Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Thailand, juga di Indonesia, kadang demokrasi terasa begitu pahit. Di Bangkok, di kantor perdana menteri, orang-orang berbaju kuning menduduki kantor itu untuk menuntut sesuatu yang ironis: kembali ke masa otoriter. Orang-orang itu, para pemimpin serta anggota Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD), agresif menampik pemilihan kepala negara secara langsung. Mereka menjagokan penunjukan mayoritas anggota parlemen dan membuka pintu bagi intervensi militer--jika diperlukan.
Aliansi Rakyat, partai yang disokong kelas menengah, berkeyakinan bahwa rakyat belum cukup pintar untuk berdemokrasi. Rakyat dianggap masih setia pada gagasan politik konservatif. Di mata aktivis Aliansi, ”perubahan” harus berawal dari satu titik: penggulingan pemerintahan Perdana Menteri Samak Sundaravej.
Ada seribu alasan untuk menolak demokrasi. Perdana Menteri Thailand hasil pemilihan akhir tahun lalu Samak Sundaravej bukan tokoh filsuf yang mengenali kebenaran, keutamaan, dan kebijaksanaan seperti dalam The Republic-nya Plato. Samak sangat pragmatis. Ia lebih tepat dilukiskan sebagai entrepreneur ketimbang negarawan. Tapi bukan itu yang membuat para pencinta demokrasi susah jatuh hati padanya. Ia seorang dengan masa lalu yang sering dikaburkan: diyakini terlibat dalam pembantaian lusinan mahasiswa dalam demonstrasi besar pada 1976. Selain itu, Samak juga bagian dari lingkaran terdekat Thaksin Shinawatra, perdana menteri yang tersingkir setelah kudeta militer dua tahun lalu.
Tiga pekan lalu Samak, yang mulai hilang kesabaran menghadapi aksi jalanan dan pendudukan Aliansi Rakyat, memaklumkan keadaan darurat. Tapi langkah yang ditafsirkan sebagai ”undangan” untuk mengakhiri aksi Aliansi Rakyat itu disambut dingin oleh panglima angkatan bersenjata, sehingga aksi berjalan terus. Samak memang tidak disukai kalangan elite negeri itu. Bahkan dua pekan lalu Majelis Konstitusi mencoba menyingkirkannya lewat jalan tak biasa. Mahkamah menyuruh Samak mundur, gara-gara ia muncul dalam acara masak-memasak di televisi dan menerima uang imbalan. Undang-undang baru negeri itu melarang pejabat tinggi mempunyai kerja sampingan.
Samak akhirnya diselamatkan melalui pemungutan suara di parlemen yang dipenuhi anggota partainya. Tapi sebuah kecenderungan telah berlangsung diam-diam: Samak menjadi musuh bersama.
Di Thailand, demokrasi (baca: pemilihan) juga memperlihatkan bahwa negeri itu terbelah dua: kelompok minoritas masyarakat kelas menengah di kota-kota besar, dan kelompok mayoritas masyarakat kelas bawah di desa-desa. Dalam satu dasawarsa terakhir, bisa disimpulkan siapa yang menguasai pedesaan akan jadi kampiun dalam model yang mengacu pada ”satu orang satu suara” ini. Dua kali Thaksin Shinawatra mengambil hati masyarakat desa dengan pemberian kredit dan pelayanan kesehatan yang murah, dan terpilih secara meyakinkan.
Di Thailand, kini ada Samak Sundaravej, kawan dekat Thaksin yang berhasil menarik pelajaran dari kemenangan kawannya; ada kelompok kelas menengah yang putus asa terhadap demokrasi. Perlahan, kelompok yang diwakili Aliansi Rakyat ini menunjukkan identitasnya sebagai kalangan yang terancam oleh keberpihakan Perdana Menteri pada masyarakat kelas bawah di desa-desa.
Demokrasi kadang terasa begitu pahit. Dalam demokrasi, kita sering harus memilih yang terbaik di antara yang buruk. Dari kasus ini, Aliansi Rakyat telah memperlihatkan betapa besar egoisme kelompok kelas menengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo