Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SILANG-sengkarut kasus Alterina Hofan barangkali tak perlu masuk ke pengadilan bila polisi menyimak isi Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Dua ayat dalam Pasal 9 dan 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup tenteram, aman, bahagia, sejahtera lahir-batin. Pula, setiap orang berhak membentuk keluarga melalui perkawinan sah—atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Alterina Hofan dan istrinya, Jane Devianti, menikah pada 2008 sesuai dengan syarat yang diterakan Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Mereka menikah atas dasar suka sama suka sebagai pria dan wanita yang sama-sama berusia di atas 18 tahun. Jane tahu suaminya seorang transgender sebelum keduanya menikah. Alterina mengoperasi payudaranya di Kanada pada 2006. Status alih gendernya menjadi seorang pria ditetapkan di Catatan Sipil Jayapura pada 2006, disusul penetapan Pengadilan Negeri Jayapura pada Februari 2010.
Meski tak setuju, orang tua Jane tak berhak menghalang-halangi perkawinan mereka, apalagi sampai mengadukan sang menantu ke polisi dengan tuduhan pemalsuan akta kelahiran. Faktanya, kedua sejoli saling mencintai. Jane bahkan membuktikan rasa cintanya itu dengan cara bersedia menjaminkan diri bagi suaminya yang ditahan di Rumah Tahanan Khusus Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur, sejak 30 April lalu.
Sikap polisi juga patut disesalkan. Institusi hamba wet ini seharusnya mendahulukan perannya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat dalam menghadapi ”soal keluarga” semacam ini. Ketika menerima pengaduan kasus Alterina, mestinya aparat lebih bijaksana dengan menyarankan penyelesaian secara kekeluargaan. Bukannya malah bergegas mengirim kasus ini ke kejaksaan dan pengadilan.
Alasan orang tua Jane mengadukan Alterina mengganti jenis kelamin amat lemah. Baik kantor catatan sipil maupun pengadilan negeri sudah menyetujui koreksi jenis kelamin Alter. Terlahir sebagai penderita sindroma klinefelter, Alter punya penis, tapi payudaranya membesar akibat kelebihan kromosom X. Efek kelebihan kromosom X memang membuat tubuh penderita klinefelter mirip perempuan.
Setelah mengoperasi payudaranya, transgender ini mengubah akta kelahiran serta surat-surat identitas seturut gender barunya. Di pengadilan nanti, mudah ditebak akan ada adu kuat fakta hasil uji forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo—yang membenarkan Alterina seorang pria—versus hasil tes kromosom Rumah Sakit Polri, yang menyimpulkan bahwa Alterina wanita.
Terhadap silang pendapat seperti ini, yang sama-sama berdalih kuat, mestinya hakim mendahulukan aspek hak asasi manusia. Hakim harus pula mempertimbangkan bahwa penetapan alih status Alterina itu telah ditempuh melalui cara yang dibenarkan, sesuai dengan prosedur hukum, yakni lewat catatan sipil dan pengadilan. Jangan sampai ada kekuatan uang yang mampu mempengaruhi keputusan hakim di persidangan.
Prinsip utama dalam perkara perubahan kelamin adalah sejauh mana subyek mampu menyesuaikan diri dan memikul tanggung jawab dalam gender barunya itu. Bila kita ingin mengukur kadar tanggung jawab Alterina sebagai pria, yang paling layak ditanya tentulah Jane, yang mengaku berbahagia bersama Alterina, sang suami.
Orang tua Jane perlu mempertimbangkan penyelesaian yang bijaksana dan happy ending: merestui putri mereka membina rumah tangga laiknya suami-istri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo