Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MANTAN Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dituntut penjara seumur hidup. Inilah tuntutan tertinggi jaksa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sejak lembaga itu didirikan. Akil juga dituntut hukuman denda Rp 10 miliar dalam kasus dugaan korupsi dan pencucian uang penanganan sengketa pemilihan kepala daerah.
Tentu saja tuntutan maksimal ini layak disambut, sekaligus kita berharap hakim menjatuhkan vonis sesuai dengan tuntutan jaksa. Dalam sistem ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga tinggi negara pemegang kekuasaan kehakiman. Lembaga ini dianggap sebuah power-body karena salah satu tugasnya adalah menguji apakah sebuah produk hukum konstitusional atau tidak. Ketika Akil ditangkap dan menjadi tersangka korupsi, dalam sekejap citra Mahkamah Konstitusi retak.
Akil dianggap bersalah atas perbuatannya menerima suap ketika menjabat hakim Mahkamah Konstitusi. Suap itu diduga terkait dengan pemilihan kepala daerah, dari Provinsi Banten sampai Kabupaten Pulau Morotai di Provinsi Maluku Utara. Akil juga didakwa dengan pasal tindak pidana pencucian uang. Melihat pelanggaran berlapis itu, kita berharap vonis terhadap Akil sama sekali tak diberi keringanan. Akil juga tidak kooperatif dalam pemeriksaan. Ongkos terbesar dari skandal ini adalah semua tindak pidana Akil sudah merusak kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada Mahkamah Konstitusi akan memakan waktu lama dan harus dilakukan dengan serius. Pertama, meski tuntutan maksimal terhadap Akil layak dipuji, vonis hakim kelak belum tentu sama dengan tuntutan. Karena itu, bila hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis hukuman seumur hidup, inilah sejarah baru bagi KPK dalam kasus pidana koruptor—yang kebetulan seorang mantan penegak hukum.
Dengan hukuman maksimal ini, diharapkan tumbuh efek jera dan ancaman bagi semua pejabat yang memiliki peluang menerima suap atau gratifikasi, agar tidak melakukan hal serupa. Hukuman hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang maksimal ini akan membuat masyarakat percaya bahwa kasus Akil memang ditangani dengan baik dan serius.
Kedua, penyusunan hakim Mahkamah Konstitusi kelak harus lebih rigid, ketat, dan sangat selektif. Selama ini, proses seleksi memberikan otoritas kepada tiga lembaga: Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung. Masing-masing mengajukan tiga calon. Proses seleksi dari ketiga lembaga tersebut kini harus diperketat dan diselenggarakan dengan proses cek dan cek ulang yang teliti. Artinya, para calon hakim itu tidak hanya diuji kompetensinya dalam bidang tata negara. Rekam jejak, jaringan kerja, etika, dan reputasi pekerjaan para calon juga harus diperiksa dengan saksama dan teliti.
Mereka tak cukup hanya mengumumkan kekayaan pribadi; reputasi mereka harus melalui proses vetted atau critical appraisal, sebuah investigasi rinci terhadap latar belakang karier seseorang sebelum direkrut. Tindakan vetted ini sangat lazim dilakukan untuk posisi penting di negara-negara demokrasi Barat, terutama untuk posisi hakim dan hakim agung.
Jika sejak awal penyaringan para calon hakim Mahkamah Konstitusi itu sudah sangat rigid, kelak peristiwa skandal Akil Mochtar tak akan terulang. Kedua jalan keluar tersebut perlahan-lahan akan mengembalikan wibawa Mahkamah Konstitusi.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo