Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Mitologi Baru Indonesia untuk Prancis

Sebelas seniman Indonesia berpameran di Louis Vuitton Culturel Espace, Paris. Sebuah galeri yang memiliki reputasi di masyarakat seni rupa kontemporer Prancis.

4 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun 2011 ini ternyata menjelma menjadi tahun seni rupa kontemporer Indonesia di Eropa. Akan ada banyak sekali pameran yang berfokus pada seni rupa Indonesia di beberapa institusi seni penting di Eropa hingga Desember mendatang. Rangkaian pameran itu telah diawali pada 23 Juni lalu, ditandai dengan dibukanya pameran sebelas seniman Indonesia di Louis Vuitton Culturel Espace di Paris, Prancis.

Pameran yang dikuratori Herve Mikaeloff ini mengambil fokus pada mitologi-mitologi baru dalam kehidupan masyarakat kontemporer Indonesia. Judulnya Transfigurations: Indonesian Mythologies, mencoba menggarisbawahi bagaimana pergeseran kepercayaan terhadap mitos-mitos terepresentasikan pada kenyataan masyarakat masa kini. Transfigurasi juga merujuk pada perubahan yang terjadi berkaitan dengan karakter dan identitas masyarakat Indonesia, terutama pada dua dasawarsa terakhir.

Pameran ini melibatkan nama-nama seniman yang sebagian besar memang sudah memiliki reputasi internasional, selain menunjukkan adanya kecenderungan interdisipliner dalam praktek seni di Indonesia. Mulai seniman yang sudah mapan seperti Heri Dono hingga nama baru seperti Bayu Widodo dan Ariadhitya Pramuhendra, semua bergabung menjadi satu menampilkan wajah baru seni rupa kontemporer Indonesia. Ada pula seniman multidisiplin seperti Garin Nugroho, juga arsitek Eko Prawoto. Nama-nama lain adalah Eko Nugroho, Jompet Kuswidananto, Arie Dyanto, Agung Kurniawan, Mella Jaarsma, dan Tintin Wulia. Dengan segera, melalui nama-nama yang terlibat dan karya-karya yang ditampilkan, masyarakat Prancis bisa merasakan pergeseran penting dalam proses kreatif seniman Indonesia, termasuk pergeseran isu-isu yang direpresentasikan para seniman.

Meskipun ruang pameran tidak terlalu besar, Louis Vuitton Culturel Espace ini mempunyai reputasi yang sangat baik di kalangan masyarakat seni rupa kontemporer di Paris. Mereka menyelenggarakan pameran skala kecil dan menengah dengan kualitas yang sangat baik, sehingga karya dan gagasan seniman bisa dipresentasikan dengan maksimal. Begitu pula yang dapat dilihat dari pameran Transfigurations: Indonesian Mythologies ini. Semua karya ditampilkan secara maksimal meskipun karya-karyanya tidak berkesan monumental.

Memasuki ruang pamer, pengunjung disambut karya Ariadhitya Pramuhendra yang merupakan instalasi serupa gereja yang terbakar, yang menjadi provokatif terutama karena lukisan seorang perempuan bertelanjang dada yang berpose seperti penyaliban Kristus. Di sudut ruang lain, potret diri seniman dalam pose seperti pastor menghadap bangku gereja. Karya ini mencoba memprovokasi masyarakat Prancis, yang di satu sisi acap didefinisikan sebagai masyarakat yang liberal dan terbuka, tapi pada sisi yang lain sering menunjukkan sikap fundamentalis. Pramuhendra membakar peranti-peranti yang menyerupai kursi pengakuan dosa di gereja, menebar abu dan puing kayu, sebagai representasi dari memori masa lalu.

Setelah itu, pengunjung menyaksikan instalasi Heri Dono dengan karakter ”malaikat”-nya yang setiap beberapa waktu menebarkan bunyi serupa suara jangkrik. Heri juga menyajikan dua lukisan dalam pameran ini.

Arie Dyanto dan Bayu Widodo mewakili genre ”seni rupa jalanan” dalam pameran kali ini. Keduanya menampilkan drawing dan lukisan yang merepresentasikan situasi-situasi di luar gaya arus utama dalam seni kontemporer Indonesia masa kini, yang tidak dengan mudah ditemukan dalam galeri-galeri seni, tapi lebih diusung oleh ruang-ruang alternatif.

Karya Agung Kurniawan merupakan seri dari drawing yang diolah dengan materi besi, yang secara visual dimunculkan seperti pertunjukan wayang statis. Memanfaatkan pendaran cahaya lampu, karya ini menjadi seperti sebuah gambar surealis yang muram, tapi juga puitik dan sentimental. Agung menggambarkan kisah dari pemakam­an ayahnya, sesuatu yang terjadi pada masa lalunya, tapi seperti tak pernah sepenuhnya ia kenang.

Setelah itu, ada instalasi favorit para penonton, berupa jajaran paspor dari Tintin Wulia dari seri karya Recollection of Togetherness. Pengunjung bisa mengambil undian untuk mencari ”kewarganegaraan”-nya, lalu menuliskan namanya di halaman paspor yang sudah diisi dengan cap darah nyamuk. Selain menampilkan instalasi performatif ini, Tintin menyajikan karya baru video yang dibuat sehari sebelumnya di ruang pamer. Banyak sekali pengunjung yang tampak takjub oleh karya Tintin, yang berupaya menggambarkan keberuntungan dan ketidakpastian dalam konsep warga negara. Bagi warga Eropa yang saling terhubung dan makin meniadakan batas, tentu isu yang diusung Tintin menjadi sangat relevan.

Eko Nugroho memenuhi koridor antar-ruang dengan muralnya yang banyak membicarakan relasi antarmasyarakat di Paris, terutama berkaitan dengan banjir imigran yang juga meningkatkan kasus kriminalitas dan ketidakamanan sosial. Dengan humor dan model visual yang penuh chaos, Nugroho memenuhi seluruh ruang dengan gambar hitam-putihnya yang masif dan meneror persepsi visual kita.

Garin Nugroho, sutradara film yang kini banyak menekuni seni rupa, mempresentasikan instalasi terbarunya yang membahas peran ibu dan dunia peribuan dalam masyarakat Indonesia. Ia menggunakan setrika dan alat tenun untuk merepresentasikan dunia domestik kaum ibu, dan menjukstaposisikannya dengan cuplikan film-film yang pernah ia buat yang menggarisbawahi peran ibu. Musik untuk cuplikan film-film ini dikerjakan oleh komposer kenamaan Rahayu Supanggah, memberi nuansa yang makin sakral pada instalasi yang menyerupai sebuah upacara.

Jompet Kuswidananto memutarkan dua video yang membicarakan paradoks modernisme/tradisionalisme, sekarang/masa lalu, mesin(isasi)/mistisisme, serta Barat dan Timur. Sementara itu, di lobi ruang pamer, arsitek Eko Prawoto mendisplai rangkaian bambu yang menyerupai bangunan permanen, tempat pengunjung bisa masuk dan mengamati bambu-bambu itu dari dekat.

Mella Jaarsma mengisi etalase toko di jalan paling ternama di dunia ini dengan instalasi dua orang yang seperti sedang bertengkar. Tubuh keduanya ditutupi jubah yang terbuat dari bordir-bordir kecil yang diambil dari sampul obat kuat yang ditemukan di pasar bebas. Karya Mella terutama berbicara tentang maskulinitas dan kekuasaan.

Pameran sebelas seniman Indonesia di Prancis ini merupakan langkah awal yang baik untuk menyongsong internasionalisme baru seni rupa. Dengan karya-karya yang jauh dari identifikasi komersial, dan lebih menelisik pada relasi interdisipliner serta inspirasi antropologis dan etnografis pada masyarakat Indonesia, pameran Transfigurations: Indonesian Mythologies ini tampaknya bisa membuka sebuah dialog baru tentang Indonesia masa kini di kalangan masyarakat Paris.

Alia Swastika, pengamat seni rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus