KEHARUSAN bagi Indonesia untuk tetap mempertahankan laju pertumbuhan sektor industri manufaktur yang pesat, dan untuk mengubah struktur industri menjadi struktur di mana industri manufaktur baru yang lebih padat teknologi dan otak (technology-and-brain-intensive industries) semakin berperan, telah mencetuskan gagasan dari beberapa pakar bahwa Indonesia hendaknya menempuh suatu kebijaksanaan industrial (industrial policy) yang eksplisit. Menurut para penganut mazhab "strukturalis" ini (para penganut kebijaksanaan industrial), Indonesia hendaknya mengikuti pola kebijaksanaan industrial yang telah ditempuh oleh Jepang dan beberapa negara industri baru (NIB) Asia Timur, khususnya Korea Selatan dan Taiwan. Dalam kebijaksanaan industrial yang selektif ini, pemerintah suatu negara berkembang berusaha memacu pertumbuhan beberapa industri baru yang dianggap strategis dengan proteksi tinggi, kredit murah dan lain-lain subsidi yang eksplisit dan terselubung (misalnya penyediaan lahan dan listrik yang murah), serta kepastian dalam pemasaran melalui pembelian oleh pemerintah (government procurement). Menurut para penganut kebijaksanaan industrial ini, campur tangan pemerintah itu sangat diperlukan karena, jika diserahkan pada mekanisme pasar saja, industri-industri baru yang strategis ini sulit berkembang akibat kegagalan atau ketidaksempurnaan mekanisme pasar. Menurut Profesor Chalmers Johnson, pakar Amerika tentang kebijaksanaan industrial Jepang, keberhasilan Jepang dalam menempuh kebijaksanaan industrial terletak pada kemitraan yang tangguh antara para birokrat pemerintah dan para pengusaha swasta yang besar. Berbeda dengan negara komunis, para pejabat tinggi Jepang tidak berusaha menguasai perusahaan swasta. Mereka berusaha membina ekonomi nasional dengan mengandalkan diri pada para wiraswasta yang mereka manfaatkan sebagai antena mereka. Ekonomi Jepang sesudah Perang Dunia Kedua dapat berkembang dengan baik karena bidang-bidang industri yang mempunyai prospek pertumbuhan ekspor yang baik dirangsang oleh seperangkat kebijaksanaan yang mendorong investasi swasta dalam bidang-bidang industri tersebut. Para pejabat tinggi Jepang dari kementerian keuangan, kementerian perdagangan dan industri (MITI), dan badan perencanaan ekonomi (EPA) menduduki jabatan kunci dalam jajaran birokrasi pemerintah Jepang, dan termasuk para warga yang paling disegani oleh masyarakat Jepang (berbeda dengan para politikus yang umumnya sangat korup). Kedudukan para pejabat tinggi ini tidak bergantung pada pergantian kabinet atau menteri, sehingga keputusan-keputusan para pejabat tinggi ini tidak begitu dipengaruhi oleh pertimbangan politik jangka pendek. Meskipun mereka, seperti juga pejabat di negara lain, tentu dipengaruhi juga oleh desakan dan tuntutan berbagai kepentingan yang bercokol, para pejabat tinggi ini pada umumnya dapat menyusun anggaran negara, mengeluarkan undang-undang serta peraturan-peraturan pemerintah, dan mengadakan pembaruan dalam kebijaksanaan pemerintah dengan berpegang teguh pada apa yang mereka lihat sebagai kepentingan nasional jangka panjang Jepang. Apakah kemitraan tangguh antara birokrat dan pengusaha swasta, yang dapat merumuskan dan melaksanakan kebijaksanaan industrial dengan konsisten tapi luwes, juga dapat terwujud di Indonesia? Kiranya tidak, sedikitnya dalam jangka pendek. Dibeberkannya berbagai kasus manipulasi dan megakorupsi di surat-surat kabar akhir-akhir ini, akibat kolusi antara para pejabat dan pengusaha, mengungkapkan bahwa di Indonesia memang telah terbentuk suatu "kemitraan" antara beberapa birokrat dan pengusaha. Namun, "kemitraan" ini ternyata adalah suatu "kemitraan" atau "Indonesia incorporated" yang tidak wajar, dan yang sama sekali tidak mengindahkan kepentingan nasional jangka pendek, apalagi kepentingan nasional jangka panjang. Berhubungan dengan hal ini, maka suatu kebijaksanaan industrial kini sulit dapat diterapkan di Indonesia. Karena akses khusus yang dinikmati beberapa pengusaha tertentu (yang lebih tepat disebut sebagai pemburu rente), para penentu kebijaksanaan tidak terlindung (insulated) dari tuntutan atau bujukan pengusaha-pengusaha tersebut. Akibatnya, kebijaksanaan yang dikeluarkan sering tidak didasarkan atas kepentingan nasional, tapi hanya atas kepentingan khusus beberapa gelintir pemburu rente tertentu. Terlepas dari kesulitan dalam menempuh kebijaksanaan industrial di Indonesia, maka perkembangan dalam ekonomi internasional, seperti berakhirnya Putaran Uruguay, dan kecenderungan proteksionis dari negara-negara Barat yang makin kuat, tidak memberikan kesempatan lagi bagi negara-negara berkembang untuk mengikuti pola kebijaksanaan industrial seperti yang ditempuh oleh Jepang dan Korea (Selatan). Dengan lingkungan internal dan eksternal yang kurang mendukung kebijaksanaan industrial ala Jepang atau Korea, apa yang dapat dilakukan Indonesia untuk mempertahankan pertumbuhan yang mantap dari sektor industri manufaktur dan ekspor hasil- hasil industri? Kiranya langkah pertama yang mutlak adalah memperbaiki sistem insentif dan iklim usaha bagi para pengusaha bonafide dengan melanjutkan kebijaksanaan deregulasi di berbagai bidang (antara lain untuk menghilangkan kecenderungan anti-ekspor yang masih terdapat dalam kebijaksanaan niaga), dan dengan memberlakukan kebijaksanaan kompetisi (competition policies) yang dapat mengurangi konsentrasi industrial yang tinggi di Indonesia serta praktek-praktek monopoli (misalnya penetapan harga yang terlampau tinggi oleh monopolis) yang hingga kini masih merajalela di Indonesia. PH THEE KIAN WIE
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini