DESA Pekunden terdiri dari 10 pedukuham Terletak di Kecamatan
Ngluwar Kabupaten Magelang, desa ini berada di kaki barat Gunung
Merapi yang selalu berteriak hendak meledak itu. Karena itu,
meskipun tidak seluruhnya, sekurang-kurangnya 6 dari 10
pedukuhan tadi selalu berada dalam ancaman lahar dingin dari
gunung tadi, yaitu melalui Sungai Krasak. Dukuh-dukuh tadi
adalah Mriyam, Klitak, Guling, Tambakan, Mancasan dan
Nganggrung.
Walaupun bahaya maut selalu mengintai, namun penduduk desa ini
tampak tenang-tenang saja. Ini mudah difahami, bila diingat
bahwa kawasan desa ini subur dan hasil pertanian cukup melimpah.
Menurut Kepala Desa Pakunden, Praptodihardjo, "di desa ini
tercatat 30 buah sepeda motor, 42 buah radio transistor dan 2
buah pesawat televisi." Memang bulan Nopember 1976 lalu sebagian
dukuh-dukuh yang ada pernah dilanda banjir lahar dingin. Tapi
tak ada korban manusia. Sebab penduduk di sini rupanya sudah
faham benar akan tanda-tanda bila saatnya harus mengungsi ke
tempat aman jika gelagat banjir lahar akan mengancam.
Gelagat itu akan terlihat bila puncak Gunung Merapi diselimuti
kabut tebal. Artinya tak lama lagi akan turun hujan deras dan
Sungai Krasak (yang jaraknya hanya 1 Km dari tepi desa) akan
mengalirkan lahar dingin. Maka pendudukpun bersiap-siap menuju
ke tempat aman, lengkap dengan barang bawaan yang paling
berharga. Begitu banjir lahar dingin mereda, merekapun kembali
ke rumah masing-masing. Begitu terus yang terjadi dari tahun ke
tahun.
Bertransmigrasi
Beberapa tahun berselang di desa ini sudah dikeluarkan
pengumuman agar penduduknya yang hampir 4.000 jiwa itu
meninggalkan desa mereka. Papan-papan pengumuman dipancangkan
sebagai peringatan akan bahaya (Gunungg Merapi). Kepada penduduk
dijanjikan akan ditransmigrasikan ke luar Jawa apabila mereka
mau mellinggalkan desa ini. Ada juga yang patuh pada anjuran
itu, meskipun sebagian besar masih tetap bertahan. Terutama
karena melihat tanamannya subur, tanaman padi, sayur-sayuran dan
kebun tumbuh dengan hasil mencukupi.
"Kami tidak ingin meninggalkan desa ini, sebab tanahnya sangat
subur dan dapat menghidupi kami selama ini," tutur seorang
penduduknya kepada TEMPO. Bahkan mereka tetap bertahan, meskipun
petugas-petugas kecamatan pernah memaksa mereka dengan sedikit
kekerasan agar segera pindah.
Satu hal yang lebih mempertebal pendirian mereka untuk tetap
bertahan di desa kelahiran, adalah karena polah beberapa oknum
pejabat. Entah berasal dari kecamatan, Kabupaten maupun
berseragam. Sebab temyata bila ada penduduk yang pindah atau
bertransmigrasi, berarti tanan maupun rumahnya di desa itu tak
ada yang berhak memilikinya lagi Tapi, begitu si empunya semula
angkat kaki, pejabat-pejabat yang oknum tadi buru-buru
menjadikan tanah, tanaman maupun rumah tadi sebagai milik
pribadinya. Maka famili atau sahabat si oknum pun memetik hasil
buah-buahan yang ada, mengerjakan sawah dan mendiami rumah
penduduk yang sudah pindah secara cuma-cuma.
Pantas Mereka Gigih
Dan ternyata. kebun, tanah atau rumah yang sudah ditinggalkan
pemilik sahnya itu hingga sekarang terus menghasilkan. Belum
juga tertimbun lahar Gunung Merapi sebagai yang menjadi alasan
pejabat-pejabat setempat untuk menyuruh pemiliknya pergi.
"Pantas mereka gigih sekali menyuruh kami bertransmigrasi," kata
seorang penduduk Dukuh Klitak "rupanya bapak-bapak itu ingin
juga menjadi petani di tanah yang subur ini."
Di Desa Pakunden ini terdapat 3 buah gedung SD Inpres, 3 buah
masjid dan 7 langgar. Meskipun ruang sekolah cukup, namun
anak-anak di sini hampir tak ada yang berpendidikan lebih dan
SD. Sebab begitu mereka taman sekolah dasar, anak-anak itu sudah
harus terjun ke lapangan, membantu orang tuanya bekerja di sawah
atau di kebun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini