Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menteri dan partai koalisi Jokowi mendorong Pemilu 2024 ditunda dan masa jabatan presiden diperpanjang.
Presiden Jokowi terkesan membiarkan orang-orang di sekitarnya menjajakan usul penundaan pemilu.
Penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden mengkhianati reformasi.
TAK sulit menduga dari mana gagasan penundaan pemilihan umum berasal. Pernah menyatakan menolak, Presiden Joko Widodo nyatanya irit bicara ketika tiga wakil partai pro-pemerintah dan seorang menteri nonpartai mengusulkannya tetap menjadi presiden setelah 2024. Apa pun bentuknya—penundaan pemilu selama beberapa tahun atau perpanjangan masa jabatan presiden hingga 2029—Jokowi adalah orang yang paling diuntungkan oleh skenario ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sempat redup, isu tersebut kembali didengungkan pada Februari lalu. Adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar; Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto; dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan yang menyatakannya dalam tiga kesempatan terpisah. Sebelum itu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia berbicara hal serupa. Semua mengklaim gagasan itu merupakan usul masyarakat dan didasarkan pada alasan pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19 dan tingginya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Jokowi pada Jumat, 4 Maret lalu, hendaknya dibaca sebagai siasat politik. Menyebutkan tunduk pada konstitusi, ia mengatakan gagasan menunda pemilu merupakan aspirasi yang harus dihormati. Terkesan malu tapi mau, Jokowi tampaknya sedang menggunakan strategi dua wajah.
Liputan majalah ini menemukan fakta bahwa pernyataan-pernyataan mendukung penundaan pemilu diorkestrasi oleh orang-orang kepercayaan Jokowi. Satu di antaranya Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Gagasan perpanjangan masa jabatan presiden sebelumnya dikaji Laboratorium Indonesia 2045. Bekas Menteri Sekretaris Kabinet yang kini menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Andi Widjajanto, tercatat sebagai penasihat senior lembaga itu. Skenario yang mereka siapkan: Jokowi menjabat tiga periode dan pemilu ditunda selama tiga tahun, satu tahun, atau setidaknya delapan bulan. Jalan yang akan dipakai adalah amendemen konstitusi.
Penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden akan diajukan bersamaan dengan rencana Majelis Permusyawaratan Rakyat mengubah Undang-Undang Dasar 1945 untuk menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara, bentuk lain dari Garis-Garis Besar Haluan Negara. Menguasai 74 persen kursi di MPR, pemerintah dan partai pendukungnya tak sulit menjalankan amendemen itu.
Penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi dan cita-cita reformasi. Pembatasan masa jabatan presiden dilakukan dengan asumsi kekuasaan yang tak dibatasi akan korup dan kehilangan kontrol. Upaya “kecil” untuk memperpanjang masa kekuasaan—sekadar menunda pemilu selama delapan bulan atau tiga tahun—merupakan pintu masuk bagi kekuasaan tanpa batas waktu.
Alasan permintaan publik dan kegentingan pandemi tentulah tak masuk akal dan mengada-ada. Survei mengatakan sebagian besar responden tak menyetujui perpanjangan masa jabatan presiden betapapun mereka mengaku puas atas kinerja pemerintah. Pandemi, seperti juga problem lain, seperti kemiskinan, pengangguran, dan pemerataan, hanya dapat diatasi dengan baik oleh pemerintahan yang dibatasi waktu dan diuji secara periodik lewat proses politik bernama pemilu. Mengasumsikan hanya presiden petahana yang mampu mengatasi keadaan merupakan sikap gede rasa dan tak tahu diri.
Jokowi mungkin tak menyadari berapa besar kerusakan yang dialami Indonesia jika penundaan pemilu itu dilakukan: Republik dapat kembali ke masa otoritarian. Di era Orde Baru dulu, Soeharto mendapuk dirinya menjadi bapak pembangunan dan memerintah tiga dekade tanpa kontrol. Sukarno menyebut dirinya paduka yang mulia/pemimpin besar revolusi /presiden seumur hidup dan memerintah tanpa batas. Yang pertama memperpanjang masa kekuasaan lewat pemilu yang tak demokratis atas nama pembangunan. Yang kedua memberangus pemilu dan semua perangkat demokrasi atas nama revolusi dan keutuhan bangsa.
Yang patut diingat Jokowi: lewat revolusi yang memakan korban jiwa, keduanya jatuh dengan hina dan menyedihkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo