Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CARA polisi membesar-besarkan penangkapan Nia Ramadhani dan Anindra Ardiansyah Bakrie atau Ardi Bakrie sungguh berlebihan. Katakanlah pasangan suami-istri itu benar mengonsumsi narkotik, psikotropika, dan obat terlarang (narkoba) jenis sabu. Tapi, selama tidak menjual atau mengedarkannya, mereka bukanlah penjahat. Mereka seharusnya diperlakukan sebagai korban penyalahgunaan narkoba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu saja perbuatan pasangan selebritas-pengusaha itu jauh dari terpuji. Sebagai tokoh publik, Nia dan Ardi seharusnya menyadari bahwa perbuatan mereka tak hanya merugikan diri sendiri. Kelakuan keduanya pun bisa menjadi contoh buruk bagi para pengagum mereka. Meski begitu, mereka tidak seharusnya dikriminalisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian tidak pantas memandang penangkapan pesohor pemakai narkotik sebagai prestasi untuk kenaikan karier anggotanya. Sebab, dalam rantai peredaran narkoba, pemakai hanyalah korban. Penjahat sesungguhnya adalah para pengedar dan bandar besar. Karena itu, alih-alih mengekspos habis-habisan sisi buruk artis pemakai narkotik, polisi seharusnya bekerja keras memburu jaringan pemasok barang haram tersebut.
Undang-Undang Narkotika memang memberikan kewenangan kepada polisi untuk mengirim pemakai narkoba ke pusat rehabilitasi atau menjadikan mereka tersangka. Namun polisi seharusnya tidak serampangan menggunakan wewenang tersebut. Wewenang itu pun seharusnya tidak menjadi celah bagi polisi untuk bermain culas, misalnya memeras pengguna narkoba dengan tawaran masuk panti rehabilitasi atau ancaman masuk bui.
Dalam perang melawan narkotik, langkah penegak hukum mengkriminalkan para “pemakai” ibarat menampar angin saja. Badan Narkotika Nasional memperkirakan ada sekitar 3,6 juta pengguna narkoba pada 2019. Jumlah itu terus bertambah setiap tahun. Bandingkan dengan kapasitas penjara di seluruh pelosok Tanah Air yang hanya bisa menampung 135 ribu narapidana. Bila polisi terus menangkapi pengguna narkoba, penjara tak akan pernah cukup untuk menampung mereka.
Pecandu narkotik, dari kalangan pesohor sampai orang biasa, tidak sepatutnya diseret ke pengadilan untuk kemudian dijebloskan ke penjara. Sebagai korban, mereka seharusnya justru diberi kesempatan menjalani rehabilitasi. Tanpa rehabilitasi, seorang pemakai bisa kembali mengonsumsi narkoba ketika keluar dari penjara. Yang lebih buruk, orang yang tadinya hanya menjadi pemakai bisa “naik pangkat” menjadi bandar setelah berinteraksi dengan jaringan pengedar narkotik selama di penjara. Dengan kata lain, kriminalisasi malah bisa membuat pemakai narkotik benar-benar menjadi seorang pelaku kriminal.
Banyak riset yang menyimpulkan bahwa kriminalisasi bagi pengguna narkoba kerap memicu masalah baru. Pada 2016, penelitian Human Rights Watch dan The American Civil Liberties Union, misalnya, menyimpulkan kriminalisasi malah merusak kehidupan terpidana narkotik. Mereka menjadi korban dalam jangka panjang akibat kehidupan keluarganya yang berantakan, kesulitan mendapat pekerjaan, mendapat perlakuan diskriminatif, dan memperoleh stigma buruk seumur hidup dari masyarakat.
Di tengah pandemi Covid-19, polisi seharusnya membuat skala prioritas dalam bekerja. Memenjarakan pesohor pengguna narkoba sama sekali bukan urusan mendesak. Polisi seharusnya mengutamakan penegakan hukum yang berkaitan dengan kebutuhan publik. Misalnya, di tengah kelangkaan obat Covid-19, polisi seharusnya memburu pedagang yang mempermainkan harga atau menimbun obat itu di gudang. Dengan begitu, tindakan polisi akan lebih bermanfaat bagi orang banyak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo