Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDONESIA menjadi pasar narkoba global. Lemahnya penegakan hukum dan besarnya jumlah pengguna di Tanah Air menyuburkan perdagangan barang ilegal itu dari seluruh dunia. Sindikat internasional pun melakukan berbagai cara untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaringan narkoba internasional tergambar pada pengiriman 5,1 kilogram paket sabu lewat jalur logistik udara di Jakarta pada 11 Desember 2023. Sabu itu diselipkan di antara kotak keramik lantai yang dikirim dari Meksiko. Pengiriman sabu itu dikendalikan oleh warga negara Australia bernama Gregor Johann Haas. Ia ditengarai kaki tangan Kartel Sinaloa, sindikat narkotik di Meksiko yang dipimpin gembong narkotik dunia, Joaquín Guzmán-Loera alias El Chapo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya mengirim paket dadah, sindikat lain merekrut pekerja untuk membuat pabrik narkoba. Pola ini terungkap dari pabrik narkotik di Malang, Jawa Timur, yang disebut-sebut sebagai yang terbesar di Indonesia. Lima pekerja tersebut dikendalikan dari Malaysia. Saat digerebek polisi, pabrik yang berkedok kantor penyelenggaraan acara tersebut berisi 1,2 ton ganja sintetis siap edar, 25 ribu butir pil ekstasi dan 25 ribu pil Xanax, serta 40 kilogram bahan baku yang bisa diolah menjadi 2,1 juta butir ekstasi.
Sepanjang 2016-2021, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mencatat transaksi narkotik mencapai Rp 400 triliun. Angka menggiurkan itu membuat para bandar tak pernah patah semangat menembus Indonesia. Sebab, ada 3,3 juta pengguna narkotik yang tersebar di kota besar hingga pelosok desa pada 2024. Situasi inilah yang membuat Indonesia dinyatakan darurat narkoba dalam tiga tahun belakangan.
Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kepolisian RI memang rutin menangkap pengedar dan bandar hingga membongkar pabrik narkotik sepanjang tahun. Tapi mereka tak pernah berhasil menekan jumlah pemadat dan nilai transaksi narkotik. Cengkeraman sindikat narkoba bahkan makin kuat. Indikasinya, peredaran narkotik di dalam penjara terus meluas.
Situasi ini diperparah oleh adanya peran polisi dalam jaringan peredaran narkotik. Mantan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Teddy Minahasa, misalnya, terbukti menggelapkan 5 kilogram sabu yang seharusnya menjadi barang bukti polisi. Belum lagi barisan personel kepolisian berpangkat bintara yang tertangkap mengedarkan narkotik tiap tahun. Padahal tanggung jawab pemberantasan narkotik berada di tangan polisi.
Sudah lama penegakan hukum kasus narkotik tak pernah optimal. Penyelundupan narkotik lewat jalur laut kerap lolos karena patroli kapal Korps Kepolisian Air dan Udara Polri, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta lembaga lain yang bertugas mengawasi perairan berjalan sendiri-sendiri. BNN dan Direktorat Narkoba Polri juga tak kompak memberantas jaringan narkotik.
Pada September 2023, Polri bahkan membentuk Satuan Tugas Penanggulangan, Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkoba. Sejak berdiri, mereka mengklaim menyita 4,4 ton sabu. Munculnya organisasi baru justru makin membuat tugas pemberantasan narkotik tumpang-tindih antara BNN dan Direktorat Narkoba Polri. Karut-marut penegakan hukum ini pasti menjadi celah sindikat narkotik internasional untuk terus beroperasi di Tanah Air.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Indonesia: Pasar Terbuka Narkotik Dunia"