DENTUMAN meriam terdengar. Permadani merah tergelar. Indonesia
menyambut kunjungan Perdana Menteri Republik Sosialis Vietnam
(RSV) Pham Van Dong ke Indonesia, Rabu lalu.
Indonesia adalah negara Asean ketiga yang dikunjunginya sesudah
Thailand dan Pilipina. Malaysia dan Singapura menurut rencana
akan dikunjunginya bulan depan.
Meskipun ini kunjungan Pham Van Dong kedua ke Indonesia (yang
pertama di masa Bung Karno, April 1965), kunjungan Pemimpin
Vietnam di tahun 70an pernah dianggap kemustahilan. Pertanyaan
Menlu Singapura Rajaratnam "Siapa yang 6 bulan lalu mengira Pham
Van Dong akan berdialog dengan Asean?", agaknya mencerminkan
"gerak cepat" Vietnam merubah sikapnya.
Berakhirnya Perang Indocina dan disatukannya Vietnam mengubah
peta Asia Tenggara. Vietnam muncul sebagai kekuatan baru yang
harus diperhitungkan. Sikap "menang perang"nya serta dukungan
terbukanya pada "perjuangan yang syah dari rakyat-rakyat Asia
Tenggara" -- yang tidak lain adalah gerakangerakan komunis bawah
tanah -- dengan segera melontarkan gambaran Vietnam sebagai
ancaman baru. Bahkan kekhawatiran akan adanya "ekspor revolusi"
dari Vietnam lah yang antara lain telah mempercepat pertumbuhan
dan persatuan Asean.
Hanoi sendiri menyiram subur gambaran ini dengan kecamannya pada
Asean lewat Radio Hanoi atau suratkabar resminya Nhan Dan. Dalam
soal Timor Timur, Vienam secara terbuka juga menyatakan
dukungannya pada Fretilin, bahkan pernah menerima secara resmi
delegasi mereka.
Rasa terancam di sini memang cukup kuat. Sesudah perang
Indocina, Vietnam muncul sebagai negara kokoh di bidang militer
di Asia Tenggara. Kekuatan militernya menyamai jumlah gabungan
kekuatan militer negara-negara Asean, bahkan melebihi 21 devisi
tentara RRC yang ditempatkan di perbatasan selatannya. Menurut
International Institute for Strategic Stud ies sesudah
berakhirnya perang Indocina, Vietnam diperkirakan mempunyai 700
ribu tentara, terbagi dalam 24 divisi infantri, 3 divisi
latihan, 1 komando artileri yang meliputi 10 resimen, 10
resimen infantri cadangan, 15 resimen SAM (peluru kendali) dan
40 resimen AA infantri.
Perbandingan kekuatan militer negara-negara Asia Tenggara
menurut perkiraan tahun 1975-1976 adalah: Jumlah kekuatan
militer Vietnam ini belum ditambah dengan perlengkapan militer
Amerika yang jatuh ke tangannya yang nilainya ditaksir sekitar
10 milyar dollar.
Kenyataan ini segera mendorong negara-negara Asean -- yang
hampir semuanya menghadapi gerakan komunis, dan secara geografis
terbuka untuk subversi -- untuk memperketat diri. Di Indonesia
misalnya, Presiden Soeharto pernah menyatakan perlunya
"fanatisme ideologi Pancasila" dalam menghadapi bahaya itu,
sepulang dari pertemuan dengan Presiden Ford di Camp David di
tahun 1975. Semua mata diarahkan ke utara. Tapi kapan dan dalam
bentuk apa "musuh" ini akan datang?
Perang 30 tahun telah selesai, penyatuan Vietnam dapat
diselesaikan lebih cepat dari rencana. Begitu luapan kegembiraan
menang perang mered, Vietnam segera sadar masih banyak
kesulitan yang menunggu, atau baru muncul.
Yang pertama adalah kesulitan ekonomi. Harapan rakyat untuk
perbaikan tingkat hidup mereka ternyata tidak dapat segera
terwujud karena dana untuk pembangunan sangat kurang. Alam tidak
membantu kekurangan pangan yang diderita dengan adanya beberapa
kali musim kering dan bencana taufan. Bantuan luar negeri yang
diharapkan juga tidak mengalir deras. Bantuan ekonomi dan tehnik
Cina yang sebelumnya banyak menolong dihentikan, menyusul
pertentangan tentang masalah Cina perantauan yang berakhir
dengan perpecahan kedua negara. Semuanya ini membahayakan
keberhasilan Pelita II RSV.
Vietnam menuduh, keberhasilan penyatuan kembali Vietnam telah
membuat Cina memandang Vietnam sebagai penghalang bagi usaha
ekspansionisnya ke Asia Tenggara. Untuk itu Cina menggunakan
rejim Polpot leng Sary di Kam boja guna mengganggu RSV dengar
membuka front perang di perbatasan barat daya. Cina dianggap
tidak menghendaki Indocina bersatu di bawah pimpinan Vietnam.
Pertentangan dengan Cina membua Vietnam makin miring ke arah Uni
Soviet yang masih tetap merupakan penyumbang terbesar.
Kesulitan-kesulitan ekonomilah yang mendorongnya untuk akhirnya
masuk ke Comecon (Dewa untuk Bantuan Ekonomi Bersama) yang
didirikan Uni Soviet.
Tapi agaknya Comecon bukan dewi penolong yang dapat diharapkan.
Comecon hanya bersedia membantu meneruskan 10 dari 80 proyek
yang terputu akibat dihentikannya bantuan ekonom dan tehnik
Cina. Itupun belum merupakan kepastian.
Antara 1975-1978, Hanoi diperkirakan hanya berhasil memperoleh
pinjaman komersiil $300 juta kebanyakan hutang jangka pendek,
yang terutama berasal dari bank-bank Perancis, Jerman Barat dan
Jepang. Bulan lalu Vietnam untuk pertama kalinya juga mendapat
pinjaman dari Bank Dunia lewat International Development
Association (IDA) sebesar $ 60 juta yang terutama berasal dari
Dana Opec dan Dana Kuwait.
Bank Pembangunan Asia juga memberi pinjaman $ 7 juta dan
kebutuhannya yang mendesak telah mendorong Vietnam untuk
memasuki keanggotaan Dana Moneter Internasional (IMF), dengan
memberikan data yang diperlukan, suatu hal yan selalu ditolak
oleh RR dan Uni Soviet.
Kesulitan ekonomi juga mendorong Vietnam untuk melunakkan
sikapnya pada negara tetangganya yang tergabung di Asean. Asean
semula dianggap sebagai suatu organisasi anti komunis yang
dibentuk untuk menghadapinya. Tapi 2 tahun terakhir ini Vietnam
agaknya mulai sadar bahwa Asean lebih merupakan suatu bentuk
kerjasama ekonomi daripada menekankan pada kerjasama militer.
Perubahan sikap ini tampak dari sikap Hanoi yang semula
menentang keras dan kemudian berubah menjadi kurang menyetujui.
"Asean mungkin bukan suatu organisasi seperti yang diharapkan
Vietnam," kata Wakil Menlu RSV Vo Dong Giang ketika mengunjungi
Jakarta awal tahun ini (TEMPO, 7 Januari 1978).
Pendekatan ke Asean dimulai akhir tahun lalu melalui pengiriman
berbagai delegasi. Vietnam juga setuju untuk menjadi anggota
Persatuan Negara-negara Penghasil Karet Alam yang kebanyakan
anggotanya adalah negara Asean.
Di pihak Asean sendiri, kekhawatiran akan ekspor revolusi dari
Vietnam tampaknya juga mereda. Kecemasan bahwa Vientam akan
menjadi boneka Uni Soviet berkurang dengan sikap Vietnam yang
tegas menolak digunakannya Teluk Kam Ranh sebagai pangkalan AL
Soviet. "Peranan Soviet memang dominan, tapi tampaknya
nasionalisme Vietnam cukup kuat untuk mempertahankan kemerdekaan
murninya," kata seorang diplomat Asean pada TEMPO.
Tapi yang mungkin paling melegakan Asean adalah sikap Vietnam
untuk tidak saja menolak memberikan senjata-senjara Amerika yang
direbutnya pada kaum gerilya komunis di Malaysia, Thailand dan
Komunis, tapi juga menolak permintaan negara seperti Libia,
Ethiopia, Korea Utara, Peru, Pakistan dan Turki untuk membeli
senjata-senjata itu.
Sikap Sementara?
Toh semuanya itu tidak melunturkan semua kecurigaan pada
Vietnam. " Bagaimanapun juga kita selalu harus tetap waspada
kalau berhadapan dengan Komunis," seorang pejabat tinggi Hankam
pernah berkata pada TEMPO. Yang menjadi pertanyaan sampai berapa
lama Vietnam akan bertahan dengan sikapnya yang sekarang? Dengan
kata lain: tidakkah sikap Vietnam sekarang hanya sikap sementara
saja?
Bagaimanapun juga, negara-negara besar seperti AS dan Jepang
tetap merupakan sasaran Vietnam untnk mendapat dana. Sikap
permusuhan Vietnam pada Asean jelas tidak akan mendorong
mengalirnya bantuan. Singkatnya: Vietnam harus membuat gambaran
dirinya untuk memperoleh simpati dunia luar.
Sementara itu cukup banyak pemimpin Asean yang setuju agar AS
dan Jepang memberi bantuan yang "sedang" pada Vietnam agar
negara ini dapat mengurangi ketergantungannya pada Uni Soviet.
Bahwa Vietnam ingin membuka lembaran baru dalam hubungannya
dengan Asean, jelas tampak pada hasil kunjungan Pham Van Dong ke
Bangkok awal bulan ini. Dalam pernyataan bersama, dan diulangi
Pham Van Dong dalam konperensi persnya, untuk pertama kalinya
Vietnam berjanji untuk tidak membantu gerakan komunis di
Thailand atau melakukan hal yang merusak kemerdekaan dan
kedaulatan Thailand. Janji serupa, yang memang melegakan banyak
orang, agaknya akan diulanginya dalam kunjungannya ke
negara-negara Asean lainnya.
Yang menarik, Vietnam malahan mengusulkan pada Thailand untuk
mengadakan perjanjian persahabatan dan kerjasama, serta pakta
non-agresi. "Kita berusaha mengembangkan hubungan persahabatan,
kerjasama dan bertetangga baik dengan negara-negara Asia
Tenggara," kata Pham Van Dong dalam pidatonya pada Hari Nasional
Vietnam 2 September lalu.
Kunjungan Pham Van Dong ke Indonesia tentunya dalam usahanya
untuk menjadi tetangga yang baik ini. Lalu apa yang dapat
diharapkan dari kunungan inl?
"Sejak semula kita tidak mengharapkan hasil yang spektakuler
dari kunjungan ini," kata seorang pejabat tinggi Deplu. Selain
dinilai merupakan bagian terpenting dari ofensif diplomatik RSV
yang sejak 2 tahun terakhir ini dilakukan secara efektif,
kunjungan ini juga dianggap lebih bersifat manuver politik untuk
memperkuat posisi Vietnam dalam perebutan pengaruh antara RRC
dan Uni Soviet.
Sebaliknya kunjungan ini juga menguntungkan Indonesia, kata
pejabat lain karena ini bisa menunjukkan bahwa politik luar
negeri Indonesia betul-betul bebas dan aktif.
Hambatan tidak ada. Satu-satunya yang merepotkan hanyalah usia
Pham Van Dong yang cukup lanjut, 72 tahun. Ini berpengaruh pada
acara kunjungan. Pihak Vietnam kabarnya meminta agar acara-acara
"tidak terlalu melelahkan" dan sedapat mungkin diakhiri pukul 20
00. Maka untuk pertama kalinya dalam menyambut tamu negara,
acara malam kesenian dipisah dari jamuan kenegaraan.
Tapi bagaimanapun bentuk acara, pertemuan tanpa hasil yang
mengejutkan ini toh penting. Menurut seorang pejabat: "Saat ini
mereka lebih memerlukan kita daripada kita memerlukan mereka."
Jalan menuju persahabatan tinggal dibangun. Sebab Vietnam adalah
tetangga, pewaris almarhum Ho Chi linh yang pernah berkunjung
ke sini dengn sandal sederhana tapi kesan yang kuat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini