Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jalan tikus ternyata bukan jalan untuk tikus.
Jalan tikus acap digambarkan sebagai jalan jelek.
Padahal di desa-desa jalan-jalan acap bagus.
CUKUP lama terpendam sebagai cakapan lisan, “jalan tikus” tiba-tiba ramai diberitakan di berbagai media sejak Lebaran lalu, bahkan hingga saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat lantaran pandemi corona belakangan ini. Salah satu versi (penggalan) berita itu dimuat dalam Pantura Post (13 April 2021): “Polrés Tegal pan ngerahna anggotané seka Polsék nggo njaga ketat dalan kampung/ndésa/curut.” Seturut berita berbahasa Tegal itu, polisi akan dikerahkan untuk mengawasi jalan-jalan desa atawa dalan curut alias jalan tikus agar tak dilewati pemudik berbondongan pulang kampung demi menghindari tebaran liar virus yang mengganas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setakat kini, gabungan kata jalan tikus dipahami umum sebagai ragam bahasa kiasan. Artinya, bukan mengacu pada suatu jalur yang senyatanya biasa dilalui curut. Kamus-kamus tesaurus memadankannya dengan jalan setapak atau jalan rintisan. Namun, dalam kamus-kamus umum bahasa Indonesia, (sub)lema jalan tikus itu tak diberi label kiasan (biasanya singkatan ki) sehingga terkesan sebagai sebutan literal tentang jalan tikus sesungguhnya. Bandingkan dengan sublema jalan pintas yang dijelaskan dalam dua arti: “jalan yang lebih dekat” sebagai arti harfiah dan “cara bertindak yang tidak mengikuti aturan” sebagai kiasan (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Badan Bahasa, Edisi V).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang belum jelas dari berita tersebut—dan berita serupa lain—ialah batasan jalan tikus itu sendiri. Seturut kamus-kamus umum bahasa Indonesia, jalan tikus adalah “jalan kecil-kecil (di pedusunan, pegunungan, dan sebagainya)”. Definisi itu kurang spesifik; terkesan merampatkan semua jalan di desa sebagai jalan tikus. Tak ada unsur keterangan—walau singkat—apakah jalur jalan itu hanya bisa dilalui pejalan kaki ataukah bisa pula dilewati kendaraan. Juga tak disinggung seperti apakah “wajah” jalan tersebut. Keterangan tempat “di pedusunan” dan “pegunungan” mengisyaratkan bahwa jalan tikus itu jauh dari keramaian.
Sejauh penelusuran yang terbatas, saya tak bersua jalan tikus sebagai ungkapan prosais tertulis sehingga tak beroleh gambaran konkret wujud jalan tersebut. Tapi umumnya jalan tikus dibayangkan “buruk rupa”—bertapak lempung, becek dan licin di kala hujan, dan berdebu saat kemarau terik. Atau bersemak, penuh sarang satwa liar, kadang ditemukan liang curut beneran. Muncul secara alamiah tanpa “planologi”, jalan tikus lazim ditemukan di daerah pedalaman, terhubung dengan ladang atau hutan. Orang Sakai di Riau, sekadar contoh acak, saat me-mandah atau mencari kayu gaharu di hutan harus membuka sendiri lintasan serupa jalan tikus. Jadi, di sini, jalan tikus, bagaimanapun, wujud suatu penerokaan dan punya fungsi ekonomi.
Imaji tentang jalan tikus cukup sering muncul dalam cerita rekaan anno 1950-1960-an, terutama yang bertema pertempuran. Dalam kumpulan cerita pendek Trisnojuwono, Laki-laki dan Mesiu (1957) serta roman revolusi Pagar Kawat Berduri (1963), contohnya, terlukis perjalanan gerilyawan melintasi jalan kecil berkelak-kelok, naik-turun bukit dan jurang, dan mengarungi sungai arus deras. Begitu pula Suparto Brata, penulis roman berbahasa Jawa, Kadurakan ing Kidul Dringu (1964), menelusuri rute para pejuang meniti pematang sawah dan dalan blêdug, jalan berdebu, melawan aksi militer kolonial. Jadi jalan tikus di sini ibarat infrastruktur vital semasa perang. Siapa tahu sublema jalan tikus yang diunggah pertama kali dalam kamus Poerwadarminta (1953) terinspirasi kisah-kisah heroik tersebut.
Tentang jalan tikus yang kini ramai diberitakan media itu tak pernah tergambar seperti kenyataan sebenarnya. Yang bisa ditangkap di sini, jalan tikus adalah tamsil mengenai jalur pintas terabasan pemudik agar terhindar dari cegatan aparat. “Jalan tikus” tipe ini tak lain jalan desa biasa, bahkan mungkin lurung atau jalan utama desa; kebanyakan sudah beraspal atau padat berkerikil dan bisa dilalui kendaraan bermotor. Ruas jalan Desa Bojongsari di Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah, yang disebut-sebut sebagai salah satu jalan tikus, bisa dilalui aneka kendaraan, termasuk truk besar (Media Indonesia, 26 Juli 2021).
Beberapa mahasiswa pemondok di Depok (kebanyakan berasal dari Jawa Tengah) menilai jalan tikus versi pemberitaan media itu sebagai cara gampangan untuk menyebut jalan alternatif. Bahkan Boy, seorang pemondok, menengarai ada gejala peyorasi—semacam olok-olok, entah disengaja entah tidak—dalam sebutan itu. Di layar telepon selulernya ia tunjukkan gambar jalan mulus beraspal dan bergapura megah di kampung halamannya, Desa Sekapura, Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal. Di hari-hari melawan Covid, jalan selebar enam meteran itu diawasi petugas karena dianggap sebagai dalan curut.
Tampaknya tak semua orang merasa sreg dengan amsal jalan tikus tersebut. Pasalnya, itu tadi, terasa ada nada peyoratif dalam julukan tersebut. Artinya, bila benar begitu, terjadi perubahan makna pada jalan-jalan desa (yang digolongkan “jalan tikus” itu), dari semula netral, bahkan mungkin dipandang bernilai penting oleh pemangkunya, menjadi terkesan sepele.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo