Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Terperangkap Paradigma Lama

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

12 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESTA besar masih berlangsung di pasar finansial negara berkembang, terutama di Asia. Harga saham di berbagai bursa terus menanjak. Indeks MSCI Asia Pacific, misalnya, mencatatkan rekor baru di level 194,23 pada 11 Desember lalu. Berbagai mata uang negara berkembang Asia juga mencapai titik tertinggi sejak 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Imbal hasil investasi di Asia yang jauh lebih tinggi ketimbang di Amerika atau Eropa memang menggiurkan. Munculnya vaksin Covid-19 juga membuat investor yakin ekonomi global akan membal kembali tumbuh. Dan negara-negara Asia-lah yang akan pulih lebih cepat ketimbang kawasan lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gelagat pemulihan ekonomi sudah terlihat dari membaiknya permintaan dan harga komoditas. Ekonomi Indonesia, misalnya, akan mendapat angin segar dari mulai pulihnya pasar batu bara dan sawit, dua komoditas ekspor utama negeri ini.

Harga batu bara Newcastle dengan kadar 6.000 kilokalori per kilogram yang menjadi acuan pasar global telah mencapai US$ 79,9 per ton pada 10 Desember lalu, tertinggi sejak Juni 2019. Sedangkan patokan harga minyak sawit sempat mencetak rekor tertinggi dalam enam tahun terakhir, US$ 912 per ton, pada November lalu.

Kendati Indonesia ikut mendapat angin segar, investor sebaiknya tetap waspada. Sebab, pemulihan ekonomi di Asia tidak akan merata. Ada yang pulih lebih cepat dan ada yang masih harus tertatih-tatih melangkah. Menurut proyeksi Asian Development Bank (ADB) per Desember 2020, pertumbuhan Indonesia bakal kalah cepat ketimbang tetangga. Pada 2021, ekonomi Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam akan tumbuh lebih cepat ketimbang Indonesia. Cuma Thailand yang lebih lambat.

Selain proyeksi pemulihan ekonomi, ada satu soal di struktur ekonomi kita yang membuat investor gamang. Indonesia masih sangat bergantung pada sumber alam. Sementara itu, belakangan ini ada satu prinsip penting dalam berinvestasi: ESG alias environmental, social, and governance. Jelas artinya, pasar finansial kini tidak bisa lagi mengabaikan tata kelola negara ataupun korporasi dan kelestarian lingkungan. Kapitalisme memang mulai berubah, tidak lagi bebas nilai asal memburu laba.

Sementara itu, pemerintah Indonesia masih memakai paradigma lama. Contohnya, Undang-Undang Cipta Kerja yang tak sejalan dengan prinsip ESG. Tak aneh jika 35 manajer investasi global mempersoalkan undang-undang baru itu saat terbit Oktober lalu. Mereka menilai Undang-Undang Cipta Kerja berisiko melanggar standar internasional yang mencegah konsekuensi berbahaya tak diinginkan dari kegiatan bisnis. Walhasil, jika menimbang ESG, ada hambatan bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Perubahan sikap investor asing tampak pada pergeseran alokasi investasi mereka di Indonesia. Mereka meninggalkan pasar saham. Sejak awal tahun hingga 11 Desember lalu, dana asing senilai Rp 51,59 triliun secara netto keluar dari bursa saham. Dari seluruh nilai transaksi Rp 2.015,9 triliun selama periode itu, investor asing hanya terlibat, baik membeli maupun menjual, dalam 32,54 persen transaksi.

Besarnya dana asing yang hengkang dari pasar saham dan proyeksi pertumbuhan Indonesia yang tak sebagus tetangga semestinya menjadi pengingat. Pemerintah Indonesia jangan-jangan sedang salah arah dalam upaya memburu pemulihan ekonomi.

Untung masih ada satu hal yang bisa menarik investor asing: kupon tinggi dari obligasi pemerintah. Ketika dana asing membanjir keluar dari bursa saham, sejak 1 Oktober hingga 10 Desember lalu ada Rp 35,8 triliun dana asing yang kembali masuk ke obligasi pemerintah, atau sekitar US$ 2,5 miliar.

Cuma, ini utang yang ongkosnya mahal. Di pasar finansial, obligasi pemerintah RI masuk kategori high yield, berani memberikan bunga ekstrabesar kepada investor. Dan jangan lupa, uang untuk membayar bunga itu berasal dari pajak kita juga.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus