Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Jalan Tuhan Menteri Sri Mulyani

10 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Keuangan Sri Mulyani tidak sedang bercanda ketika berkata bahwa keputusannya menerima tawaran Presiden Bank Dunia Robert Zoellick merupakan ”jalan Tuhan”. Dia seperti ingin menjelaskan bahwa ada kekuatan mahadahsyat yang memaksanya hijrah dari negeri yang semakin tak bersahabat dengan jalan lurus yang dia pilih.

Tadinya kami—juga banyak orang di negeri ini—berharap ada ikhtiar yang sanggup membelokkan ”takdir” Mulyani sebagai direktur pelaksana di Bank Dunia itu. Respons Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang cepat-cepat menyetujui permintaan mundur Sri Mulyani—hanya dalam enam hari setelah membaca surat resmi Zoellick—sungguh aneh. Semula dibayangkan Presiden akan memaksa Menteri Keuangan Terbaik Asia 2006 versi harian Emerging Markets itu menolak tawaran yang menggiurkan dari Bank Dunia: gaji US$ 488.300 setahun bebas pajak.

Presiden Yudhoyono sebenarnya memiliki waktu yang cukup untuk menahan Sri Mulyani agar tak terbang ke Washington, DC. Yudhoyono pertama kali mendengar pinangan lisan terhadap Menteri Keuangan sekitar sebulan lalu. Sikap Yudhoyono yang gampang melepas Mulyani jelas bertolak belakang dengan pembelaannya kepada Menteri Keuangan dalam urusan Bank Century. Ketika itu, menanggapi hasil Panitia Khusus ”Century” Dewan Perwakilan Rakyat, secara jelas Presiden mengatakan bahwa Sri Mulyani telah menjalankan tugasnya dengan baik untuk menyelamatkan negeri ini dari krisis.

Seharusnya sejak itu pula Presiden mengambil alih semua tanggung jawab soal penyelamatan Century. Kalau itu yang dilakukan Yudhoyono, Sri Mulyani dan Boediono tidak perlu berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sri Mulyani tak usah menjadi bulan-bulanan permainan politik DPR—yang dimotori Partai Golkar. Tentu bukan sebuah kebetulan bila sikap Partai Golkar tersebut satu arah dengan perseteruan antara Aburizal Bakrie, ketua umum partai itu, dan Sri Mulyani.

Sri Mulyani adalah aset penting. Presiden pun mengakui bahwa Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu I dan II ini sudah bekerja keras mengembangkan kebijakan fiskal yang tepat dan gigih melakukan reformasi, termasuk mendisiplinkan penggunaan anggaran.

Peran Menteri Sri Mulyani di pentas dunia juga sangat signifikan. Dengan pelbagai alasan ini, menolak permintaan Robert Zoellick sesungguhnya merupakan pilihan terbaik. Jika Presiden mengambil alternatif itu, dia sekaligus menegaskan posisi pemerintah untuk meneruskan kebijakan ”bersih-bersih” yang sekarang dilancarkan Sri Mulyani.

Ketika Presiden bersikap sebaliknya, yang berkembang adalah dugaan bahwa Yudhoyono memandang Sri Mulyani dengan kacamata politik yang, celakanya, menempatkan dia sebagai beban. Dugaan ini semakin kuat manakala Yudhoyono, sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, akhirnya memilih bersekutu dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Bahkan Aburizal diumumkan sebagai pemimpin harian sekretariat bersama koalisi partai propemerintah.

Kekuatan Aburizal dalam melobi—termasuk sumber dananya yang luar biasa—rupanya diharapkan Presiden mampu mengontrol Senayan agar tak lagi gencar menentang pemerintah. Dukungan Partai Beringin sangat berarti, apalagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan belakangan makin susah dikendalikan. Selain menolak berkoalisi, partai yang dipimpin Megawati itu memboikot Sri Mulyani dalam rapat-rapat di DPR.

Memegang kendali penuh atas Partai Golkar penting bagi Yudhoyono. Tentu ia tak ingin tumbangnya koalisi propemerintah dalam voting hak angket skandal Century terulang kembali. Kekalahan yang akhirnya menyebabkan mayoritas suara di parlemen menyalahkan bailout Bank Century itu sangat merepotkan Presiden.

Bersalaman dengan Aburizal dalam jangka pendek bisa membawa keuntungan politik. Yudhoyono tak perlu lagi menanggung beban akibat pertikaian politik Sri Mulyani versus politikus Senayan. Namun kompromi ini tentu membawa kompleksitas di kemudian hari. Presiden akan semakin sulit keluar dari ”tawanan” kartel politik yang kini berada di atas angin dan terbukti ampuh mengusir Sri Mulyani. Mereka baru saja sukses mengirimkan pesan: teknokrat di kabinet harus tunduk pada politikus Senayan.

Pesan ini sekaligus kabar buruk bagi pejabat dari kalangan profesional yang seharusnya steril dari kepentingan partai. Pemilihan Menteri Keuangan baru bisa dibayangkan tak lepas dari kepentingan kartel politik itu. Berarti, masih tanda tanya besar apakah sang pengganti akan meneruskan Sri Mulyani dalam menindak perkara pajak yang melibatkan bisnis keluarga Bakrie.

Reformasi bidang keuangan akan terus berjalan di tangan menteri baru dengan integritas setinggi Sri Mulyani—dan tentu seorang presiden yang lebih tegas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus