Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo sudah benar ketika memutuskan akan menghabiskan masa pensiunnya di rumahnya di Karanganyar, Jawa Tengah. Rumah hadiah negara itu strategis karena dekat dengan akses transportasi publik, seperti Bandar Udara Adi Soemarmo; stasiun kereta api Karanganyar yang melayani jalur ke Jakarta, Solo, dan Bandung; serta jalan tol Surabaya sampai Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayangkan bila Jokowi tinggal di Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur. Betapa sengsaranya dia nanti jika hidup di sebuah kota baru yang hingga kini belum layak huni karena fasilitasnya belum memadai. Pembangunan bandaranya saja belum rampung, padahal sangat dibutuhkan agar upacara 17 Agustus dapat berjalan. Hujan deras di sana telah membuat pembangunan terhambat karena tanahnya jadi lumpur sehingga pengaspalan landasan pacunya harus dinaungi tenda besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembangunan di IKN menjadi sangat mahal karena harus mendatangkan material dari pulau lain, seperti Jawa dan Sulawesi. Pasir dan batu saja harus didatangkan dari Sulawesi Tengah. Dalam nota kesepahaman antara Gubernur Sulawesi Tengah dan Gubernur Kalimantan Timur pada 2021, IKN membutuhkan 30 juta ton batu pecah untuk pembangunan infrastruktur. Akibatnya, pertambangan batu pun dilakukan secara masif di beberapa daerah di Sulawesi Tengah, seperti Palu, Donggala, dan Sili.
Pertambangan galian C itu mengakibatkan penurunan kualitas hidup dan lingkungan di area pertambangan. Debu setiap hari menyelimuti perkampungan dan badan jalan Trans Palu-Donggala sehingga masyarakat harus menutup rapat-rapat rumah mereka. Pengguna jalan juga harus menggunakan masker tebal dan kacamata.
Bukan hanya itu. Jumlah kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) melonjak, terutama di Palu. Sebuah pusat kesehatan masyarakat di Palu mencatat kenaikan angka kasus ISPA, dari semula hanya 800-an setahun menjadi hingga 3.000 kasus setahun dalam dua tahun terakhir.
Ini ironi bagi IKN, yang Jokowi agung-agungkan sebagai smart future forest city. Kota itu diklaim akan menjadi kota cerdas, ramah lingkungan, dan rendah emisi karbon. Sebanyak 75 persen lahannya merupakan ruang hijau dan kebutuhan energi 100 persen akan dipasok dari energi terbarukan, seperti tenaga matahari dan angin. Untuk membangun semua fasilitas itu, IKN justru merusak lingkungan di daerah lain, yang juga berdampak pada kesehatan penduduknya.
Kian jelas sudah bahwa IKN tak pantas disebut sebagai kota ramah lingkungan karena dibangun dengan material yang sangat merusak lingkungan. Majalah ini sudah berkali-kali memperingatkan bahwa pembangunan IKN sangat tidak layak dilakukan. Rencana pembangunan itu hanya bertujuan memenuhi ambisi Jokowi membuat warisan monumental dari masa pemerintahannya. Tak ada studi kelayakan yang memadai untuk IKN. Tak ada pula dialog publik mengenai rencana itu.
Pembangunan itu telah dan akan menyedot habis anggaran negara, sedangkan janji pemerintah Jokowi mendatangkan investor tak pernah dipenuhi. Mana ada investor yang mau menanamkan modal di lahan yang bahkan tak punya cukup batu dan kerikil untuk membangun rumah saja.
Sekali lagi, proyek IKN harus dihentikan sebelum kerusakan lingkungan di daerah lain menjadi-jadi. Presiden terpilih Prabowo Subianto dapat menghentikannya demi keselamatan masyarakat dan kesehatan anggaran.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terkena Getah Ibu Kota Negara"