Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENEGAKAN hukum kita tidak membuat koruptor merasa takut. Buktinya, semakin hari semakin banyak pejabat yang nekat melakukan perbuatan haram itu. Komisi Pemberantasan Korupsi tahun lalu menangani 70 kasus, meningkat lebih dari 40 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Penangkapan Bupati Biak Numfor, Papua, Yesaya Sombuk, dan pengusaha Teddy Renyut oleh KPK pekan lalu di sebuah hotel Jakarta menambah panjang daftar penyelenggara negara yang seakan-akan "maju tak gentar" mereguk hasil korupsi. Modus yang dipakai pun tergolong usang dan gampang ditebak: menyuap pejabat untuk memenangi proyek. KPK menangkap si pengusaha sedang "menggelontorkan" suap Sin$ 100 ribu atau sekitar Rp 943,7 juta agar mendapat proyek pembangunan tanggul laut yang dibiayai anggaran belanja negara. Diduga suap tahap pertama sebesar Rp 1 miliar telah pula mendarat mulus di kantong Bupati tiga hari sebelumnya.
Urusan kian serius lantaran proyek tanggul laut merupakan program Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Patut diduga Kementerian, yang dipimpin politikus Helmy Faishal Zaini dari Partai Kebangkitan Bangsa, ikut terseret. Kendati partainya sedang sibuk mendukung salah satu calon presiden, KPK haruslah tetap independen dan tidak rikuh memeriksa Helmy dan sekalian pejabat Kementerian. Yang mesti ikut diperiksa adalah inspektorat jenderal, yang seperti tak melihat indikasi penyalahgunaan wewenang dan korupsi dalam proyek ini.
Terhadap kasus penyelewengan, sebenarnya undang-undang antikorupsi menetapkan ancaman hukuman penjara maksimal seumur hidup. Tapi tuntutan jaksa dan putusan hakim kerap tidak maksimal. Sejak KPK berdiri pada 2003, hanya Akil Mochtar, bekas Ketua Mahkamah Konstitusi, yang dituntut hukuman seumur hidup, dalam kasus dugaan suap dan pencucian uang sengketa pemilihan kepala daerah.
Sebelumnya, tuntutan tertinggi cuma 18 tahun, dijatuhkan pada bekas Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Perwira tinggi itu, yang terjerat suap dan pencucian uang proyek pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi, mendapat hukuman yang sama dengan tuntutan jaksa dari pengadilan tinggi. Bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, yang tersangkut korupsi dan pencucian uang kuota impor daging sapi, juga dituntut 18 tahun, meskipun kemudian divonis 16 tahun penjara oleh pengadilan antikorupsi dan pengadilan tinggi.
Ternyata tak sedikit pula putusan hakim yang "ramah koruptor". Pada 2011, contohnya, pengadilan antikorupsi Samarinda membebaskan 14 bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kutai Kartanegara yang dituduh korupsi dana operasional Dewan. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung juga membebaskan Wakil Wali Kota Bogor Ahmad Ru'yat, Bupati Subang Eep Hidayat, dan Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad. Eep dan Mochtar akhirnya kena vonis Mahkamah Agung masing-masing lima dan enam tahun. Sedangkan Ahmad Ru'yat divonis bebas.
Yang membuat koruptor tidak kenal kapok, barangkali, bukan hanya masa hukuman. Soal minimalnya putusan denda terhadap pelaku korupsi ikut punya andil. Denda yang ringan membuat koruptor tetap asyik-masyuk menikmati harta jarahannya setelah masa hukuman berlalu. Dengan uang korupsi itu, mereka bahkan membeli kemewahan ketika berada di bui. Hanya vonis denda yang bisa "memiskinkan" mereka yang agaknya akan membuat para penyeleweng benar-benar jera. Itu setimpal dengan perbuatan mereka merampas hak masyarakat atas manfaat anggaran negara.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo