
Pabrik itu sedang mau dijual. Dan Owen membelinya.
Tapi itu hanya sebagian dari riwayatnya yang gemilang. Di New
Lanark, pabrik Owen yang bertingkat tujuh ditandai bukan oleh
kemegahan, tapi suara kemanusiaan. Sementara di tempat lain kata
"pabrik" hampir identik dengan "penindasan", di daerah dekat
Glasgow, Skotlandia itu pabrik milik Owen bersinar sejuk.
Di situ ada perumahan buruh. Tak ada anak yang dipekerjakan. Tak
ada Robert Blincoe. Mereka bersekolah. Kalau ada yang bekerja,
itu pun terdiri dari remaja. Dan mereka tak tinggal sepanjang
hari. Di kalangan buruh, disiplin tegak bukan oleh ketakutan.
Bawahan bahkan boleh mengadu, bila diperlakukan tak adil.
Sebuah sorga di bumi? Mungkin hanya di New Lanark. Robert Owen,
yang kemudian mencoba proyek lain yang lebih besar untuk
melaksanakan ide-idenya, beberapa kali gagal. Bahwa ia tak
pernah putus-asa adalah karena padanya ada sikap naif. Padanya
ada kepercayaan bahwa manusia baik, dan penderitaan manusia
dapat diakhiri.
Mungkin itulah sebabnya Owen termasuk yang disebut sebagai
pemikir "sosialis Utopia". Ia, tentu saja, ditertawakan oleh
kaum komunis.
Sebab, seperti yang ditulis oleh Robert L. Heilbroner dalam The
Worldly Philosophers, berbeda dengan kaum komunis, orang
"sosialis Utopia" berbicara kepada kelas atas. Mereka berharap
dapat membujuk kelas atas bahwa perubahan sosial akan bermanfaat
juga bagi kelas atas itu sendiri. Sebaliknya kaum komunis
berbicara kepada mereka yang di bawah. Mereka toh tak percaya
bahwa kelas di atas itu bisa dirubah, hanya dengan bujukan. Di
Rusia di tahun 1917 mereka merubahnya dengan tembakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini