Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Komputer

Kepercayaan terhadap komputer banyak disalahartikan. di sangka bahwa dengan komputer semuanya beres. komputer disamakan dengan ilmu rajah tangan. informatika bertemu dengan parapsikologi. (ctp)

26 Mei 1984 | 00.00 WIB

Komputer
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KEPERCAYAAN kita kepada komputer tampaknya sama dengan kepercayaan kita kepada ilmu rajah tangan. Tak mengherankan bila di Jakarta kini sedang, dipasarkan sebuah komputer yang dinyatakan pintar dalam palmistri. Perlihatkan telapak tangan Anda di dekatnya, lalu, yang, dia akan kasih tahu nasib Anda. Saya memang teringat kepada Pak Tua di tepi Jalan Malioboro. Pada suatu hari, Alip, seorang kawan, iseng-iseng mampir ke tempat ia duduk dekat burung gelatik dan alat-alat ramalannya. Tangan ia ulurkan. Pak Tua menelaahnya. Prediksi: Si Alip kelak akan jadi orang yang penting, tapi tidak akan jadi kaya. Itu 20 tahun yang lalu. Kini ternyata Alip tinggal di daerah Pondok Indah, dengan dua mobil, tiga anjing ras serta empat macam credit card. Ketika saya ingatkan bagaimana salahnya ramalan Pak Tua di tepi Jalan Malioboro itu, Alip cuma senyum. Ia ceritakan bahwa ramalan itu benar. Ia tidak kaya. Ia hanya kawin dengan seorang wanita bisnis yang berhasil. Dan seperti banyak orang kaya, ia juga berpendapat bahwa sebenarnya ada orang lain yang lebih kaya dari dirinya. Jadi, ramalan itu betul, tanya saya. Bagaimana bisa salah, kata Alip membalik. Kata-kata itu juga pernah saya dengar dari seorang kenalan yang baru memasang sebuah PC (yakni: personal computer) seharga Rp 5 juta dan membeli program untuk menghitung belanjanya tiap bulan. Bagaimana bisa salah, katanya. Jadi, jelaslah, komputer dan ilmu rajah tangan tak banyak bedanya. Kebanyakan kita tak tahu bagaimana persis orang bisa memperoleh jawab dari dua hal itu. Kebanyakan kita cuma terkesima, bahkan gentar untuk tahu. Kita cukup serahkan seluk-beluknya kepada para ahli. Maka, informatika pun bertemu dengan parapsikoiogi, teknik dengan klenik, keyakinan lama dengan keyakinan baru. Ini memang pertemuan kebudayaan yang penting di sekitar kita: pertemuan yang juga ditunjukkan oleh iklan buku di koran. Di adpertensi itu satu deret panjang buku adalah tentang teknik, satu deret lain buku manajemen. Lalu, pada deret lain, kitab sejenis I Cling, sistem ramal tua dari Negeri Cina disajikan dalam bahasa Inggris. Bila buku tentang dunia gaib dari Lobsang Rampa ditawarkan serempak bersama A Guide to Fortran IV Progamming, itu menunjukkan bagaimana hasrat kelas menengah - Jakarta yang berbelanja impor di toko-toko ber-AC itu. Mereka, lewat bahasa tinggi komputer dan misteri nujum, menyiapkan diri untuk memilih nasib yang sukses. Barangkali ini tanda-tanda sebuah aman yang khas: kita sedang percaya kepada kapasitas manusia untuk memanfaatkan yang ajaib dan sekaligus yang masinal. Barangkali ini juga sekadar semangat atau kebingungan yang wajar. Di Eropa pun, pada abad ke-19, cukup ramai orang dengan para "dukun ilmiah". Di London ada Dr. James Graham yang menyatakan bisa mengobati lemah syahwat dengan "pilar magnetis". Di Paris ada ranz Mesmer - orang yang kemudian jadi kata dasar istilah mesmerisme: ia mengobati pasien dengan "magnetisme hewani". Jadi, bila kita percaya akan komputer rajah-tangan, seperti kita pernah percaya akan mukjizat "mesin" bodem korektor buat kesuburan tanah, apa daya. Nujum burung gelatik, tafsir palmistri, seperti juga hasil komputasi di layar PC itu, datang dari luar diri dan aktivitas kita. Bukan kita yang menyebabkannya. Kita hanya polos tanpa otoritas. Kita bukan sang pembuat. Kita hanya konsumen dan penerima. Kita tak tahu proses, kita cuma tahu hasil, dari input ke output. Dulu di sekolah pun kita cuma "menerima" ilmu, bukan "mengolah" ilmu. Guru bilang A, kita bilang A. Rumus datang, rumus diulang. Kepala kita jadi gudang penyimpan angka dan kata yang tak pernah diurai, dianalisa, diproses. Kita tak pernah diajak berpikir kenapa 1 x 1 adalah 1 sedangkan 2 x 2 adalah 4. Syahdan, ketika komputer tiba di Jakarta, kantor-kantor besar pun membeli dan memasang. Ternyata, dalam waktu singkat, high tech yang canggih atau piawai dan yang pasti mahal itu tiba-tiba 90O mubazir. Kita menyangka bahwa dengan komputer semuanya akan beres. Pejet tombol, jawab akan keluar. Kita telah begitu terkesima. Kita tak menyadari bahwa barang itu sebenarnya bodoh - sesuatu yang hanya bisa bekerja jika kita menguasai bicara dengan bahasanya. "Tanpa saya, engkau bukan apa-apa," demikian judul sebuah buku tentang home computer di Amerika. Barang itu memang dunia menerima 1% kekayaan bahasa manusia. Selebihnya, ia tak paham. Seperti halnya ia tak memahai kemalasan kita - kemalasan akan data. Bahkan ia memang hadir dengan asumsi adanya informasi yang terperinci, hasil kerja kita yang rapi dan sistematis. Tanpa itu semua, tak heran bila pada akhirnya mestinya yang bisa kerja cepat dan banyak itu jadi jemu, kesal, lalu turun: ia buka praktek seperti Pak Tua di tepi Malioboro. Meramal rajah tangan. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus