Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DERASNYA serangan kampanye hitam terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden belakangan ini menunjukkan buruknya mutu politikus kita. Fitnah dan kebencian dihidangkan setiap hari. Tak cuma di panggung terbuka, tapi juga menyusup hingga ke ruang-ruang privat. Tak hanya dikemas dalam kata-kata penuh siasat, dusta itu bahkan disampaikan secara vulgar dan kasar. Praktek kampanye semacam itu jelas murahan dan berbahaya.
Juru kampanye di beberapa daerah, misalnya, mengeksploitasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan yang jelas-jelas dilarang Undang-Undang Pemilu. Mereka juga menggiring pemilih agar lebih mempercayai rumor ketimbang fakta. Informasi tentang calon presiden atau wakil presiden yang semestinya dikabarkan apa adanya justru direkayasa agar menjadi keburukan atau dosa.
Propaganda hitam itu dilakukan untuk menjatuhkan lawan politik buat meraup suara pemilih sebanyak-banyaknya. Mereka menggunakan berbagai sarana dan media. Di media sosial, misalnya, muncul isu yang menyebutkan calon presiden Joko Widodo keturunan Tionghoa dari Singapura. Isu ini menjadi topik utama di media sosial lebih dari sepekan.
Alih-alih mereda, kampanye hitam (smear campaign) justru kian menderu. Lembaga pemantau percakapan media sosial PoliticaWave mencatat serangan kampanye hitam dan negatif di media sosial selama Mei lalu melonjak lebih dari tiga kali lipat dari bulan sebelumnya. Dari 24 ribu percakapan yang diteliti, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mendapat serangan kampanye hitam delapan kali lebih banyak ketimbang pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Melesatnya jumlah serangan itu tentu mencemaskan. Tidak hanya karena elektabilitas kandidat yang tergerus, tapi juga lantaran masyarakat gampang termakan rumor dan fitnah. Friksi antar-pendukung pun tak terelakkan. Kendati pada akhirnya akan menjadi bumerang bagi kubu masing-masing, kampanye hitam terus saja dilayangkan. "Fatwa haram" untuk sang lawan diproduksi dari pemilu ke pemilu.
Pada pemilihan raya kali ini, kampanye tak berdasarkan fakta itu bahkan lebih masif dan sistematis. Kasus tabloid Obor Rakyat yang kini mencuat bisa menjadi contoh betapa luasnya dampak kampanye hitam yang dirancang dengan sistematis. Alamat pesantren dikumpulkan. Alamat redaksi dipalsukan. Para santri yang berada di pelosok-pelosok desa itu kemudian diguyur 100 ribu eksemplar tabloid. Ketika dipersoalkan, pemimpin tabloid itu berdalih, "Ini produk jurnalistik."
Jelas sekali tabloid tersebut bukan produk jurnalistik. Dewan Pers secara gamblang menyatakan Obor Rakyat tak memenuhi syarat faktual sebagai produk jurnalistik, yakni menulis berdasarkan fakta, berimbang, dan tidak memihak. Pada tulisan tentang asal-usul Jokowi yang disebut berasal dari keluarga Tionghoa, misalnya, tabloid ini sama sekali tak menyediakan ruang konfirmasi dari pihak yang dituduh. Obor Rakyat justru dianggap menyebarkan kabar bohong.
Tabloid itu juga tak memenuhi syarat sebagai produk pers yang mesti berbadan hukum dan terbit secara berkala. Obor Rakyat, dengan seluruh kebusukannya, tak berhak berlindung di balik Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang lex specialis. Penyebaran informasi yang bersifat fitnah itu justru merupakan tindakan kriminal.
Polisi bisa menjerat penggagas tabloid ini dengan Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan tuduhan penyebaran fitnah dan pencemaran nama dengan ancaman empat tahun penjara. Tak cuma memeriksa dua penggagas, polisi juga mesti mengungkap pihak-pihak yang terlibat di belakang penerbitan dan penyandang dana tabloid.
Pengakuan pemimpin redaksi tabloid yang juga anggota staf di kantor Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai perlu ditelusuri lebih dalam. Apalagi ia menyatakan Velix mengetahui kegiatannya itu meski mengaku cuti ketika membuat tabloid Obor Rakyat. Jika pernyataan itu benar, patut diduga Istana tak netral dalam kasus ini. Istana setidaknya telah membiarkan stafnya melakukan kampanye tercela. Pujian Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam, atasan Velix, terhadap pengelola Obor bisa memunculkan wasangka bahwa ada "restu" petinggi negara terhadap tabloid tersebut.
Lembaga kepresidenan seharusnya tertampar oleh kasus ini. Siapa pun tahu Presiden dan seluruh stafnya merupakan representasi pemerintah yang mesti berdiri di tengah. Akan sangat tidak etis jika kemudian pemerintah yang menjadi penyelenggara pemilihan presiden justru melanggar asas netralitas itu. Mereka semestinya bersikap tegas terhadap staf yang telah menodai lembaga negara.
Menggagas dan menyebarkan kampanye hitam jelas merupakan tindakan yang tak bisa ditoleransi. Meluaskan kebencian juga tak bisa dimaafkan. Tindakan itu sama sekali bukan manifestasi dari kebebasan bersuara. Aksi kriminal itu mesti mendapat hukuman setimpal.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo