Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Identitas Nahdlatul Ulama sebagai institusi sosial keagamaan lebih tampak sebagai organisasi politik.
Organisasi ini sering diguncang konflik internal sejak berdiri pada 1926.
Organisasi kemasyarakatan keagamaan terbesar di Indonesia ini gagal melepaskan diri dari pusaran kekuasaan.
TEKAD Nahdlatul Ulama kembali ke khitah dan melepaskan diri dari politik praktis hanya pepesan kosong. Identitas Nahdlatul Ulama sebagai institusi sosial keagamaan lebih tampak sebagai organisasi politik. Mereka terjebak konflik internal yang tak berkesudahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru-baru ini sebagian pengurus dan mantan pengurus wilayah serta cabang Nahdlatul Ulama menggulirkan gagasan muktamar luar biasa. Mereka hendak mengevaluasi kepengurusan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf. Sejak Yahya Staquf memimpin organisasi kaum nahdliyin itu pada Desember 2021, konflik di lingkup internal NU terus muncul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yahya Staquf pernah diprotes karena mendukung penundaan Pemilihan Umum 2024 dan menyeret Pengurus Besar Nahdlatul Ulama untuk mendukung Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2024. Kisruh berlanjut setelah Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Panitia Khusus Haji yang didukung Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar—politikus yang berseberangan dengan Yahya Staquf. Pansus Haji berniat menyelidiki dugaan penyalahgunaan wewenang Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam pembagian kuota haji. Yaqut adalah adik Yahya Staquf.
Ini bukan gegeran pertama di dalam NU. Organisasi ini sering diguncang konflik internal sejak berdiri pada 1926. Dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur, sembilan tahun lalu, para calon ketua umum sempat mengancam akan menggugat kepengurusan dan membuat muktamar tandingan. Ditarik lebih lama lagi, pemimpin NU sempat pecah menjadi dua kubu, yakni faksi Situbondo dan faksi Cipete pada 1984.
Konflik berulang di lingkup internal NU tak lepas dari budaya patronase di tubuh organisasi tersebut. Tokoh nahdliyin yang merasa punya modal politik menuntut peran politik yang lebih besar di dalam organisasi. Mereka biasanya memiliki jumlah santri yang masif, jejaring pesantren yang luas, serta kedekatan dengan penguasa. Upaya mendongkel dan membuat organisasi tandingan terjadi ketika pengurus gagal mengakomodasi pelbagai tuntutan dari elite nahdliyin itu.
Perselisihan yang bersumber dari patronase tersebut dapat dilacak dari kasus Muktamar NU 1994 di Tasikmalaya, Jawa Barat, dan Muktamar NU 2004 di Boyolali, Jawa Tengah. Di Tasikmalaya, Abu Hasan yang didukung rezim Soeharto gagal menjegal Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU. Hasan lantas mendirikan Koordinasi Pengurus Pusat Nahdlatul Ulama. Sepuluh tahun kemudian, Gus Dur justru gantian membuat organisasi baru setelah kalah oleh Hasyim Muzadi.
Akar perseteruan lain di dalam Nahdlatul Ulama dipicu oleh banyaknya elite NU yang terlibat politik praktis. Keterlibatan tokohnya dalam politik elektoral membuat organisasi kaum nahdliyin ini bergerak layaknya institusi politik. Segelintir elite NU hanya menjadikan organisasi berlambang bintang sembilan ini sebagai alat legitimasi dan tunggangan mengejar jabatan politik serta kekuasaan.
Keterlibatan elite NU dalam politik praktis itu sangat terang dalam sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo. Dipersepsikan tak ramah kepada kelompok Islam, Jokowi justru menggunakan NU untuk menjawab serangan narasi itu. Ia memilih Ma’ruf Amin, tokoh nahdliyin, sebagai pendamping pada periode kedua pemerintahannya. NU juga "dipakai" oleh rezim Jokowi sebagai penyeimbang menguatnya kelompok konservatisme agama.
Para tokoh Nahdlatul Ulama berkali-kali menyerukan agar organisasi ini segera kembali ke khitah dan mengembalikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Namun konflik dan perebutan kekuasaan di lingkup internal NU yang terus terjadi membuat seruan itu terdengar sebagai isapan jempol belaka. Terjebak dalam kepentingan politik segelintir elitenya, organisasi kemasyarakatan keagamaan terbesar ini gagal melepaskan diri dari pusaran kekuasaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo