Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Mereka Tetap Tak Mau Pergi

Desa pekunden, kab. magelang selalu terkena banjir lahar gunung merapi tiap thn. penduduk tidak mau ditransmigrasikan karena selain tanahnya subur, oknum pejabat selalu menyerobot tanah yang ditinggalkan. (ds)

11 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Pekunden terdiri dari 10 pedukuham Terletak di Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang, desa ini berada di kaki barat Gunung Merapi yang selalu berteriak hendak meledak itu. Karena itu, meskipun tidak seluruhnya, sekurang-kurangnya 6 dari 10 pedukuhan tadi selalu berada dalam ancaman lahar dingin dari gunung tadi, yaitu melalui Sungai Krasak. Dukuh-dukuh tadi adalah Mriyam, Klitak, Guling, Tambakan, Mancasan dan Nganggrung. Walaupun bahaya maut selalu mengintai, namun penduduk desa ini tampak tenang-tenang saja. Ini mudah difahami, bila diingat bahwa kawasan desa ini subur dan hasil pertanian cukup melimpah. Menurut Kepala Desa Pakunden, Praptodihardjo, "di desa ini tercatat 30 buah sepeda motor, 42 buah radio transistor dan 2 buah pesawat televisi." Memang bulan Nopember 1976 lalu sebagian dukuh-dukuh yang ada pernah dilanda banjir lahar dingin. Tapi tak ada korban manusia. Sebab penduduk di sini rupanya sudah faham benar akan tanda-tanda bila saatnya harus mengungsi ke tempat aman jika gelagat banjir lahar akan mengancam. Gelagat itu akan terlihat bila puncak Gunung Merapi diselimuti kabut tebal. Artinya tak lama lagi akan turun hujan deras dan Sungai Krasak (yang jaraknya hanya 1 Km dari tepi desa) akan mengalirkan lahar dingin. Maka pendudukpun bersiap-siap menuju ke tempat aman, lengkap dengan barang bawaan yang paling berharga. Begitu banjir lahar dingin mereda, merekapun kembali ke rumah masing-masing. Begitu terus yang terjadi dari tahun ke tahun. Bertransmigrasi Beberapa tahun berselang di desa ini sudah dikeluarkan pengumuman agar penduduknya yang hampir 4.000 jiwa itu meninggalkan desa mereka. Papan-papan pengumuman dipancangkan sebagai peringatan akan bahaya (Gunungg Merapi). Kepada penduduk dijanjikan akan ditransmigrasikan ke luar Jawa apabila mereka mau mellinggalkan desa ini. Ada juga yang patuh pada anjuran itu, meskipun sebagian besar masih tetap bertahan. Terutama karena melihat tanamannya subur, tanaman padi, sayur-sayuran dan kebun tumbuh dengan hasil mencukupi. "Kami tidak ingin meninggalkan desa ini, sebab tanahnya sangat subur dan dapat menghidupi kami selama ini," tutur seorang penduduknya kepada TEMPO. Bahkan mereka tetap bertahan, meskipun petugas-petugas kecamatan pernah memaksa mereka dengan sedikit kekerasan agar segera pindah. Satu hal yang lebih mempertebal pendirian mereka untuk tetap bertahan di desa kelahiran, adalah karena polah beberapa oknum pejabat. Entah berasal dari kecamatan, Kabupaten maupun berseragam. Sebab temyata bila ada penduduk yang pindah atau bertransmigrasi, berarti tanan maupun rumahnya di desa itu tak ada yang berhak memilikinya lagi Tapi, begitu si empunya semula angkat kaki, pejabat-pejabat yang oknum tadi buru-buru menjadikan tanah, tanaman maupun rumah tadi sebagai milik pribadinya. Maka famili atau sahabat si oknum pun memetik hasil buah-buahan yang ada, mengerjakan sawah dan mendiami rumah penduduk yang sudah pindah secara cuma-cuma. Pantas Mereka Gigih Dan ternyata. kebun, tanah atau rumah yang sudah ditinggalkan pemilik sahnya itu hingga sekarang terus menghasilkan. Belum juga tertimbun lahar Gunung Merapi sebagai yang menjadi alasan pejabat-pejabat setempat untuk menyuruh pemiliknya pergi. "Pantas mereka gigih sekali menyuruh kami bertransmigrasi," kata seorang penduduk Dukuh Klitak "rupanya bapak-bapak itu ingin juga menjadi petani di tanah yang subur ini." Di Desa Pakunden ini terdapat 3 buah gedung SD Inpres, 3 buah masjid dan 7 langgar. Meskipun ruang sekolah cukup, namun anak-anak di sini hampir tak ada yang berpendidikan lebih dan SD. Sebab begitu mereka taman sekolah dasar, anak-anak itu sudah harus terjun ke lapangan, membantu orang tuanya bekerja di sawah atau di kebun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus