ANGKATAN Muda Siliwangi (AMS) kader Golkar di Jawa Barat itu,
belum juga berhenti bertikai sendiri. Kini malah muncul kelompok
yang menyebut diri "generasi muda AMS". Pertengahan bulan Puasa
lalu mereka menuntut penyegaran di kalangan Pengurus Pusat.
Mereka terdiri dari beberapa pengurus Wilayah (karesidenan) dan
Distrik (kabupaten).
Berdasarkan desakan itu, Badan Pimpinan Distrik lalu mengundang
Pengurus Pusat dan 22 Distrik seluruh Jawa Barat bersidang di
Linggarjati, Kuningan. Tapi gagal karena korum tak tercapai.
Maka Anas Nashidik Suharsa, Wakil Sekjen, mengundurkan diri.
"Pengurus Pusat tidak menghargai BPD sebagai badan tertinggi di
bawah kongres," kata Anas. Ia juga menuduh Pengurus Pusat telah
melakukan "kekurang-ajaran eksekutip" dengan "mengintimidasi"
beberapa pengurus BPD untuk tidak hadir.
Cara intimidasinya, menurut sebagian mereka, ialah dengan
menghubungkan soal ini dengan kedudukan. Dari 22 orang ketua
Distrik AMS di Jawa Barat, hampir semuanya menjadi anggota DPRD.
Menurut Tjetje Hidajat Padmidinata, bekas ketua umum PP AMS,
"mereka tidak bisa berkutik menghadapi PP karena khawatir
direcall."
Tapi menurut Tatto S. Pradjamanggala, ketua umum PP AMS yang
juga anggota DPR-RI itu, penangguhan sidang itu atas
permintaannya. Sebab sidang yang pasti tak sepi dari
tuding-menuding itu tak baik dilakukan di bulan suci.
Tak urung, kekisruhan AMS itu mendapat kecaman. Dari Distrik
Kotamadya Bandung juga terdengar suara keras "Kalau sudah
menjadi kader Golkar lantas terjadi hal-hal yang tidak baik,
kembalikan saja AMS kepada rakyat Jawa Barat hingga menjadi
milik semua golongan," kata Ijan Kusumadinata, salah seorang
pendiri AMS.
Pertanggunganjawab
Apa sebenarnya sumber kekisruhan belum jelas. Yang jelas,
beberapa kalangan AMS memang menuntut pertanggunganjawab PP di
bidang politik dan keuangan. Mungkin lantaran tertunda-tundanya
pertanggunganjawab tersebut, Djadja Subagdja Husein, Ketua II
dan Pj. Sekjen mengundurkan diri pula.
Kemelut AMS dimulai tak lama setelah Kongres Subang, April 1976.
Mula-mula Gani Subrata, Sekjen, mengundurkan diri. Disusul
dengan pemecatan atas dua orang anggota Dewan Pembina: Iie
Muhidin Wiranatakusumah dan Tjetje Hidajat Padmadinata. Menurut
Tjetje, "itu bukan kongres AMS tapi AMS yang dikongreskan".
Menjelang Pemilu 77, adalah Tjetje pula yang tidak setuju "AMS
semata-mata menjadi alat Golkar." Dan karenanya ia lantas
mengundurkan diri dari kepengurusan pusat.
"Saya tidak mau melihat AMS digendong terus oleh kakak-kakaknya,
ABRI dan Korpri," katanya. Tapi "AMS yang dikongreskan" jalan
terus dan memilih Tatto sebagai ketua umum PP. Sementara menurut
Tatto sendiri, ia sedang dirawat di RS Boromeus, Bandung, ketika
ia terpilih. "Saya tidak hadir ketikaitu. Ditanya pun tidak,'?
katanya.
Bibit kemelut itu sendiri sudah dimulai sejak Pemilu 71, ketika
Golkar Jawa Barat lebih banyak menampilkan tokoh-tokoh mahasiswa
Angkatan 66 Bandung sebagai anggota DPR-RI dari pada tokoh-tokoh
AMS. Dan Tjetje, bekas pendiri dan ketua umum AMS pertama, yang
setelah Pemilu 71 terpilih sebagai anggota DPR-RI, dalam Pemilu
78 tidak lagi diangkat.
Tak bisa lain, kemelut ini tentulah hanya bisa diselesaikan
dalam kongres, melalui sidang BPD. Ketua IV PP AMS, Etock
Partakusumah, yang membidangi sosial-ekonomi (dan kini
menyatakan diri sebagai juru bicara) menyatakan sidang BPD
segera akan diselenggarakan sesudah Lebaran.
Pertengahan bulan ini, ketua umum AMS Tatto memang
menyelenggarakan pertemuan pendahuluan denan seluruh anggota
PP. Hasilnya? Seusai Rapat Pimpinan Paripurna AMS Jum'at petang
1 September lalu, Tatto hanya sedikit saja mengungkapkan.
Yaitu: pengunduran diri Pj. Sekjen Djadja Subagdja dan Wakil
Sekjen Anas Suharsa belum bisa diterima. "Yang berhak memuskan
adalah sidang BPD yang akan dilangsungkan akhir bulan ini," kata
Tatto. Dan setelah itu ia berjanji akan menjelaskan
duduk-soalnya kepada pers.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini