Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Konsep hukum adalah penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Hak asasi manusia menjadi alat ukur apakah sebuah undang-undang sudah benar.
Hukum tak bisa dipaksa melalui mobokrasi.
HUKUM identik dengan orang berseragam dan jeruji besi. Hukum tampil dengan wajahnya yang bengis: melarang, merepotkan, memenjarakan, menindas. Padahal, seharusnya, hukum tak seseram imajinasi umum itu. Sebab, hukum, dalam makna asalinya, juga berarti hak seperti makna recht dalam bahasa Belanda, juga Jerman. Begitu juga dalam bahasa Latin, ius, hukum tak hanya merujuk pada sanksi, tapi juga hak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekor kolonialisme, bisa jadi, yang membentuk citra tentang hukum yang menyeramkan itu. Pemerintah kolonial memang memakai hukum untuk kelancaran perdagangan di Hindia Belanda. Bukan hanya aturan perdagangan dan kontrak, berbagai transaksi juga hanya bisa lancar bila penduduk Hindia Belanda tertib.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibatnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dibawa ke sini diterapkan dalam konteks pengekangan kebebasan, polisi menjadi agen penjaga ketertiban, dan struktur pemerintahan dibuat untuk membungkam segala suara yang tak sejalan dengan pemerintah kolonial. Bahkan kita menerjemahkan government untuk pengelola negara dengan kata “pemerintah”.
Pada mulanya hukum adalah hak asasi manusia. Negara hukum atau rechtsstaat atau rule of law sebenarnya berbicara tentang hak-hak asasi manusia yang harus menjadi landasan bernegara serta pembatasan kekuasaan yang berlebihan oleh penguasa. Jadi negara hukum bukan sekadar soal supremasi, seperti yang dilontarkan banyak aparat hukum atau siapa pun yang ingin memakainya untuk menjaga ketertiban atau menyelesaikan konflik.
Memaknai frasa “negara hukum” hanya dalam konteks pemakaiannya sebagai jalan keluar akan bermasalah karena ia tidak berada di ruang hampa dan konteks sosial yang sempurna. Prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebenarnya dibuat dengan tujuan menekankan pembatasan tindakan penguasa, bukan untuk mengatakan bahwa semua orang bisa mengakses hukum dengan mudah. Perempuan, anak, penyandang disabilitas, mereka yang miskin, dan kelompok rentan lain tidak memiliki suara yang sama dengan mereka yang punya akses terhadap kekuasaan, pendidikan, dan informasi.
Sebab, ketimpangan di hadapan hukum nyata sejak proses pembentukannya. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, pembuat hukum adalah partai-partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat, bersama presiden, yang saat ini juga hanya bisa dipilih berdasarkan dukungan partai politik. Merekalah, legislatif dan eksekutif, yang secara formal membuat hukum, dalam bentuk peraturan dan berbagai kebijakan. Karena itu, dalam negara hukum, kelompok-kelompok minim akses tersebut menjadi sumber kepentingan para aktor politik formal. Namun, bila ruang partisipasi ditutup dan pembahasannya tidak transparan, hanya aktor formal yang akan mendominasi pembuatan hukum.
Maka, untuk memahami politik hukum, selalu penting menelaah aktor politik di baliknya. Disertasi Moh. Mahfud Md. pada 1993 menyebutnya sebagai “konfigurasi politik”, yang akan mempengaruhi peraturan-peraturan. Kajian-kajian tentang oligarki di Indonesia (Hadiz dan Robinson, 2004; Winters, 2011) menggambarkan adanya aktor-aktor politik formal di DPR dan pemerintahan yang bekerja untuk dan atas perintah kelompok-kelompok yang punya kekuatan modal.
Pembuatan undang-undang di DPR dua tahun belakangan menggambarkan fenomena aktor itu dengan kuat. Tiga undang-undang bisa menjadi contoh: revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, serta Undang-Undang Cipta Kerja. Parameternya adalah proses pembahasan yang tertutup, tidak partisipatif, dan tidak wajar kecepatan perumusannya; kelompok pendorong atau pembuatnya; serta materi yang langsung menguntungkan pemilik modal dan sangat merugikan rakyat kebanyakan.
Bagaimana mengukur muatan yang merugikan rakyat banyak dan proses yang tak wajar? Hukum sudah menyediakan gelas ukur konkret, yaitu hak asasi manusia. Dalam bentuk formal, parameternya adalah konstitusi.
Undang-Undang Cipta Kerja bisa menjadi studi kasus. Ada perdebatan tak berujung saat membicarakan undang-undang ini sebagai cara Indonesia menjadi negara yang “maju, adil, dan makmur pada 2045” seperti tertuang dalam materi sosialisasinya. Kelompok yang mendukungnya kerap menuding mereka yang menolak undang-undang ini sebagai kelompok yang tak mau maju mencapai cita-cita menuju 2045 itu.
Para pendukung Cipta Kerja melihat kelompok penolak terlalu konservatif dan menganggap mereka tidak berani mengambil risiko lompatan. Sebab, kata mereka, undang-undang ini banyak mengandung muatan positif. Pertanyaannya: positif untuk siapa? Untuk menjawabnya dengan gampang, kita kembalikan pada esensi hukum, yakni hak asasi manusia.
Jika Undang-Undang Cipta Kerja menguntungkan, ia mesti diukur dalam keuntungan konstitusional. Artinya, memfasilitasi bisnis dan investor asing menjadi sah jika memenuhi hak asasi manusia, termasuk hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Ia menjadi tidak sah jika semata memenuhi pertumbuhan ekonomi atau pembangunan fisik belaka.
Dalam penegakan hukum juga sama. Bukannya tunduk pada konstitusi seperti yang dikonstruksikan UUD 1945 pasca-amendemen, sejarah panjang lembaga-lembaga penegakan hukum serta posisinya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia membuatnya tidak lepas dari kepentingan politik. Polisi dan jaksa, sebagai ujung tombak penegakan hukum, masih menggeret sejarah penguasaan institusi untuk kepentingan politik ekonomi.
Itu terlihat, misalnya, dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu. Lembaga-lembaga hukum tidak mampu menunjukkan kemajuan. Laporan-laporan pelanggaran HAM berat dari Komisi Nasional HAM tidak ditindaklanjuti. Bahkan, sebulan yang lalu, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengamplifikasi pernyataan Jaksa Agung bahwa penembakan mahasiswa Trisakti Semanggi I dan Semanggi II pada 1998 bukan pelanggaran HAM. Pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, juga terbengkalai. Keduanya menguatkan pandangan: seseorang bisa dibunuh ketika membela haknya sendiri ataupun hak orang lain.
Tugas “rutin” penegakan hukum juga tercoreng catatan pelanggaran. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dalam laporan “Situasi dan Kondisi Praktik Penyiksaan di Indonesia 2019-2020”, menemukan setidaknya 62 kasus penyiksaan selama Mei 2019-Juni 2020. Dari semua kasus tersebut, pelakunya adalah polisi dengan 48 kasus, tentara sebanyak 9 kasus, dan sipir dengan 5 kasus.
Dari semua kasus yang terdata, korbannya sebanyak 220 orang. Mereka disiksa untuk tujuan memaksa pengakuan (40 kasus) dan sebagai bentuk penghukuman (23 kasus). Temuan Kontras juga menunjukkan mayoritas penyiksaan justru terjadi pada korban salah tangkap (47 kasus) dan pelaku kriminalitas (16 kasus).
Bukan hanya itu. Kita juga menyaksikan secara telanjang penegakan hukum untuk kelompok berduit. Penangkapan Effendi Buhing, tokoh adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah yang melawan perusahaan sawit untuk mempertahankan lahan mereka, menjadi contoh nyata hukum tak berpihak kepada rakyat kecil. Begitu pula kelompok-kelompok penentang pemerintah yang terancam hukuman pencemaran nama memakai multitafsir Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Memanfaatkan pembuatan dan penegakan hukum untuk tujuan penguasa dengan melanggar hak asasi manusia sudah pasti berseberangan dengan gagasan negara hukum. Aparatur negara menginjak hukum demi kepentingan kelompok yang memintanya. Akibatnya, publik akan makin apatis terhadap hukum, yang sebenarnya baik dalam mengatur banyak hal.
Atau, sebaliknya, masyarakat akan meniru cara aparat menginjak hukum itu dengan kekuatan lain. Sementara aparat disetir oligarki, masyarakat yang punya kekuatan massa akan memakai peluang yang sama menginjak hukum untuk kepentingan mereka sendiri. Peradilan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama adalah contoh. Atau mereka yang menyambut tokoh Front Pembela Islam, Rizieq Syihab, merasa tak bersalah tumpah di Bandar Udara Soekarno-Hatta, membuat macet lalu lintas jalan raya dan mengacuhkan aturan pembatasan sosial di masa pandemi virus corona.
Jadi dua hal berbeda, dengan tujuan berbeda, menghasilkan dampak serupa, yakni menginjak-injak hukum atas nama kepentingan sendiri. Jika sudah seperti itu, pemerintah seharusnya cemas: dampak panjangnya adalah kepercayaan investor, suatu hal yang agaknya menjadi tujuan utama pemerintah Joko Widodo. Ekonomi yang gemilang, yang hendak diwariskan Jokowi, baru bisa bergerak jika aparat hukumnya bisa dipercaya, tak semena-mena memanipulasi aturan, serta hukum menjadi panglima, bukan dikendalikan kekuatan duit dan massa.
Peradaban sebuah negara ditandai oleh bagaimana pemerintahnya menerapkan hukum. Untuk Indonesia, agaknya, kita harus memulai dari membongkar cara pandang tentang negara hukum. Kita harus mengembalikan supremasi hukum dari gagasan hak asasi manusia dan pembatasan kekuasaan. Jika tak dimulai dari titik ini, boro-boro maju, adil, dan makmur pada 2045, kita akan kembali ke zaman penjajahan yang aparaturnya memakai hukum dengan bengis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo