DI sebelah selatan kota Shanghai ada danau Cia Cing. Apabila
hari bagus tiada mendung, langitpun terang serta biru, maka
airnya berwarna biru, dan banyak remaja bersampan-sampan.
Bernyanyi sambil berpantun, melempar kulit kacang dan biji
jeruk. Plung! Terkadang tampak pula para tua bangka ikut bersuka
ria, sungguh kurang senonoh, seraya minum arak yang terjerang di
atas tungku arang hingga mulut berbusa dan bicara porno. Itu
kalau langit terang.
Tapi, hari pertama bulan Juli 1921, cuaca bukan alang kepalang
buruknya. Langit gelap seperti karbon. Ikan mas tersuruk-suruk
di liangnya. Hujan turun berderai di atas dan di tepi danau,
hingga alang-alang menggigil kedinginan. Angin keras menjerit
dan menyumpah-nyumpah. Walaupun begitu, mengapa ada dua ujung di
tengah danau, terombang-ambing berhimpitan? Turis domestik gila
dari manakah mereka itu? Mengapa tidak berbaring atau
termangu-mangu di dekat jendela saja? Atau barangkali pencari
teripangkah mereka? Kepiting? Kodok?
Bukan. Kedua jung itu berisi orang-orang Marxist, para bedebah
politis yang lagi diuber-uber oleh polisi dan agen rahasia
Kuomintang, karena kerjanya membuat tuan tanah dan orang kaya
tak nyenyak tidurnya. Mereka lagi berkomunikasi satu sama lain.
Mereka lagi bermufakat membentuk Partai Komunis Tiongkok.
Sesudah partai disepakati, siaa pemimpinnya? Jikalau dokar saja
punya kusir, mengapa partai tidak? Tilik punya tilik, pilihan
buat jadi ketua jatuh pada seorang kekar tinggi utusan dari
Hunan. Mukanya biasa saja, seperti penanam ubi kayu yang banyak
terdapat di Tiongkok. Orang muda ini bernama Mao Tse Tung.
LA COSA NOSTRA
Apabila bedebah-bedebah politis punya cara berkomunikasi,
menghirup udara di celah seribu jepitan, tentu bedebahbedebah
tulen tiada beda. Lihat saja Amerika Serikat itu.
Selain ada orang Demokrat atal Republik, orang Indian atau
Mormon, teknokrat atau homoseks, ada pula bedebah-bedebah,
anggota La Cosa Nostra. Jumlahnya sekitar 5000-an, terbagi dalam
24 "famili", berbentuk federasi longgar, di bawah pimpinan
sebuah "komisi", belum termasuk agen-agen lepas, pejabat atau
hamba wet atau anggota parlemen atau hakim, mereka yang makan
suap beraturan.
Lainnya tentu ada juga. Bedebah tulen tidaklah perlu meniru
bedebah politis, bersampan-sampan di bawah hujan, makan kacang
goreng dan masuk angin seperti ulah Mao dan kawan-kawan di danau
Cia Cing. Bukankah ada restoran-restoran. Atau kapal pesiar
sambil dibuai gesek biola.
Salah satu tokoh bedebah, Meyer Lansky, berkata dengan rendah.
hati: "Keuntungan La Cosa Nostra cuma sedikit lebih besar
ketimbang perusahaan US Steel". Ini dusta besar! Menurut
taksiran pihak resmi, pendapatan per tahun organisasi bedebah
ini tak kurang dari $ 30 milyar, untungnya berkisar antara $ 7 -
10 milyar. Bukankah pendapatan $ 30 milyar itu artinya 3 kali
lipat APBN 1977-1978 yang Rp 4.247.300.000.000.000 besarnya?
Bukankah $ 10 milyar itu sama besar dengan untung tahunan US
Steel - AT & T - General Motors - Standard Oil of New Jersey -
General Electrics Ford Motor - IBM - Chrysler dan RCA digabung
jadi satu?
Indonesia, selain penduduknya ada yang anggota Parpol atu
Golkar, atau tidak ikut kedua-duanya, ada pula teknokrat serta
dukun, orang-orang baik serta sabar dan tukang copet. Tukang ini
gemar merogoh apa saja dari kantong orang lain, atau kalau
kantong tidak ada, tas pun boleh juga. Cepatnya seperti julur
lidah ular, tenangnya seperti tenang juru tenung. Jumlahnya
tidak diketahui persis, karena sukar dibedakan dengan seorang
wiraswasta atau pegawai kantor asing, bahkan dengan seorang
intelektuil sekalipun. Mereka ada di mana-mana, atau tidak ada
di mana-mana.
KOMUNIKASI PARA PENCOPET
Barangkali akibat nyaringnya anjuran berkomunikasi dari segala
arah, sampai juga terdengar ke telinga bedebah profesionil ini.
Ya, jikalau semua makhluk kepingin berkomunikasi, jikalau
bedebah-bedebah mancanegara saling berbincang sesamanya,
mengapa kaum pencopet yang juga tergolong bedebah, tidak? Maka
KNI memberitakan, ada musyawarah para tukang copet se Jawa,
berikut dua peninjau dari Palembang, mengambil tempat mewah di
kota Bandung, mengatur langkah dan bagi kerja, supaya tidak
saling berebut rejeki haram, supaya ada perataan pendapatan di
dunia copet, supaya jangan sampai yang satu kebanyakan yang lain
hampa tangan, supaya tidak ada jurang yang menganga, supaya ada
keadilan dalam kejahatan, supaya bisa serempak masuk neraka
jahanam, jangan sampai ada yang tertinggal di pinggir.
Kabar ini yang pecah di awal tahun 1977 niscaya membuat
penasaranpihak-pihak bukan bedebah seperti: Pemerintah,
Politisi, Wartawan, Mahasiswa yang justru paling merasa
berkepentingan berkomunikasi, agar tiada ganjelan menghalang,
supaya semua jalan teratur, seperti arah jarum jam. Coba saja
pikir, siapakah yang tidak penasaran, apabila Dewan-dewan
Mahasiswa se Bandung tersandung-sandung mau berkomunikasi dengan
pimpinan DPRnya, sedangkan para bedebah bisa berkomunikasi
sesamanya?
Tahun 1976, menurut Laksamana Sudomo, adalah tahun penuh
tantangan. Banyak masalah berat yang menghadang: bencana alam,
korupsi, kenakalan remaja, maksud buruk dunia luar yang mau
memencilkan dan stop bantuan buat Indonesia. Tahun 1977
bagaimana? Menurut Presiden Suharto: tahun penuh tantangan serta
ujian, tapi juga tahun harapan. Jadi, ditilik dari sudut
tantangan, antara tahun 1976 dan 1977 sama saja. Bahkan, sama
pula dengan tahun 1958, karena almarhum Presiden Sukarno waktu
itu juga menyebutnya "a year of challenge". Bedanya terletak
pada adanya harapan. Ini betul-betul beda yang penting. Apatah
lagi arti hidup ini tanpa harapan? Bukankah Dostoyewski ada
berkata "Harapan adalah harta-benda terakhir seorang miskin"?
Apapun namanya tahun ini, tantangan atau harapan, komunikasi
selalu mesti ada di sana. Palapa sudah berpusing-pusing di atas
kepala kita nun jauh di angkasa raya. Kabel telepon
melingkar-lingkar di balik lipatan bumi. Jembatan lama disepak,
jembatan baru direntangkan. Jalan baru dibuka orang, karena
manusia modern tidak bisa duduk bersila begitu saja dari pagi
hingga petang. Semua ini cocok benar dengan tanda jaman
"Revolusi Komunikasi". Dan bukan cuma itu! Bukankah tidak
sedikit orang yang mendaki gunung dan menyuruk gua,
berkomunikasi dengan mambang dan peri? Nah, kita-kita yang bukan
bedebah ini jangan sampai ketinggalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini