Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA berjumpa Maut tadi. Kalimat ini melintas di ingatan saya. Suara sirene ambulans makin sering kedengaran dari kamar ini: di jalanan besar mobil-mobil jenazah seakan-akan menjerit, “Kematian! Kematian!”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya berjumpa Maut tadi. Saya ingat: kalimat itu melintas di ingatan saya dari adegan film Ingmar Bergman, The Seventh Seal (Meterai Ketujuh), yang beberapa kali saya tonton dan beberapa kali saya tulis di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah yang suram. Antonius Block, kesatria abad ke-13, berkuda pulang ke kastilnya di Swedia dari Yerusalem yang jauh. Ia kembali dari Perang Salib dengan rasa kecewa dan bingung kepada Tuhan. Ia lelah.
Di sepanjang perjalanan, ia dan ajudannya, Jons, menyaksikan wabah menghajar desa dan kota. Mayat di jalan-jalan. Rumah-rumah kosong.
Akhirnya di sebuah pantai ia beristirahat, telentang di pasir dekat karang. Tiba-tiba muncul sebuah sosok tegap, tinggi, pucat, berkerudung hitam. Maut.
“Tuan menjemputku?” tanya Block.
“Saya selalu berada dekat kamu,” jawab Maut.
“Ya, aku tahu.”
“Kau siap?”
“Tubuhku takut, tapi aku tidak.”
Block mendua—seperti setiap kita dalam merenungkan kematian: antara gentar dan pasrah. Mungkin itu sebabnya kesatria itu ingin mengulur waktu dan menantang Maut bermain catur: jika ia kalah, ia akan mengikuti ajal. Jika ia menang....
Dalam film yang terkenal ini, imaji manusia bermain catur dengan maut, di tepi laut di negeri dingin, telah menjadi aikonik. Bergman tampaknya mendapatkan idenya dari lukisan abad ke-15 di Gereja Täby, tak jauh dari Stockholm, karya perupa abad tengah, Albertus Pictor. Saya tak tahu apa penjelasan Pictor. Mungkin ia ingin menggambarkan ikhtiar manusia untuk melawan kematian: dengan langkah yang cerdas, berperhitungan, dan terencana—tapi sia-sia.
Dalam film Bergman ini, Block tak tampak galau ia akan sia-sia. Ia pulang dari perang, ia melewati daerah wabah, ia menyaksikan begitu mudahnya nyawa hilang. Kesatria kurus yang berparas tegang ini resah bukan karena Maut, tapi karena Tuhan diam. Imannya tak menemukan dasar. Iman, kata Block, itu siksaan. “Seperti mencintai seseorang nun di dalam gelap, tak pernah muncul, sekeras apa pun kita memanggil.“ Dan ia bertanya: “Kenapa Ia bersembunyi dalam awan janji setengah jadi dan mukjizat yang tak tampak?”
Agama, baginya, tak menghibur. Agama hanya cerita hukuman, kekalutan, suasana seram. Di negeri di utara itu, yang sedikit dihampiri matahari, seorang gadis yang dianggap sekutu iblis dibakar hidup-hidup. Ada juga serombongan pejalan yang menerus memukuli tubuh mereka, mempercayai kata pendeta bahwa wabah datang karena manusia berdosa.
Tampak di sini agama menghendaki manusia berada terus-menerus di antara dosa dan ngeri. Bumi dipaparkan sebagai tempat najis di mana air mata berurai dan darah berulang kali muncrat. Mereka yang “stoik” akan menasihati, kita harus melihat segala hal di bumi seakan-akan melihatnya dari atas. Dengan demikian, semua akan tak menyentuh. Ruang dan waktu jadi abstrak. Kita akan lebih bisa menanggungkan hidup.
Tapi Block tak bisa demikian. Ia teramat dekat ke bumi dan ia tubuh yang tak bisa diabstraksikan—seperti kita.
Saya kira, dengan The Seventh Seal, Bergman terlampau mendramatisasi yang muram pada agama. Tapi bisa dimengerti. Jika kita menerawang film otobiografinya, Fanny and Alexander, ia memang mengalami Tuhan sebagai kedua anak kecil itu, Fanny dan Alexander, mengalami Edvard Vergérus, ayah tiri mereka yang sadistis. Vergérus seorang pemuka Gereja Protestan yang mengajarkan agama hanya sebagai kontrol dan hukuman.
Secara langsung atau tak langsung, kedua film itu mengungkapkan iman dengan semangat yang angker, der Geist der Schwere, dalam kata-kata Nietzsche. Iman ini memproyeksikan hidup sebagai sebuah beban yang berat, dan memuja tuhan sebagai sang penghukum yang anti-kegembiraan manusia. Atau dalam gambaran kelam Albert Camus ketika ia menulis tentang Praha, sebuah kota Protestan lain: “Tuhan yang disembah di sini adalah tuhan yang ditakuti dan dihormati manusia, bukan tuhan yang ketawa bersama manusia di depan terang matahari dan laut yang lincah.”
Film dimulai dengan suara Block membacakan Kitab Wahyu, dan film diakhiri dengan jamuan makan malam yang murung dalam kastil yang lama ditinggalkan. Di sini istri Block juga membacakan ayat-ayat yang apokaliptik itu:
Dan ketika Anak Domba itu membuka meterai yang ketujuh, maka sunyi senyaplah di surga, kira-kira setengah jam lamanya. Lalu aku melihat ketujuh malaikat yang berdiri di hadapan Allah, dan kepada mereka diberikan tujuh sangkakala…. Lalu malaikat yang pertama meniup sangkakalanya dan terjadilah hujan es, dan api, bercampur darah; dan semuanya itu dilemparkan ke bumi; maka terbakarlah sepertiga dari bumi dan sepertiga dari pohon-pohon dan hanguslah seluruh rumput hijau. Lalu malaikat yang kedua meniup sangkakalanya dan ada sesuatu seperti gunung besar, yang menyala-nyala oleh api, dilemparkan ke dalam laut. Dan sepertiga dari laut itu menjadi darah....
Sebelum ayat selesai dibaca, Maut muncul di sudut. “Ini akhir,” terdengar suara gadis yang semula bisu dalam rombongan itu.
Tapi film ditutup dengan ambigu. Jos, pemain akrobat dalam sirkus keliling yang periang dan baik hati, melihat di bukit kejauhan Maut menderetkan Block dan yang lain-lain berjalan ke arah matahari turun. Ia memimpin mereka menari. Kita tak tahu apakah adegan danse macabre, tarian kematian itu, sebuah tanda kegembiraan lepas dari hidup yang menekan. Yang pasti, mereka bersama-sama. Dan kita bisa lega sedikit. Kematian, kata Seneca, filosof Romawi itu, bukan mala. Kematian adalah hukum di mana manusia tak mengalami diskriminasi.
….Ketika saya menutup tulisan ini, tak ada sirene ambulans yang menjerit lagi.
Goenawan Mohamad
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo