Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Komunikasi antar bedebah

Para bedebah politisi berkomunikasi, sepakat membentuk partai komunis tiongkok. mengherankan bila dewan mahasiswa bandung tersandung-sandung mau berkomunikasi dengan dpr, sedang para bedebah bisa berkomukasi.

22 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sebelah selatan kota Shanghai ada danau Cia Cing. Apabila hari bagus tiada mendung, langitpun terang serta biru, maka airnya berwarna biru, dan banyak remaja bersampan-sampan. Bernyanyi sambil berpantun, melempar kulit kacang dan biji jeruk. Plung! Terkadang tampak pula para tua bangka ikut bersuka ria, sungguh kurang senonoh, seraya minum arak yang terjerang di atas tungku arang hingga mulut berbusa dan bicara porno. Itu kalau langit terang. Tapi, hari pertama bulan Juli 1921, cuaca bukan alang kepalang buruknya. Langit gelap seperti karbon. Ikan mas tersuruk-suruk di liangnya. Hujan turun berderai di atas dan di tepi danau, hingga alang-alang menggigil kedinginan. Angin keras menjerit dan menyumpah-nyumpah. Walaupun begitu, mengapa ada dua ujung di tengah danau, terombang-ambing berhimpitan? Turis domestik gila dari manakah mereka itu? Mengapa tidak berbaring atau termangu-mangu di dekat jendela saja? Atau barangkali pencari teripangkah mereka? Kepiting? Kodok? Bukan. Kedua jung itu berisi orang-orang Marxist, para bedebah politis yang lagi diuber-uber oleh polisi dan agen rahasia Kuomintang, karena kerjanya membuat tuan tanah dan orang kaya tak nyenyak tidurnya. Mereka lagi berkomunikasi satu sama lain. Mereka lagi bermufakat membentuk Partai Komunis Tiongkok. Sesudah partai disepakati, siaa pemimpinnya? Jikalau dokar saja punya kusir, mengapa partai tidak? Tilik punya tilik, pilihan buat jadi ketua jatuh pada seorang kekar tinggi utusan dari Hunan. Mukanya biasa saja, seperti penanam ubi kayu yang banyak terdapat di Tiongkok. Orang muda ini bernama Mao Tse Tung. LA COSA NOSTRA Apabila bedebah-bedebah politis punya cara berkomunikasi, menghirup udara di celah seribu jepitan, tentu bedebahbedebah tulen tiada beda. Lihat saja Amerika Serikat itu. Selain ada orang Demokrat atal Republik, orang Indian atau Mormon, teknokrat atau homoseks, ada pula bedebah-bedebah, anggota La Cosa Nostra. Jumlahnya sekitar 5000-an, terbagi dalam 24 "famili", berbentuk federasi longgar, di bawah pimpinan sebuah "komisi", belum termasuk agen-agen lepas, pejabat atau hamba wet atau anggota parlemen atau hakim, mereka yang makan suap beraturan. Lainnya tentu ada juga. Bedebah tulen tidaklah perlu meniru bedebah politis, bersampan-sampan di bawah hujan, makan kacang goreng dan masuk angin seperti ulah Mao dan kawan-kawan di danau Cia Cing. Bukankah ada restoran-restoran. Atau kapal pesiar sambil dibuai gesek biola. Salah satu tokoh bedebah, Meyer Lansky, berkata dengan rendah. hati: "Keuntungan La Cosa Nostra cuma sedikit lebih besar ketimbang perusahaan US Steel". Ini dusta besar! Menurut taksiran pihak resmi, pendapatan per tahun organisasi bedebah ini tak kurang dari $ 30 milyar, untungnya berkisar antara $ 7 - 10 milyar. Bukankah pendapatan $ 30 milyar itu artinya 3 kali lipat APBN 1977-1978 yang Rp 4.247.300.000.000.000 besarnya? Bukankah $ 10 milyar itu sama besar dengan untung tahunan US Steel - AT & T - General Motors - Standard Oil of New Jersey - General Electrics Ford Motor - IBM - Chrysler dan RCA digabung jadi satu? Indonesia, selain penduduknya ada yang anggota Parpol atu Golkar, atau tidak ikut kedua-duanya, ada pula teknokrat serta dukun, orang-orang baik serta sabar dan tukang copet. Tukang ini gemar merogoh apa saja dari kantong orang lain, atau kalau kantong tidak ada, tas pun boleh juga. Cepatnya seperti julur lidah ular, tenangnya seperti tenang juru tenung. Jumlahnya tidak diketahui persis, karena sukar dibedakan dengan seorang wiraswasta atau pegawai kantor asing, bahkan dengan seorang intelektuil sekalipun. Mereka ada di mana-mana, atau tidak ada di mana-mana. KOMUNIKASI PARA PENCOPET Barangkali akibat nyaringnya anjuran berkomunikasi dari segala arah, sampai juga terdengar ke telinga bedebah profesionil ini. Ya, jikalau semua makhluk kepingin berkomunikasi, jikalau bedebah-bedebah mancanegara saling berbincang sesamanya, mengapa kaum pencopet yang juga tergolong bedebah, tidak? Maka KNI memberitakan, ada musyawarah para tukang copet se Jawa, berikut dua peninjau dari Palembang, mengambil tempat mewah di kota Bandung, mengatur langkah dan bagi kerja, supaya tidak saling berebut rejeki haram, supaya ada perataan pendapatan di dunia copet, supaya jangan sampai yang satu kebanyakan yang lain hampa tangan, supaya tidak ada jurang yang menganga, supaya ada keadilan dalam kejahatan, supaya bisa serempak masuk neraka jahanam, jangan sampai ada yang tertinggal di pinggir. Kabar ini yang pecah di awal tahun 1977 niscaya membuat penasaranpihak-pihak bukan bedebah seperti: Pemerintah, Politisi, Wartawan, Mahasiswa yang justru paling merasa berkepentingan berkomunikasi, agar tiada ganjelan menghalang, supaya semua jalan teratur, seperti arah jarum jam. Coba saja pikir, siapakah yang tidak penasaran, apabila Dewan-dewan Mahasiswa se Bandung tersandung-sandung mau berkomunikasi dengan pimpinan DPRnya, sedangkan para bedebah bisa berkomunikasi sesamanya? Tahun 1976, menurut Laksamana Sudomo, adalah tahun penuh tantangan. Banyak masalah berat yang menghadang: bencana alam, korupsi, kenakalan remaja, maksud buruk dunia luar yang mau memencilkan dan stop bantuan buat Indonesia. Tahun 1977 bagaimana? Menurut Presiden Suharto: tahun penuh tantangan serta ujian, tapi juga tahun harapan. Jadi, ditilik dari sudut tantangan, antara tahun 1976 dan 1977 sama saja. Bahkan, sama pula dengan tahun 1958, karena almarhum Presiden Sukarno waktu itu juga menyebutnya "a year of challenge". Bedanya terletak pada adanya harapan. Ini betul-betul beda yang penting. Apatah lagi arti hidup ini tanpa harapan? Bukankah Dostoyewski ada berkata "Harapan adalah harta-benda terakhir seorang miskin"? Apapun namanya tahun ini, tantangan atau harapan, komunikasi selalu mesti ada di sana. Palapa sudah berpusing-pusing di atas kepala kita nun jauh di angkasa raya. Kabel telepon melingkar-lingkar di balik lipatan bumi. Jembatan lama disepak, jembatan baru direntangkan. Jalan baru dibuka orang, karena manusia modern tidak bisa duduk bersila begitu saja dari pagi hingga petang. Semua ini cocok benar dengan tanda jaman "Revolusi Komunikasi". Dan bukan cuma itu! Bukankah tidak sedikit orang yang mendaki gunung dan menyuruk gua, berkomunikasi dengan mambang dan peri? Nah, kita-kita yang bukan bedebah ini jangan sampai ketinggalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus