Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Ketentuan pemberian IUP dengan cara prioritas menjadi
Akademikus di kampus berfokus pada pelaksanaan kewajiban Tri Dharma Perguruan Tinggi, bukan mencari keuntungan.
Pengelolaan tambang oleh kampus hanya akan menimbulkan inefisiensi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
SETELAH pada Juni 2024, pemerintah menabur polemik lewat kebijakan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, kini kita dikejutkan oleh rencana serupa. Kali ini, pemerintah ingin memberikan IUP atau konsesi tambang kepada perguruan tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana itu terendus dalam draf perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Terdapat perubahan substansial pada Pasal 51 undang-undang tersebut. Sebelumnya, pemberian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) kepada badan usaha, koperasi, dan perorangan dilakukan dengan cara lelang.
Dalam draf rancangan amendemen keempat itu, ada ketentuan pemberian WIUP dengan cara lelang atau pemberian prioritas. Pemberian dengan cara prioritas inilah yang menjadi "modus" pemberian WIUP kepada perguruan tinggi (Pasal 51A ayat 1). Pada pasal berikutnya ada ketentuan tambahan: pemberian WIUP untuk perguruan tinggi dilakukan dengan mempertimbangkan luas WIUP, status akreditasi perguruan tinggi, serta peningkatan akses dan layanan pendidikan bagi masyarakat (Pasal 51A ayat 2).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada beberapa pertanyaan yang perlu kita jawab bersama ihwal rencana kebijakan pemberian konsesi tambang untuk kampus. Pertama, apakah perguruan tinggi memiliki kapasitas dan kapabilitas mengelola usaha pertambangan?
Pada umumnya, pengelolaan pertambangan dilakukan oleh korporasi, baik itu badan usaha milik negara, swasta, maupun perusahaan multinasional. Namun tidak semua korporasi dapat mengelola tambang. Maklum, di setiap sektor usaha, ada proses bisnis yang harus dipahami oleh para pelakunya. Karena itu, pengelolaan pertambangan biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang punya spesialisasi di bidang tersebut.
Bukankah dimungkinkan suatu perusahaan yang awalnya bergerak di satu sektor, lalu mengembangkan sayap bisnisnya untuk memasuki sektor lain? Tentu saja. Banyak contoh perusahaan yang punya kisah sukses tersebut. Namun, di balik kesuksesan itu, banyak proses internal yang mungkin “berdarah-darah” dan tidak diketahui publik.
Beberapa pertanyaan yang mengemuka adalah kurva pembelajaran (learning curve) seperti apa yang dialami perusahaan-perusahaan tersebut? Berapa sumber daya (waktu, human capital, modal, dan teknologi) yang harus mereka alokasikan untuk dapat melakukan ekspansi bisnis ke sektor baru tersebut? Bagaimana risiko kegagalan pengembangan bisnis tersebut dan bagaimana memitigasinya? Perlu dicatat bahwa proses ini dilakukan oleh para pebisnis profesional dengan pengetahuan dan pengalaman segudang.
Kedua, apakah perguruan tinggi memiliki kapasitas dan kapabilitas mengelola usaha pertambangan? Pendapat Dekan Fakultas Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung yang menjelaskan kompleksitas proses bisnis di pertambangan yang jauh dari kata sederhana (Kumparan, 23 Januari 2025) menarik disimak. Kompleksitas ini makin meningkat karena perbedaan proses bisnis antara perguruan tinggi dan perusahaan pertambangan.
Toh, kalaupun suatu perguruan tinggi memiliki Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Fakultas Teknik Pertambangan, serta Fakultas Hukum, dengan para pakar di dalamnya, misalnya, mengelola perusahaan pertambangan tetap berbeda dengan mengelola perguruan tinggi. Para akademikus berfokus pada pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi (pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat). Sementara itu, para pebisnis di sektor pertambangan tentunya hanya berfokus memaksimalkan laba sesuai dengan proses bisnis di sektor tersebut.
Ketiga, mengapa mengaitkan pengelolaan usaha pertambangan dengan akreditasi perguruan tinggi? Akreditasi adalah upaya penjaminan mutu di perguruan tinggi dan berfokus pada pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Akreditasi adalah bagian dari tanggung jawab perguruan tinggi kepada stakeholders untuk memastikan kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mereka lakukan memenuhi standar kualitas tertentu.
Apa kaitan pengajaran, penelitian, dan publikasi ilmiah dengan pengelolaan tambang? Apa kaitan dampak sosial dari pengabdian kepada masyarakat terhadap pengelolaan tambang? Apakah kalau suatu perguruan tinggi mendapat akreditasi unggul, bahkan terakreditasi internasional sekalipun, pasti mampu mengelola usaha tambang dengan baik? Tentu saja capaian akreditasi suatu perguruan tinggi, termasuk fakultas, departemen, ataupun program studi, tidak terkait dengan kemampuan mengelola tambang.
Keempat, bagaimana praktik terbaik (best practice) pendanaan perguruan tinggi di dunia? Pada umumnya, pendanaan perguruan tinggi berasal dari alokasi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sumbangan pembinaan pendidikan dari para mahasiswa, sumbangan dari para alumnus, dana tanggung jawab sosial dari perusahaan, serta kerja sama riset/pendidikan antara dunia usaha/sektor pemerintahan dan perguruan tinggi.
Tentu saja proporsi setiap komponen bervariasi antar-negara, bergantung pada kemampuan dan komitmen pemerintah dalam mendanai pendidikan tinggi. Namun ada satu kesamaan: perguruan tinggi tidak terlibat dalam operasionalisasi dunia usaha secara langsung. Boleh saja banyak perusahaan sawit di Malaysia, tapi apakah ada universitas yang mengelola perkebunan atau pabrik sawit? Singapura memiliki banyak kilang minyak, apakah kemudian pengelolaannya diberikan kepada kampus?
Kelima, bagaimana dampaknya jika lembaga yang tidak kompeten memperoleh hak pengelolaan tambang? Dalam hal ini, perguruan tinggi termasuk ke dalam lembaga yang tidak kompeten dalam mengelola tambang. Ketika izin tambang diberikan kepada kampus, sebagai pemilik konsesi, perguruan tinggi tidak akan melakukan pengusahaan tambang sendirian.
Kampus—demikian juga ormas keagamaan—akan mencari rekanan yang mampu mengelola tambang tersebut dan mau bermitra. Lembaga mitra tersebut kemudian akan mengerjakan semua proses produksi, lalu keuntungan yang diperoleh dibagi di antara mereka.
Sampai titik ini, kampus pemilik konsesi menjadi sumber inefisiensi proses produksi karena hanya menerima pendapatan tanpa bekerja. Pemilik konsesi akan membebani perusahaan yang menjalankan produksi. Inilah perilaku pencari rente (rent seeking). Sudah pasti para pencari rente akan menciptakan inefisiensi produksi.
Konsekuensi yang muncul akibat inefisiensi produksi adalah harga yang tidak kompetitif. Jika hal ini berlaku untuk semua atau sebagian besar perusahaan di suatu sektor, dampak yang ditimbulkan adalah ekonomi biaya tinggi.
Pertanyaan yang muncul kemudian: apakah pencari rente dan ekonomi biaya tinggi dapat dihindari ataupun diminimalkan sebagai akibat pemberian konsesi kepada pihak yang tidak kompeten? Jawabannya adalah tidak. Pemberian konsesi sumber daya alam kepada pihak yang tidak kompeten pasti menciptakan kesalahan alokasi.
Apakah masalah selesai sampai di sini? Tentu tidak. Pembahasan di atas mengacu pada asumsi perfect information. Faktanya, di dunia nyata, hal itu tidak pernah ada. Mengingat pemilik konsesi (kampus atau ormas keagamaan) tidak mengetahui proses bisnis, interaksi yang terjadi menimbulkan asymmetric information. Dalam situasi ini, moral hazard dan adverse selection lebih mudah berkembang, yang pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan di masa mendatang.
Lalu bagaimana idealnya pendanaan bagi perguruan tinggi? Sebetulnya pemerintah tidak perlu bersusah payah memberikan konsesi kepada perguruan tinggi. Seperti amanat Undang-Undang Minerba (tanpa amendemen), biarlah IUP diberikan melalui lelang kepada dunia usaha yang memang punya kemampuan mengelola usaha tambang.
Pemerintah hanya perlu memastikan perusahaan-perusahaan tersebut taat terhadap setiap peraturan yang ada serta mengoptimalkan penerimaan pajak dan royalti di sektor pertambangan. Pada akhirnya, peningkatan penerimaan negara ini bisa dialokasikan untuk peningkatan mutu perguruan tinggi. Biarkan perguruan tinggi berfokus pada perbaikan pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang telah menjadi mandatnya. ●
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo