Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA puluh dua tahun setelah Reformasi 1998, dinasti politik tumbuh bak cendawan di musim hujan. Dinasti politik dapat dijumpai di semua partai politik di semua tingkatan pemerintahan dan berbagai daerah di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana anak dan menantu Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution, mengikuti pemilihan kepala daerah 2020 berpeluang menambah panjang daftar dinasti politik di negeri ini. Gibran disebut akan maju di Solo, sedangkan Bobby di Medan. Jika berhasil memenangi pemilihan, mereka akan mengikuti jejak 117 kepala dan wakil kepala daerah yang berasal dari dinasti politik yang memenangi pemilihan kepala daerah serentak pada 2015-2018. Mereka juga akan satu barisan dengan 104 anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024 yang memiliki ikatan kekerabatan dengan elite politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertanyaannya: mengapa setelah reformasi yang menghendaki hilangnya nepotisme, termasuk dalam sistem politik, kini dinasti politik justru menjamur?
Ada empat faktor yang menjelaskan mengapa dinasti politik tumbuh subur. Pertama, pemilihan umum di Indonesia memang memberikan ruang bagi kerabat elite politik untuk ikut dalam kompetisi elektoral. Tidak ada aturan yang bisa melarang keluarga para politikus dan pejabat publik untuk menggunakan hak konstitusionalnya berpartisipasi dalam pemilihan legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah.
Kalaupun ada aturan untuk menghambat keikutsertaan mereka, aturan tersebut bisa dipastikan bertentangan dengan konstitusi. Hal ini kian jelas setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan “klausa anti-dinasti” dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang mengatur pemilihan kepala daerah karena dinilai diskriminatif terhadap hak politik warga negara, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Desain pemilihan umum yang menitikberatkan pada figur individu politikus turut berkontribusi pada berkembangnya dinasti politik. Nama besar keluarga yang melekat pada diri seorang kandidat memberikan keunggulan non-material yang tak dimiliki calon lain yang berasal dari kalangan jelata.
Membawa nama keluarga sebagai modal dalam pemilihan memang tak ditabukan dalam demokrasi. Namun tak bisa dinafikan bahwa mereka yang berasal dari dinasti politik menikmati keuntungan lain, seperti warisan jaringan politik dan akses sokongan finansial, yang tidak dinikmati oleh politikus dari luar dinasti politik (Feinstein, 2010).
Faktor kedua, lemahnya institusionalisasi partai politik turut membuka jalan bagi kemunculan dinasti politik di Indonesia (Harjanto, 2011). Seakan-akan sudah menjadi konvensi, kepala daerah biasanya merangkap sebagai petinggi partai. Mereka bisa dengan bebas menunjuk kerabatnya untuk menduduki jabatan strategis di tubuh partai dan mencalonkan anggota keluarganya dalam berbagai ajang kompetisi elektoral.
Adanya simbiosis mutualisme antara kepentingan dinasti politik dan partai politik di tingkat nasional memperparah kondisi tersebut. Dinasti politik memerlukan rekomendasi partai untuk berkompetisi dalam pemilihan legislatif atau pemilihan kepala daerah. Partai memerlukan dinasti politik untuk mendulang suara pada saat pemilihan legislatif dan untuk membiayai kegiatan operasional partai. Tak mengherankan jika dinasti politik dengan mudah menguasai struktur partai baik di tingkat lokal maupun nasional.
Penguasaan struktur partai oleh keluarga elite politik selanjutnya akan menghambat munculnya kader-kader partai yang berkualitas untuk berkompetisi dalam pemilihan. Akibatnya, pemilih dihadapkan pada pasokan calon pemimpin yang terbatas.
Kecenderungan petahana menyalahgunakan kekuasaannya guna memenangkan keluarga mereka dalam pemilihan adalah faktor yang juga berperan dalam melanggengkan dominasi dinasti politik di daerah. Mobilisasi aparatur sipil negara dan penyelewengan anggaran belanja daerah adalah dua modus operandi yang jamak ditemui dalam beberapa pemilihan kepala daerah yang diikuti anggota dinasti politik.
Wawancara penulis dengan penyelenggara pemilu menunjukkan bahwa hambatan untuk menegakkan aturan pemilu acap disebabkan oleh singkatnya waktu penyelesaian perkara. Di sisi lain, aturan mengenai pelanggaran terlalu kompleks. Situasi ini memberikan peluang bagi peserta pemilihan, khususnya mereka yang berasal dari dinasti politik, untuk melakukan kecurangan.
Faktor terakhir adalah adanya segmen pemilih yang memang tidak menganggap hadirnya dinasti politik sebagai masalah. Ada sebagian dari segmen pemilih ini yang memang berpendapat bahwa setiap orang, terlepas dari latar belakang mereka, berhak berpartisipasi dalam kompetisi elektoral. Sebagian lain memang “dipelihara” kesetiaannya oleh jaringan dinasti politik melalui berbagai program yang dirancang khusus untuk para loyalis.
Logika Dinasti Politik
BAGI politikus, membentuk sebuah dinasti politik adalah pilihan yang rasional. Umumnya, politikus memang ingin mempertahankan kursi kekuasaan mereka selama mungkin (Geddes, 1996). Saat hasrat tersebut terbentur aturan pembatasan masa jabatan, memperpanjang umur kekuasaan melalui kerabat adalah cara yang paling masuk akal.
Sejumlah keluarga politikus bahkan memanfaatkan situasi tersebut untuk memperluas kekuasaannya dengan “naik kelas” ke tingkat pemerintahan yang lebih tinggi atau “pindah kamar” dengan menguasai lembaga legislatif jika sebelumnya menguasai eksekutif. Makin panjang umur dan jangkauan kekuasaan dinasti politik, makin lama keluarga tersebut menikmati berbagai keuntungan yang menyertai jabatan, baik keuntungan legal maupun ilegal.
Namun dinasti politik tidak melulu dilihat sebagai strategi ekspansif. Ada kalanya membentuk dinasti politik justru merupakan cara untuk bertahan. Berkuasanya trah Sukarno di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, trah Yudhoyono di Partai Demokrat, ataupun trah Djojohadikusumo di Partai Gerindra bisa dilihat sebagai strategi untuk mempertahankan keutuhan partai dan daya tarik elektoral di tengah rendahnya loyalitas anggota partai politik dan pemilih.
Rencana keikutsertaan Gibran dan Bobby dalam pemilihan kepala daerah 2020 juga bisa dimaknai sebagai sebuah strategi bertahan Presiden Jokowi untuk tetap relevan dalam kancah politik setelah 2024. Jokowi bukanlah Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, atau Prabowo Subianto yang datang dari keluarga elite dan menguasai struktur partai yang mereka dirikan. Jokowi adalah “petugas partai” dari keluarga sederhana dan tidak cukup punya modal finansial untuk mendirikan partai sendiri. Tanpa penerus, sulit untuk membayangkan seorang Jokowi bisa tetap relevan dalam panggung politik Indonesia.
Dampak Negatif
DEMOKRASI dirancang untuk menjamin adanya pergantian penguasa politik secara berkala. Adanya “ancaman” pergantian tersebut diharapkan dapat memberikan insentif bagi politikus untuk lebih responsif terhadap kepentingan mayoritas pemilih. Namun, jika pasokan kepemimpinan dimonopoli sekelompok kecil keluarga elite politik, secara teoretis insentif tersebut akan terus berkurang seiring dengan berjalannya waktu.
Studi yang dilakukan Setyaningrum dan Saragih (2019) menguatkan dugaan tersebut. Mereka menemukan bahwa kehadiran dinasti politik memiliki efek negatif pada kinerja pemerintah daerah di Indonesia. Temuan serupa dikemukakan peneliti yang mempelajari dinasti politik di negara demokrasi seperti Filipina dan Jepang.
Di Filipina, Mendoza et al. (2016) menemukan kehadiran dinasti politik memperparah tingkat kemiskinan di beberapa daerah di luar Pulau Luzon yang berada dalam kekuasaan keluarga tersebut. Asako et al. (2012) juga menemukan fakta bahwa perekonomian daerah yang dikuasai dinasti politik di Jepang lebih buruk dibanding daerah lain, meskipun daerah tersebut berhasil mengamankan transfer dana yang lebih besar dari pusat. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan dinasti politik menghasilkan kebijakan yang hanya ditujukan bagi sebagian kecil pemilih loyal mereka. Berbagai temuan tersebut seharusnya menjadi peringatan serius bagi Indonesia untuk mencari jalan guna menyehatkan sistem pemilihan.
Ada sejumlah hal yang bisa dilakukan untuk membendung berkembangnya dinasti politik di Indonesia. Pertama, diperlukan rekayasa institusional di partai politik dan sistem pemilihan umum untuk menciptakan arena kompetisi yang lebih adil. Di beberapa negara yang demokrasinya sudah matang, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Jepang, dinasti politik juga jamak dijumpai. Namun salah satu hal yang membedakan kemunculan dinasti politik di negara-negara tersebut adalah anggota dinasti politik harus bertarung mati-matian di lingkup internal partai sebelum bisa dicalonkan oleh partai pengusung. Adanya mekanisme primary dan kaukus bisa menjadi alternatif untuk menghadirkan sebuah kompetisi yang lebih berimbang.
Pada sistem pemilihan umum, yang harus dilakukan adalah menyederhanakan peraturan mengenai pelanggaran pemilu. Seperti disebutkan di atas, saat ini penyelenggara pemilu dan penegak hukum sering kali terantuk detail peraturan dan pembuktian pelanggaran yang terlalu rumit, sedangkan waktunya relatif singkat. Syarat formil dan materiil pelanggaran pemilu sudah saatnya disederhanakan untuk mempermudah penyelenggara pemilu dan penegak hukum mengusut kecurangan, yang di antaranya dilakukan anggota dinasti politik.
Terakhir, meskipun klise, pendidikan politik harus terus dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh penulis menemukan 85 politikus gagal membentuk atau melanggengkan dinasti politik pada pilkada 2015-2018. Beberapa dari mereka memang kalah dari anggota dinasti politik lain. Namun sebagian besar kalah dari calon yang berasal dari luar dinasti. Fakta ini menunjukkan bahwa dinasti politik memiliki keterbatasan. Mereka bukan makhluk yang tak terkalahkan. Daya kritis masyarakat menjadi salah satu pembendung suburnya dinasti politik di Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo