Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Shanghai

5 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Shanghai: sebuah kota yang dilecut. Gedung-gedung menyeruak ke langit seperti berlomba untuk dapat tempat, atau nama, atau masa depan. Arsitektur seakan-akan dipesan mendadak; deretan bangunan itu tampak tegang, riuh, tak jarang sumbang. Dari distrik Waitan (orang Inggris menyebutnya "The Bund"), dari boulevard sepanjang Sungai Huangpu, orang akan terkejut, atau tertawa geli, melihat di seberang menara TV "Mutiara Timur" mencuat penuh ambisi hampir 500 meter -- kaku, berpucuk runcing dan agresif, mirip jarum suntik yang dibikin besar untuk mencocok awan.

Modernitas selalu tergoda kecepatan, terbujuk hasrat menjulang dan dengan agresif menjangkau. Tapi tak berarti dengan langkah bergegas itu baru sekarang Shanghai masuk ke dalamnya. Riwayat kota dari abad ke-11 ini berbeda dari kota Asia yang lain. Setelah Perjanjian Nanking di tahun 1842, setelah Cina terdesak karena kalah dalam Perang Candu, negara (dan modal) Barat mendapatkan wilayah dan hak-hak khusus di kota itu. Mereka membawa yang baik dan yang buruk dari dalam yang "modern", yang belum pernah ada sejak Dinasti Sung.

Asosiasi pialang saham terbentuk pada 1898. Pasar Modal Shanghai 1904. Kini bangunannya konon tiga kali lebih besar ketimbang Pasar Modal Tokyo, dan tak mengherankan bila ia bisa jadi episenter sebuah gempa kapitalisme: Selasa yang lalu Indeks Gabungan pasar modal kota itu turun hampir 9 persen, dan di seluruh dunia saham pun berjatuhan.

Shanghai sebuah kekuatan tersendiri tampaknya; ia sejarah blasteran besar. Sejak dulu orang hidup dengan "budaya Yangjingbang", kata yang diambil dari nama kali yang kemudian diurug jadi jalan, tanda wilayah yang dikuasai orang asing. Dengan kata lain: di sini hidup manusia liplap. Tak urung, mereka yang membenci ketidak-murnian itu menyebut Shanghai "Cabo Asia".

Tapi sifat itulah yang membentuk dinamika dan tragedinya.

Dalam novel Andre Malraux yang termashur itu, La Condition Humaine, ("Keadaan Manusia", terbit 1933, dengan latarbelakang Shanghai tahun 1926), dinamika dan tragedi itu berpadu pada pembrontakan. Tokoh Tchen dan Kyo Gisors orang revolusioner (dengan kata lain: modern) yang hendak mengubah masyarakat Cina jadi adil, tapi gagal. Tchen, sang teroris, tewas ketika mencoba meledakkan bom bunuh diri; Gisors, si pemimpin pembrontak, tak hendak menyerah dan menelan racun.

Novel Malraux menampilkan Shanghai sebagai latar "manusia". "Cina" adalah bagian dari yang humaine itu. Bersama Tchen dan Gisors, ada Baron De Clappique, seorang Prancis penjudi; May, isteri Kyo, seorang Jerman. Dengan kata lain, pembrontakan itu sebuah perlawanan "anak semua bangsa" yang tanpa tapal batas. Dengan kata lain, perlawanan itu tak mengindahkan wilayah manusia yang dipagari tapal batas secara palsu. Itu agaknya yang membuat novel Malraux klaustrofobik: hampir seluruh kejadian berlangsung di ruang-ruang tertutup. La Condition Humaine tak menggambarkan jalanan, sungai, taman, dan unsur lain lanskap kota Shanghai. Semua itu - yang seharusnya merupakan ruang bersama -- tak relevan karena tak lagi bisa buat bersama.

Kini gambaran Malraux itu tentulah tak berlaku lagi, meskipun orang asing tetap terpisah: para "expat" tinggal di wilayah Hongqiao dan Gubei yang mahal, setelah orang Cina yang miskin digusur. Shanghai 2007 tak akan berontak. Kota yang di tahun 1960-an menembakkan salvo pertama "Revolusi Kebudayaan" itu - yang mengganyang habis para penempuh "jalan kapitalis" -- kini kembali memanggil modal dari mana saja. Menara IBM dan menara Passat tegak mencolok dan 25 lebih perusahaan multinasional buka cabang di Shanghai (hanya 11 di Beijing). Penduduk ramai-ramai berjudi di pasar modal yang mereka sebut du bo ji, mesin berselot penadah uang.

Setelah "Revolusi Kebudayaan" gagal, setelah Mao terpacak seperti dewa yang jauh, "budaya Yangjingbang" dilanjutkan "budaya Xingbake" - nama sebuah usaha kopi Shanghai yang meniru Starbuck. Tapi lebih dari di masa lalu, bahkan merk blasteran itu dikalahkan merk asli yang justru milik asing. Tahun lalu Hakim Lu di Paradilan Rakyat menganggap pengusaha "Xingbake" menjiplak secara tak sah Starbuck. Orang lokal itu didenda 62 ribu dollar.

Kini "keadilan" memang tak selamanya menguntungkan yang lemah; "keadilan" tak selalu sama dengan "pemerataan". Dan di situlah soalnya. Shanghai dilecut modernitas tapi dihantui sejarahnya, ketika "pemerataan" (semangat Revolusi Mao) identik dengan "keadilan". Jika hal ini tak menimbulkan bentrokan besar, itu karena orang tak bebas berbicara dan berpolitik - seraya ingat betul sisi lain masa lalu: protes dan pergolakan bisa amat destruktif.

Tapi dilema itu tetap: tiap pertumbuhan ekonomi yang pesat dibarengi ketimpangan sosial yang berat. Cina 2007 membantah kesimpulan Mahbub ul-Haq. Tiga dasawarsa yang lalu, pakar ekonomi itu mengatakan bahwa pembangunan sosialis Mao yang mendahulukan "pemerataan" lebih bisa membuat perekonomian tumbuh ketimbang cara India yang "borjuis". Kini ceritanya terbalik. Perekonomian Cina tumbuh spektakuler sampai 9%, ketika, seperti ditunjukkan laporan Akademi Ilmu-Ilmu Sosial, 10% keluarga terkaya memiliki lebih dari 40% asset swasta, sedang 10% yang termiskin hanya menikmati kurang dari 2% kekayaan total. Menurut Bank Dunia, koefisien Gini di Cina tahun 2005 - yang mengukur jarak antara si kaya dan si miskin - lebih tinggi ketimbang India. Juga ketimbang Indonesia.

Mungkin inilah La Condition Humaine kini: di dunia yang tak mau melarat lagi, orang harus menjawab pertanyaan sulit "neo-liberalisme": bagaimana "pemerataan" dicapai tanpa intervensi Negara? Tapi bagaimana intervensi Negara tak menimbulkan korupsi dan kesewenang-wenangan?

Di episenter gempa kapitalisme, di mana pertanyaan itu belum terjawab, saya bayangkan sebuah kawah. Di dalamnya bergolak magma kegelisahan yang entah akan jadi apa.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus