Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKU Tyrant: Shakespeare on Politics (2019) menarik perhatian di antara karya-karya brilian profesor Harvard yang menempati rak-rak buku di Harvard Coop, Harvard Square, Amerika Serikat. Stephen Greenblatt, penulisnya, mengajar mata kuliah Shakespeare di Harvard University. Meskipun hidup lima abad silam, Shakespeare tetap menarik diperbincangkan kembali bukan sebagai pengagum monarki yang buta, melainkan sebagai sastrawan yang kritis pada praktik kekuasaan yang tiranis, di bawah kuasa para tiran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah para tiran, dari Julius Caesar, Henry VI, Richard III, King Lear, Macbeth, hingga Coriolanus, mewarnai berbagai karya kanon Shakespeare. Ia sebenarnya gelisah terhadap kemungkinan negara jatuh ke tangan tiran. “Shakespeare grappled again and again with a deeply unsettling question: ‘How is it possible for a whole country to fall into the hands of a tyrant?’” Tiran berkuasa tidak hanya dalam sistem monarki, tapi juga dalam sistem demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertanyaan yang dihadapi Shakespeare sejak awal 1590-an tiba-tiba mengusik pikiran kritis saya atas kondisi Republik Indonesia: bagaimana mungkin negara berbentuk republik demokratis, yang bersandar pada supremasi hukum, jatuh ke tangan tiran populis?
Tiran populis beroperasi dalam ruang demokrasi. Praktik demokrasi yang terbatas pada tampilan dan topeng elektoral (a facade of democracy) membuka jalan politik bagi kekuasaan tiran populis untuk memenangkan rakyat melalui pemilihan umum. Pemilu langsung, yang membuat sistem demokrasi Indonesia jauh lebih liberal daripada demokrasi Amerika yang berbasis pada electoral college, telah membuka jalan bagi pemimpin populis menjadi presiden secara populer, lalu berkuasa dalam pemerintahan republik sebagai seorang tiran.
Negara republik yang jatuh ke tangan seorang tiran populis ini mungkin terjadi di dalam ruang demokrasi. “Kursi kepresidenan yang dipilih rakyat,” kata pendiri Amerika Serikat, Alexander Hamilton (1757-1804), dalam The Federalist Papers (1787-1788), “dapat dengan mudah direbut oleh mereka yang memanfaatkan rasa takut dan ketidaktahuan [rakyat] untuk memenangi pemilu dan akhirnya memerintah sebagai tiran.”
Kemenangan politik elektoral direbut oleh tiran, antara lain, dengan jubah populisme, yang sarat dengan politik kebohongan dan tipu muslihat—fraudulent populism, meminjam istilah Shakespeare. Fraudulent populism sengaja dipakai sebagai strategi politik kebohongan dan tipu muslihat bagi tiran populis untuk memanipulasi kesadaran rakyat.
Di hadapan publik, tiran terkesan sebagai figur yang merangkul rakyat, tapi sebenarnya mengeksploitasi rakyat demi kepentingan politiknya. Apa yang dirisaukan Shakespeare tentang bahaya fraudulent populism itu—yakni “merangkul rakyat miskin, tapi kenyataannya menjadikannya eksploitasi [politik] yang sinikal”—sepenuhnya terjadi dalam kepemimpinan populisme otoriter di republik ini.
Tiran populis mengeksploitasi suara dan dukungan rakyat melalui berbagai kebijakan populis yang sesuai dengan kebutuhan dasar yang pragmatis. Populisme yang berkelindan dengan kepemimpinan otoriter telah menjadi karakteristik utama pemimpin populis yang bengis. Ia beretorika dengan populisme—“saya, dan saya sendiri, merepresentasikan rakyat” (Jan-Werner Müller, 2016)—untuk melegitimasi gaya pemerintahannya yang populis sambil berperilaku otoriter dengan merusak aturan hukum, sistem kepartaian, dan substansi demokrasi.
Sejatinya, kebijakan populis tidak pernah membebaskan rakyat dari kemiskinan dan ketertinggalan dalam berbagai aspek, dari pendidikan, modal manusia, kesehatan, hingga penghidupan yang layak. Hal ini terbukti bahwa, setelah berkuasa hampir sepuluh tahun, tiran populis akan meninggalkan mayoritas rakyatnya yang rentan hidup miskin dan lebih dari 25 juta rakyatnya yang tetap hidup miskin. “Pemimpin yang tidak bermoral,” demikian Shakespeare memberikan peringatan keras kepada tiran, “tidak punya minat memperbaiki nasib masyarakat miskin.”
Moral, etika, dan nilai keadaban republik telah dibuang jauh-jauh demi pragmatisme politik tiran populis. Ia hanya berorientasi pada sikap tamak pada kekuasaan belaka, yakni kekuasaan yang memberikan keuntungan bukan pada publik, melainkan pada kepentingan diri sendiri dan keluarga. Negara republik yang bersandar pada supremasi hukum dan keutamaan publik telah dirobek-robek menjadi negara kekuasaan yang sepenuhnya tunduk pada hukum yang menguntungkan kepentingan tiran sendiri (the law of a tyrant’s self-interest).
Karena itu, orientasi pragmatisme politik bagi tiran populis dalam menjalankan pemerintahan, meminjam analisis ilmuwan Skotlandia, George Buchanan (1506-1582), “bukan demi negaranya, melainkan demi dirinya sendiri, yang tidak mempertimbangkan kepentingan publik, melainkan kesenangannya sendiri” (2004).
Baca kolom Sukidi lain:
Itulah hukum tiran populis (the law of a populist tyrant). Negara republik yang bersandar pada aturan hukum jatuh di tangan seorang tiran populis yang bekerja tidak untuk kepentingan negara, melainkan untuk kepentingan diri sendiri. Jika ada aturan yang tidak berpihak kepadanya, tiran populis mengubah hukum untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya dengan cara yang secara teknis legal, tapi sebenarnya merupakan praktik eksploitasi konstitusional secara kasar—constitutional hardball (2004)—kata Mark Tushnet di Harvard Law School.
Jatuhnya republik demokratis yang bersandar pada supremasi hukum ke tangan seorang tiran populis ini mengkonfirmasi kebenaran ramalan Shakespeare lima abad silam bahwa karakter seorang tiran “tidak hanya acuh tak acuh terhadap hukum; dia membencinya dan bahkan senang melanggarnya. Dia membagi dunia menjadi pemenang dan pecundang. Kepentingan publik adalah sesuatu yang hanya hendak dibicarakan oleh para pecundang. Apa yang dia suka bicarakan adalah kemenangan”.
Dengan demikian, tiran populis berorientasi sepenuhnya pada kemenangan tanpa pertimbangan moral, etika, dan nilai keutamaan republik agar kekuasaan dapat ditujukan untuk memenuhi hasrat kesenangan sendiri dan keluarganya. Spirit republik yang bersandar pada hukum mewakili gagasan utama tentang kemaslahatan publik yang justru tiran populis anggap remeh, karena hal itu bertentangan dengan kepentingannya sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo