DIJEPIT operasi militer di Aceh, Gerakan Aceh Merdeka malah "melompat" ke medan pertempuran diplomasi di Eropa. Rabu pekan lalu, delegasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berhasil tampil dalam forum Parlemen Eropa di Brussel, Belgia. Parlemen Eropa berdiri tahun 1957, dan kini beranggotakan 626 orang yang mewakili 15 negara.
Perdana Menteri GAM, Teungku Malik Mahmud, didampingi mantan aktivis Kontras Aceh, Aguswandi, meramu jualan politiknya di Komisi Kerja Sama Pembangunan. Keduanya bertujuan agar Uni Eropa mengirimkan tim pencari fakta ke Aceh. GAM menyatakan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia akibat operasi militer TNI-Polri yang dilancarkan sejak Mei yang lalu.
Menurut versi GAM, pelanggaran itu berupa pembunuhan, pembakaran kampung, penculikan, dan pemerkosaan, yang menimpa masyarakat sipil. Selain itu, Malik Mahmud juga menuduh, ”TNI membentuk dan membawa pasukan milisi dalam konflik Aceh.”
Mahmud juga meminta masyarakat internasional menekan Indonesia agar mau bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi itu. Proposal damai juga mereka selipkan: minta masyarakat Eropa mendorong pemerintah RI agar bersama-sama mencari jalan keluar secara damai.
Pihak TNI, melalui Kepala Dinas Penerangan Umum, Kolonel D.J. Nachrowi, membantah pelanggaran hak asasi dan pengerahan milisi itu. ”Kalaupun ada pelanggaran, kami sudah menindak oknum TNI yang melakukannya,” kata Nachrowi.
Tapi, bagaimana GAM bisa menginternasionalkan soal Aceh ini sampai di Brussel?
Menurut Aguswandi, pada awalnya mereka hanya diundang sebagai pendengar. Tetapi, seminggu kemudian datang undangan resmi dan bahkan dirinya diminta menjadi pembicara. ”Mereka ingin melihat perspektif lain dalam konflik Aceh, yakni perspektif dari gerakan masyarakat sipil,” ujar pelarian politik Aceh yang kini tinggal di London itu.
Forum dengar pendapat ini memang telah lama direncanakan Parlemen Eropa. Tepatnya dirancang setelah perundingan RI-GAM di Tokyo pada 17 Mei 2003 lalu gagal mencari jalan damai. Aceh pun kemudian memasuki fase pertempuran militer. Bagi masyarakat Eropa, ini langkah mundur mengingat sebelum perang di Aceh mereka sudah bersedia menjadi fasilitator perdamaian. Selain alasan itu, forum tersebut dirancang untuk mengetahui lebih dalam dan detail soal Aceh dan masalah lain di Indonesia, termasuk soal Papua, sebelum kunjungan Presiden Megawati Soekarnoputri ke Eropa pada 9 Oktober ini.
Dalam forum yang diketuai Didier Rod M.E.P., anggota Komisi Kerja Sama Pembangunan dalam kelompok kerja hak asasi manusia ini, pemerintah RI pun sebenarnya diundang secara resmi. Tapi, jangankan datang untuk "bertempur" di jalur diplomatik dan menjelaskan duduk perkara, pemerintah RI memilih tidak hadir.
Menurut Duta Besar RI untuk Uni Eropa, Abdurrachman Mattaliti, Indonesia merasa keberatan jika didudukkan setara dengan wakil-wakil gerakan separatis atau lembaga swadaya masyarakat. ”Ada pula kekhawatiran jika acara seperti ini menjadi kebiasaan yang berkelanjutan,” ujarnya kepada Aboeprijadi Santoso dari Radio Nederland. Mattaliti pun tak mau berkomentar panjang-lebar karena secara resmi ia belum bertugas karena belum menyerahkan surat-surat kepercayaannya kepada Komisi Eropa.
Marty Natalegawa, juru bicara Departemen Luar Negeri Indonesia, mengatakan forum ini tidak kredibel karena hanya merupakan sub-komisi Parlemen Eropa yang membidangi kerja sama dan pembangunan. Jumlah anggota komite ini 64 orang, tapi yang hadir dalam pertemuan itu hanya delapan orang. ”Ketidakhadiran sebagian besar anggota itu menunjukkan betapa tidak kredibelnya forum itu,” ujar Marty. Ia mendengar dua anggota Uni Eropa juga mempertanyakan kredibilitas forum yang tidak mencapai kuorum itu.
Kendati mengundang GAM dalam forum itu, Ketua Komisi Kerja Sama Pembangunan Parlemen Eropa, Margrietus van den Berg dari Partai Buruh Belanda, juga menekankan bahwa Uni Eropa tetap mengakui integritas RI. Menurut dia, acara ini hanya dimaksudkan untuk bertukar pendapat. ”Kita tidak mau mengganggu integritas Indonesia, tapi tetap mau mendengar suara lain,” ujarnya.
Sebuah "riak kecil" dari perang yang terus berlangsung di Aceh.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Wahyu Dhyatmika, dan Lea Pamungkas (Brussel)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini