Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bagaimana pandemi mendorong belanja main game orang Indonesia.
Bagaimana pengembang game lokal menembus pasar global.
Apa saja yang disediakan pemerintah untuk mendorong tumbuhnya industri game lokal.
PANDEMI Covid-19 yang diikuti kebijakan pemerintah membatasi aktivitas semua orang membuat Andi Primabudi menekuni hobi lamanya: bermain game. Pegawai 28 tahun di perusahaan teknologi informasi di Jakarta ini jadi punya banyak waktu untuk memainkan konsol koleksinya yang menganggur karena kesibukan bekerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai lajang, Prima tak punya batasan membeli game kesukaan. Selama masa pandemi, ia membeli konsol Microsoft generasi terbaru, seperti Xbox Series X yang harganya mencapai Rp 7,4 juta pada akhir tahun lalu. Pada Juni lalu, dia baru membeli PlayStation generasi kelima seharga Rp 7,3 juta. “Saat pandemi, pengeluaran yang tak esensial tidak ada, jadi bisa beli game,” kata Prima pada Jumat, 27 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Prima, yang doyan nge-game sejak kecil, bermain game seperti menghilangkan stres. Ia menyukai permainan di konsol karena tak banyak menghabiskan waktu. “Seperti menonton film,” tuturnya. “Ada waktunya selesai.”
Adha Ariutama juga suka bermain game tanpa lupa waktu. Pekerja di perusahaan periklanan ini biasanya menghabiskan empat jam sehari untuk bermain game di sela kerja dan rapat online. Laki-laki 27 tahun ini lebih menyukai mobile game karena lebih praktis. “Sesekali game konsol seperti Pro Evolution Soccer di PlayStation,” ucapnya.
Biasanya, Adha memainkan Mobile Legends, PlayerUnknown's Battlegrounds atau PUBG, Dragon Raja, dan Dota. Saat pandemi melanda, ia mencoba Ragnarok Online Mobile dan MIR4. Untuk permainan di telepon seluler ini, Adha menghabiskan Rp 200 ribu per bulan buat membeli semacam skin di Mobile Legends.
Dari sekian banyak game yang dimainkan Adha atau Prima, semuanya berasal dari pengembang game luar negeri. Adha mengaku belum pernah mencoba game lokal karena merasa kurang nyaman dengan grafisnya. “Ada game buatan Indonesia, mirip Mobile Legends, tapi masih kurang,” ujar Adha.
Game
Pemain game seperti Prima dan Adha kian giat bermain di masa pandemi. Berkat mereka, industri game tumbuh melesat dibanding sektor ekonomi lain yang terpuruk. Bukan hanya game internasional, game lokal juga turut menangguk untung di masa pembatasan interaksi sosial untuk memutus penularan virus corona.
Data Asosiasi Game Indonesia menunjukkan pertumbuhan jumlah pengembang game di Indonesia selama masa pandemi tahun lalu sebesar 10-20 persen. "Kalau industri game secara umum meningkat drastis. Pada 2021 naik 30 persen," kata Cipto Adiguno, Presiden Asosiasi Game Indonesia, Selasa, 24 Agustus lalu.
Membesarnya pasar game di Indonesia terlihat dengan makin menjamurnya pengembang game lokal. Karya sejumlah pengembang game lokal, seperti Agate Studio, Altermyth Studio, Toge Productions, Tinker Game, dan Touch Ten Game, bahkan sudah mengglobal. Beberapa game bisa dimainkan di konsol seperti Nintendo, Xbox, dan PlayStation.
Game lokal tumbuh signifikan dalam sepuluh tahun terakhir. Pada 2000, sebelum era permainan online, pemain industri game di Indonesia sebatas menjadi distributor di tengah menjamurnya game konsol. Nyaris bisa dihitung dengan jari orang yang membuat game.
Kini, dengan makin maraknya pelbagai jenis permainan, pasar game Indonesia tumbuh pesat. Sepanjang 2020, angka belanja game orang Indonesia menembus US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 30 triliun. Dari 274,5 juta pemain game di Asia Tenggara pada 2021, pemain asal Indonesia sebanyak 43 persen. Indonesia pun menjadi pasar game nomor 16 di dunia.
Besarnya pasar ini belum bisa dinikmati produsen game lokal. Dari belanja Rp 30 triliun, hanya 1 persen yang dinikmati produsen lokal. Menurut Irfan Sarwono, Direktur Game Xelo Digital Entertainment, rendahnya serapan belanja oleh game lokal tak lepas dari maraknya pembajakan.
Xelo adalah produsen game lokal. Akibat ekosistem yang tak mendukung itu, para produsen game lokal lebih senang menjual produk mereka di pasar luar negeri. Karena itu, menurut Irfan, potensi dan kemampuan produsen game Indonesia sebetulnya tak jelek-jelek amat karena produk mereka diminati di pasar global.
Kondisi berbeda terjadi di Malaysia dan Jepang. Menurut Irfan, penduduk di kedua negara itu lebih senang memainkan game buatan produsen asal negeri sendiri. Karena itu, dia melanjutkan, tantangan terbesar game lokal untuk berkembang di dalam negeri adalah menurunkan tingkat pembajakan. “Jika berkurang 30 persen saja sudah sangat signifikan,” ucapnya.
Selain itu, pengembang game lokal cenderung menghindari pasar mobile yang sudah riuh oleh pemain global. Para pengembang lokal lebih suka memproduksi game yang bisa sekali dimainkan dengan durasi 10-20 jam. “Game lokal belum bisa bersaing dengan produsen game luar yang bermodal besar,” tutur Cipto.
•••
TUMBUHNYA industri game lokal tak serta-merta dipicu oleh pandemi. Ketika virus corona mulai masuk ke Indonesia pada awal Maret 2020, industri game lokal sempat terpuruk dengan pangsa pasar berkurang hingga 40 persen akibat industri yang menjadi klien tak bisa beroperasi.
Industri game lokal baru menggeliat memasuki akhir 2020. Pasar game lokal tak semata pemain game. Mereka juga banyak melayani order pembuatan game atau layanan digitalisasi perusahaan lain. Seperti yang dialami Vania Marita Oei, co-founder Wisageni Studio di Yogyakarta.
Mayoritas klien Wisageni adalah industri retail. Ketika pandemi memukul industri ini, dampaknya merembet ke kontrak-kontrak pembuatan game. Beberapa perusahaan membatalkan kontrak dengan Wisageni.
Ketika work from home mulai marak, beberapa perusahaan menghubungi Wisageni meminta dibuatkan kamar-kamar virtual untuk rapat dan kebutuhan operasional perusahaan yang digantikan secara digital. Beberapa perusahaan bahkan memesan game untuk memasarkan produk mereka.
Walhasil, berkurangnya penghasilan di awal dan tengah tahun tertutup menjelang akhir 2020. Pendapatan Wisageni, yang berdiri sejak 2015, tumbuh dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
Permintaan membuat game dan layanan digital yang cukup tinggi membuat Wisageni rada kewalahan. Menurut Vania, dengan tim 10 orang yang bekerja secara virtual, mereka tak repot. “Mencari tambahan orang, itu yang sulit,” katanya. “Butuh pelatihan di awal kerja.”
Sama seperti Wisageni yang kebanjiran order, Agate Studio di Bandung mencatatkan kenaikan penghasilan 180 persen pada 2020 dibanding pada tahun sebelumnya. Pengerjaan produk enterprise berupa layanan digital termasuk proyek dominan di Agate. Penghasilannya sama dengan pendapatan dari penjualan game premium dan mobile game. “Kalau premium versus mobile, 70 persen masih di mobile," tutur Marvin Lee, Vice President of Gamification Agate, Jumat, 27 Agustus lalu.
Pengunjung mencoba permainan Rising Hell karya Toge Production saat acara Pax East 2020 di Boston, Amerika Serikat. Dok. Toge Production
Sebagai studio game besar, Agate tak begitu terhambat urusan sumber daya manusia. Berdiri sejak 2009, Agate memiliki lebih dari 200 karyawan. Selain memproduksi game anyar, Code Atma, Agate membuka lowongan kerja baru untuk memenuhi pesanan yang membeludak sejak April lalu.
Untuk melatih pegawai baru, Agate membuat Agate Academy. “Siapa pun boleh masuk dan belajar di sini," ujar Marvin. Sampai saat ini, Agate Academy sudah menyelenggarakan empat kali pelatihan dengan lulusan sebanyak 380 orang.
Selain dari layanan digital dan belanja pemain game, peluang datang dari pasar luar negeri. Kris Antoni Hadiputra, Chief Executive Officer Toge Productions, mengatakan pandemi menjadi berkah terselubung bagi industri permainan lokal untuk unjuk gigi di pasar internasional. Menurut dia, pandemi membuka banyak peluang game lokal masuk ke forum internasional. “Game kita punya kesempatan go global," ucap Kris.
Sebelum masa pandemi, untuk bisa mengenalkan game buatan sendiri, para pembuatnya mesti menawarkan dan menampilkannya di forum game internasional. Ongkos dan biaya mahal untuk menjangkaunya kini tak perlu dipikirkan lagi karena forum-forum itu dibuka secara online. Pembuat game lokal pemula bisa turut serta di forum itu.
Merintis Toge Productions sejak 2009, Kris paham betul peluang unjuk gigi di pasar besar amat penting. Toge bisa membesar sejak mengikuti Steam Greenlight yang diadakan Valve, distributor game digital, delapan tahun lalu. Setahun kemudian, Infectonator: Survivors lolos dengan dukungan 12.658 pengguna Steam yang didapatkan dalam lima hari.
Bersemi di Musim Pandemi
LEMBAGA survei dan konsultan Mordor Intelligence memproyeksikan pasar industri permainan (game) global terus tumbuh. Pada 2020, nilainya diperkirakan US$ 173,7 miliar. Jumlah ini diprediksi berlipat mencapai US$ 314,4 miliar pada 2026 dengan tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (compound annual growth rate) sebesar 9,64 persen selama 2021-2026. Pandemi Covid-19 mendorong masyarakat banyak bermain game di tengah kebijakan pembatasan interaksi sosial. Proyeksi Mordor melihat Indonesia sebagai potensi pasar game terbesar di Asia Tenggara, yang diperkirakan mencatat pendapatan game sebesar US$ 1,7 miliar (sekitar Rp 25 triliun) pada 2020 dan akan meningkat 25-35 persen setiap tahun.
Pemain utama dunia:
1. Sony Corporation
2. Microsoft Corporation
3. Nintendo
4. Tencent Holdings Limited
5. Electronic Arts Inc
Sumber: Mordor Intelligence, GoodFirms, Indonesia Mobile Gaming Statistics
Pada 2017, Toge Productions mendapat suntikan dana investasi dari Discovery Nusantara Capital. Kris memakainya untuk membuka divisi publishing, divisi yang bertugas memasarkan game ke pasar lebih besar. Selama ini, peran penerbit lokal hanya membeli lisensi untuk bisa menerbitkan game luar negeri di Indonesia. Tak hanya memasarkan game Toge, divisi ini dibuat Kris untuk membantu para pengembang game lokal merengkuh pasar internasional.
Toge Productions memproduksi banyak game, seperti Ultra Space Battle Brawl, She and the Light Bearer, A Space for the Unbound, My Lovely Daughter, Rage in Peace, dan Hellbreaker. Pada Januari tahun lalu, Toge membuat Coffee Talk yang dijual di Steam seharga Rp 83.999. Game ini menjadi satu-satunya wakil Asia Tenggara dalam penghargaan D.I.C.E Awards ke-24 yang digelar Academy of Interactive Arts & Sciences, organisasi profesional industri game, di Las Vegas, Amerika Serikat.
Masalahnya, tak semua pengembang game lokal punya jaringan seluas Kris dan sadar akan pelbagai penopang untuk masuk ke pasar global. Dalam riset Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Asosiasi Game Indonesia yang dibantu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada pertengahan 2020, didapati banyak masalah yang dihadapi pengembang game lokal, seperti dalam pengelolaan sumber daya manusia, infrastruktur, dan pendanaan.
Syaifullah, Direktur Industri Kreatif Film, Televisi, dan Animasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, mengatakan problem mendasar para pembuat game lokal adalah tiadanya kesadaran memiliki status badan hukum perusahaan. Padahal, Syaifullah menjelaskan, status ini menjadi salah satu syarat mendapatkan bantuan pembiayaan.
Karena itu, banyak pengembang game independen yang berangkat dengan motivasi hobi berumur pendek. “Kemenparekraf menyediakan layanan fasilitas badan hukum,” kata Syaifullah. “Kami genjot terus agar makin banyak pengembang game lokal berstatus badan hukum.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo