Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INILAH ironi Indonesia: memiliki 3 juta kilometer persegi laut dengan kekayaan melimpah, tapi malah rajin mengimpor ikan. Bukan cuma "ikan mulia" yang tak ada di perairan Indonesia seperti salmon, ikan asin dan ikan teri pun dipasok luar negeri. Lebih menyakitkan: sebagian ikan itu sebetulnya berasal dari laut Indonesia sendiri, yang dikeruk kapal-kapal asing.
Praktek lancung itu sudah bertekun bertahun-tahun, dan pemerintah tampaknya loyo belaka. Berasal dari Thailand, Vietnam, bahkan Cina, para penjarah laut itu menggunakan berbagai modus. Salah satunya memakai kapal berbendera Merah Putih dan memanipulasi beragam perizinan. Bahkan jejaring lobi pemilik kapal maling itu telah menembus pagar Kementerian Kelautan dan Perikanan, sehingga lahirlah regulasi yang menguntungkan mereka.
Perangkat lanun ikan itu dahsyat: kapal cepat yang susah dikejar, sonar pendeteksi lokasi ikan, pukat harimau, bahkan bom. Dampaknya tak terkira. Terumbu karang dan biota laut lain rusak dan hubar-habir. Jutaan ton ikan yang ditangkap langsung dijual ke kapal besar yang menunggu di laut bebas. Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, negara dirugikan hingga Rp 101 triliun.
Dengan kerugian begitu besar, aneh bin ajaib bila pemerintah berdiam diri. Berharap kapal patroli laut bisa menghalau kapal asing itu juga terlalu muluk. Jumlahnya hanya 27 unit, padahal kapal yang harus diawasi ada ribuan. Dalam setahun, kapal Thailand yang beroperasi di Indonesia lebih dari 3.000 buah. Belum lagi kapal Vietnam, Cina, Malaysia, dan negara-negara lain.
Sebagian kapal itu melenggang bebas karena memanipulasi dokumen. Kapal Meriyana yang ditangkap di dekat Bitung, Sulawesi Utara, merupakan contoh nyata. Kapal itu milik warga negara asing dan punya dua dokumen palsu. Satu untuk memuluskan pemeriksaan di Indonesia, satu lagi untuk urusan di luar negeri. Kapal ini juga menyandang nama lain, Yungbin 05.
Di Bitung, Tual, juga pelabuhan ikan lain, kapal berdokumen palsu seperti itu berseliweran. Mayoritas awak kapal tersebut warga negara asing. Jangan heran bila pedagang di warung-warung di Bitung bisa cang-ceng-cong berbahasa Siam menawarkan kopi. Hanya nakhoda dan beberapa gelintir kru yang warga Indonesia. Itu pun mereka tak lebih dari kapten boneka. Akal bulus semacam itu marak setelah pemberlakuan Undang-Undang Perikanan Nomor 45 Tahun 2009, yang melarang kapal asing menangkap ikan di Nusantara.
Indonesia butuh strategi pembangunan perikanan yang menyeluruh, bukan sekadar undang-undang yang "masuk angin". Tengoklah negeri Cina, produsen ikan nomor satu dunia, meski luas lautnya lebih kecil ketimbang Indonesia. Mereka tak menerbitkan undang-undang bodoh, tapi menyusun cetak biru untuk membangkitkan industri perikanan. Dalam dua dekade terakhir, negara adidaya baru itu memberikan insentif, seperti kredit murah, kepada pengusaha yang membangun armada penangkap ikan di laut internasional. Itu sebabnya di berbagai belahan samudra banyak terdapat kapal penangkap ikan dari Cina. Di setiap provinsi yang berbatasan dengan laut, negeri itu juga membangun minimal satu universitas kelautan atau maritim, industri perkapalan, dan industri pengolahan ikan.
Walhasil, industri perikanannya meroket. Negeri itu bisa menangkap 19 juta ton ikan per tahun, sedangkan Indonesia hanya 5,5 juta ton. Tanpa cetak biru, Indonesia akan terus-menerus mengimpor ikan yang justru dicuri dari laut sendiri.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo