Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kemarin Dia Curiga, Kini Dia Datang

Kunjungan PM Republik Sosialis Vietnam, Pham Van Dong, 72, ke Indonesia & ke negara-negara ASEAN dalam usahanya untuk menjadi tetangga yang baik. (nas)

23 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENTUMAN meriam terdengar. Permadani merah tergelar. Indonesia menyambut kunjungan Perdana Menteri Republik Sosialis Vietnam (RSV) Pham Van Dong ke Indonesia, Rabu lalu. Indonesia adalah negara Asean ketiga yang dikunjunginya sesudah Thailand dan Pilipina. Malaysia dan Singapura menurut rencana akan dikunjunginya bulan depan. Meskipun ini kunjungan Pham Van Dong kedua ke Indonesia (yang pertama di masa Bung Karno, April 1965), kunjungan Pemimpin Vietnam di tahun 70an pernah dianggap kemustahilan. Pertanyaan Menlu Singapura Rajaratnam "Siapa yang 6 bulan lalu mengira Pham Van Dong akan berdialog dengan Asean?", agaknya mencerminkan "gerak cepat" Vietnam merubah sikapnya. Berakhirnya Perang Indocina dan disatukannya Vietnam mengubah peta Asia Tenggara. Vietnam muncul sebagai kekuatan baru yang harus diperhitungkan. Sikap "menang perang"nya serta dukungan terbukanya pada "perjuangan yang syah dari rakyat-rakyat Asia Tenggara" -- yang tidak lain adalah gerakangerakan komunis bawah tanah -- dengan segera melontarkan gambaran Vietnam sebagai ancaman baru. Bahkan kekhawatiran akan adanya "ekspor revolusi" dari Vietnam lah yang antara lain telah mempercepat pertumbuhan dan persatuan Asean. Hanoi sendiri menyiram subur gambaran ini dengan kecamannya pada Asean lewat Radio Hanoi atau suratkabar resminya Nhan Dan. Dalam soal Timor Timur, Vienam secara terbuka juga menyatakan dukungannya pada Fretilin, bahkan pernah menerima secara resmi delegasi mereka. Rasa terancam di sini memang cukup kuat. Sesudah perang Indocina, Vietnam muncul sebagai negara kokoh di bidang militer di Asia Tenggara. Kekuatan militernya menyamai jumlah gabungan kekuatan militer negara-negara Asean, bahkan melebihi 21 devisi tentara RRC yang ditempatkan di perbatasan selatannya. Menurut International Institute for Strategic Stud ies sesudah berakhirnya perang Indocina, Vietnam diperkirakan mempunyai 700 ribu tentara, terbagi dalam 24 divisi infantri, 3 divisi latihan, 1 komando artileri yang meliputi 10 resimen, 10 resimen infantri cadangan, 15 resimen SAM (peluru kendali) dan 40 resimen AA infantri. Perbandingan kekuatan militer negara-negara Asia Tenggara menurut perkiraan tahun 1975-1976 adalah: Jumlah kekuatan militer Vietnam ini belum ditambah dengan perlengkapan militer Amerika yang jatuh ke tangannya yang nilainya ditaksir sekitar 10 milyar dollar. Kenyataan ini segera mendorong negara-negara Asean -- yang hampir semuanya menghadapi gerakan komunis, dan secara geografis terbuka untuk subversi -- untuk memperketat diri. Di Indonesia misalnya, Presiden Soeharto pernah menyatakan perlunya "fanatisme ideologi Pancasila" dalam menghadapi bahaya itu, sepulang dari pertemuan dengan Presiden Ford di Camp David di tahun 1975. Semua mata diarahkan ke utara. Tapi kapan dan dalam bentuk apa "musuh" ini akan datang? Perang 30 tahun telah selesai, penyatuan Vietnam dapat diselesaikan lebih cepat dari rencana. Begitu luapan kegembiraan menang perang mered, Vietnam segera sadar masih banyak kesulitan yang menunggu, atau baru muncul. Yang pertama adalah kesulitan ekonomi. Harapan rakyat untuk perbaikan tingkat hidup mereka ternyata tidak dapat segera terwujud karena dana untuk pembangunan sangat kurang. Alam tidak membantu kekurangan pangan yang diderita dengan adanya beberapa kali musim kering dan bencana taufan. Bantuan luar negeri yang diharapkan juga tidak mengalir deras. Bantuan ekonomi dan tehnik Cina yang sebelumnya banyak menolong dihentikan, menyusul pertentangan tentang masalah Cina perantauan yang berakhir dengan perpecahan kedua negara. Semuanya ini membahayakan keberhasilan Pelita II RSV. Vietnam menuduh, keberhasilan penyatuan kembali Vietnam telah membuat Cina memandang Vietnam sebagai penghalang bagi usaha ekspansionisnya ke Asia Tenggara. Untuk itu Cina menggunakan rejim Polpot leng Sary di Kam boja guna mengganggu RSV dengar membuka front perang di perbatasan barat daya. Cina dianggap tidak menghendaki Indocina bersatu di bawah pimpinan Vietnam. Pertentangan dengan Cina membua Vietnam makin miring ke arah Uni Soviet yang masih tetap merupakan penyumbang terbesar. Kesulitan-kesulitan ekonomilah yang mendorongnya untuk akhirnya masuk ke Comecon (Dewa untuk Bantuan Ekonomi Bersama) yang didirikan Uni Soviet. Tapi agaknya Comecon bukan dewi penolong yang dapat diharapkan. Comecon hanya bersedia membantu meneruskan 10 dari 80 proyek yang terputu akibat dihentikannya bantuan ekonom dan tehnik Cina. Itupun belum merupakan kepastian. Antara 1975-1978, Hanoi diperkirakan hanya berhasil memperoleh pinjaman komersiil $300 juta kebanyakan hutang jangka pendek, yang terutama berasal dari bank-bank Perancis, Jerman Barat dan Jepang. Bulan lalu Vietnam untuk pertama kalinya juga mendapat pinjaman dari Bank Dunia lewat International Development Association (IDA) sebesar $ 60 juta yang terutama berasal dari Dana Opec dan Dana Kuwait. Bank Pembangunan Asia juga memberi pinjaman $ 7 juta dan kebutuhannya yang mendesak telah mendorong Vietnam untuk memasuki keanggotaan Dana Moneter Internasional (IMF), dengan memberikan data yang diperlukan, suatu hal yan selalu ditolak oleh RR dan Uni Soviet. Kesulitan ekonomi juga mendorong Vietnam untuk melunakkan sikapnya pada negara tetangganya yang tergabung di Asean. Asean semula dianggap sebagai suatu organisasi anti komunis yang dibentuk untuk menghadapinya. Tapi 2 tahun terakhir ini Vietnam agaknya mulai sadar bahwa Asean lebih merupakan suatu bentuk kerjasama ekonomi daripada menekankan pada kerjasama militer. Perubahan sikap ini tampak dari sikap Hanoi yang semula menentang keras dan kemudian berubah menjadi kurang menyetujui. "Asean mungkin bukan suatu organisasi seperti yang diharapkan Vietnam," kata Wakil Menlu RSV Vo Dong Giang ketika mengunjungi Jakarta awal tahun ini (TEMPO, 7 Januari 1978). Pendekatan ke Asean dimulai akhir tahun lalu melalui pengiriman berbagai delegasi. Vietnam juga setuju untuk menjadi anggota Persatuan Negara-negara Penghasil Karet Alam yang kebanyakan anggotanya adalah negara Asean. Di pihak Asean sendiri, kekhawatiran akan ekspor revolusi dari Vietnam tampaknya juga mereda. Kecemasan bahwa Vientam akan menjadi boneka Uni Soviet berkurang dengan sikap Vietnam yang tegas menolak digunakannya Teluk Kam Ranh sebagai pangkalan AL Soviet. "Peranan Soviet memang dominan, tapi tampaknya nasionalisme Vietnam cukup kuat untuk mempertahankan kemerdekaan murninya," kata seorang diplomat Asean pada TEMPO. Tapi yang mungkin paling melegakan Asean adalah sikap Vietnam untuk tidak saja menolak memberikan senjata-senjara Amerika yang direbutnya pada kaum gerilya komunis di Malaysia, Thailand dan Komunis, tapi juga menolak permintaan negara seperti Libia, Ethiopia, Korea Utara, Peru, Pakistan dan Turki untuk membeli senjata-senjata itu. Sikap Sementara? Toh semuanya itu tidak melunturkan semua kecurigaan pada Vietnam. " Bagaimanapun juga kita selalu harus tetap waspada kalau berhadapan dengan Komunis," seorang pejabat tinggi Hankam pernah berkata pada TEMPO. Yang menjadi pertanyaan sampai berapa lama Vietnam akan bertahan dengan sikapnya yang sekarang? Dengan kata lain: tidakkah sikap Vietnam sekarang hanya sikap sementara saja? Bagaimanapun juga, negara-negara besar seperti AS dan Jepang tetap merupakan sasaran Vietnam untnk mendapat dana. Sikap permusuhan Vietnam pada Asean jelas tidak akan mendorong mengalirnya bantuan. Singkatnya: Vietnam harus membuat gambaran dirinya untuk memperoleh simpati dunia luar. Sementara itu cukup banyak pemimpin Asean yang setuju agar AS dan Jepang memberi bantuan yang "sedang" pada Vietnam agar negara ini dapat mengurangi ketergantungannya pada Uni Soviet. Bahwa Vietnam ingin membuka lembaran baru dalam hubungannya dengan Asean, jelas tampak pada hasil kunjungan Pham Van Dong ke Bangkok awal bulan ini. Dalam pernyataan bersama, dan diulangi Pham Van Dong dalam konperensi persnya, untuk pertama kalinya Vietnam berjanji untuk tidak membantu gerakan komunis di Thailand atau melakukan hal yang merusak kemerdekaan dan kedaulatan Thailand. Janji serupa, yang memang melegakan banyak orang, agaknya akan diulanginya dalam kunjungannya ke negara-negara Asean lainnya. Yang menarik, Vietnam malahan mengusulkan pada Thailand untuk mengadakan perjanjian persahabatan dan kerjasama, serta pakta non-agresi. "Kita berusaha mengembangkan hubungan persahabatan, kerjasama dan bertetangga baik dengan negara-negara Asia Tenggara," kata Pham Van Dong dalam pidatonya pada Hari Nasional Vietnam 2 September lalu. Kunjungan Pham Van Dong ke Indonesia tentunya dalam usahanya untuk menjadi tetangga yang baik ini. Lalu apa yang dapat diharapkan dari kunungan inl? "Sejak semula kita tidak mengharapkan hasil yang spektakuler dari kunjungan ini," kata seorang pejabat tinggi Deplu. Selain dinilai merupakan bagian terpenting dari ofensif diplomatik RSV yang sejak 2 tahun terakhir ini dilakukan secara efektif, kunjungan ini juga dianggap lebih bersifat manuver politik untuk memperkuat posisi Vietnam dalam perebutan pengaruh antara RRC dan Uni Soviet. Sebaliknya kunjungan ini juga menguntungkan Indonesia, kata pejabat lain karena ini bisa menunjukkan bahwa politik luar negeri Indonesia betul-betul bebas dan aktif. Hambatan tidak ada. Satu-satunya yang merepotkan hanyalah usia Pham Van Dong yang cukup lanjut, 72 tahun. Ini berpengaruh pada acara kunjungan. Pihak Vietnam kabarnya meminta agar acara-acara "tidak terlalu melelahkan" dan sedapat mungkin diakhiri pukul 20 00. Maka untuk pertama kalinya dalam menyambut tamu negara, acara malam kesenian dipisah dari jamuan kenegaraan. Tapi bagaimanapun bentuk acara, pertemuan tanpa hasil yang mengejutkan ini toh penting. Menurut seorang pejabat: "Saat ini mereka lebih memerlukan kita daripada kita memerlukan mereka." Jalan menuju persahabatan tinggal dibangun. Sebab Vietnam adalah tetangga, pewaris almarhum Ho Chi linh yang pernah berkunjung ke sini dengn sandal sederhana tapi kesan yang kuat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus