Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nazarudin*
JAKARTA tidak sedang baik-baik saja. Kalimat tersebut beberapa hari ini sering muncul baik di televisi, media massa, maupun media sosial. Hal ini terkait dengan makin ganasnya penyebaran virus corona yang terjadi di Jakarta, khususnya, dan beberapa wilayah lain di Indonesia. Karena itu, pemerintah pun kemudian menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat berbasis mikro (PPKM mikro) mulai 22 Juni 2021 untuk meredam laju penularan Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang menarik dari pengumuman pemerintah mengenai penerapan PPKM mikro tersebut adalah penggunaan kata “penebalan” dan “penguatan”. Dalam pemberitaan di beberapa media pun, selain kedua kata tersebut, digunakan kata “pengetatan” sebagai kata yang muncul dan dipasangkan dengan PPKM mikro kali ini. Apa konsekuensi yang terjadi dari penggunaan tiga kata ini? Jelasnya pemahaman atas pesan dan informasi dapat menjadi berbeda. Pertanyaannya: apakah kemudian ketiga kata tersebut, “penebalan”, “penguatan”, dan “pengetatan”, benar-benar bersinonim?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Tesaurus Tematis Bahasa Indonesia, ternyata ketiga kata tersebut tidak masuk ke medan makna yang sama. Jika kita melihat kata “penebalan”, ada makna “besar” yang terlibat di dalamnya karena pada hakikatnya memang “penebalan” terjadi melalui visualisasi perubahan bentuk yang membesar. Sementara itu, “pengetatan” dalam bahasa Indonesia identik dengan makna “kecil” karena berasal dari kata “ketat”, yang di antaranya bermakna “sendat; sempit”. Dengan demikian, kedua kata ini, “pengetatan” dan “penebalan”, secara makna justru tidak bersinonim, bahkan bertentangan satu dengan lainnya. Bagaimana dengan “penguatan”? Kata ini pun secara makna tidak terlihat bersinonim dengan “penebalan” dan “pengetatan”. Kata “penguatan”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti “proses, cara, perbuatan menguati atau menguatkan”. Berdasarkan makna ini, tidak terlihat pula kaitan makna atau kemiripan secara langsung dengan dua kata tersebut, “pengetatan” dan “penebalan”. Meski demikian, sebenarnya “penebalan” dan “penguatan” masih bisa dianggap sedikit bersinonim, jika memang benar ada konotasi bahwa yang “tebal” itu selalu “kuat”.
Kembali ke pertanyaan: apa konsekuensinya jika ketiga kata tersebut digunakan bergantian untuk mengekspresikan sebuah kebijakan publik yang baru-baru ini diterapkan oleh pemerintah? Tentu hal ini berisiko memunculkan perbedaan persepsi bagi masyarakat. Bukan tidak mungkin akan ada tiga pemahaman atas satu konsep yang sama yang diperkenalkan oleh pemerintah. Pemaknaan masyarakat atas “penguatan PPKM mikro”, “pengetatan PPKM mikro”, dan “penebalan PPKM mikro” bisa saja kemudian berbeda-beda karena masing-masing memiliki konotasi dan asosiasi makna yang berbeda. Jika kita selisik lebih dalam, pada gabungan kata “penebalan PPKM mikro” dapat terlihat pula ada dua kata yang sebenarnya secara makna bertolak belakang, yaitu “penebalan” dan “mikro”. Saya masih kesulitan membayangkan sesuatu yang “mikro” tapi “tebal”. Jika boleh mengusulkan, “pengetatan PPKM mikro” saya pikir dapat digunakan secara lebih konsisten karena maknanya lebih berterima.
Pasalnya, penyampaian pesan dalam komunikasi publik sangat rentan terhadap distorsi atau noise (gangguan). Salah satu gangguan yang muncul adalah gangguan semantik, yakni gangguan yang disebabkan oleh adanya perbedaan makna yang dipahami oleh komunikator sebagai sumber informasi dan komunikan sebagai penerima informasi. Hal ini biasanya terjadi karena pemilihan diksi, istilah, atau jargon yang bersifat multitafsir sehingga tak jarang justru membingungkan masyarakat.
Karena itu, menurut saya, narasi yang utuh dan padu melalui pemilihan diksi yang konsisten menjadi hal yang sangat penting dalam komunikasi publik PPKM. Hal ini menjadi penting karena, pada hakikatnya, komunikasi publik bersifat satu arah. Jadi melaksanakan pola komunikasi yang baik dan memperhatikan aspek bahasa dengan lebih saksama akan dapat membantu mengefektifkan diseminasi pesan dari pemerintah kepada masyarakat. Pentingnya memperhatikan kepaduan narasi dan kekonsistenan diksi perlu dipahami dan diamini baik oleh pemerintah maupun masyarakat demi intensif-masifnya pengendalian Covid-19. Salam sehat dan salam literasi publik!
*) ANGGOTA STAF PENGAJAR PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo