Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Amin
Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan ini, investor dan masyarakat Indonesia dikejutkan oleh informasi mengenai indikasi bahwa PT Garuda Indonesia Tbk telah menyusun laporan keuangan dengan menggelembungkan pendapatan yang seharusnya tidak diakui sebagai pendapatan. Hal ini diawali dengan penolakan dua komisaris Garuda untuk menandatangani laporan keuangan dalam rapat umum pemegang saham tahunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang dinilai sebagai kesalahan signifikan adalah pengakuan pendapatan dari kontrak Garuda dengan PT Mahata Aero Teknologi tentang kerja sama penjualan layanan konektivitas dalam penerbangan dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten. Konsekuensi atas pengakuan pendapatan dari kontrak tersebut adalah Garuda membukukan laba tahun 2018 sebesar US$ 5.018.308.
Kontrak itu dibuat pada 31 Oktober 2018 dan diamendemen terakhir pada 26 Desember 2018 dan akan berlaku selama 15 tahun. Kontrak itu menyatakan bahwa Mahata akan memberikan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat dan menanggung seluruh biaya, dari penyediaan hingga pemeliharaan. Untuk itu, Mahata akan membayar biaya kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas pada 153 pesawat sebesar US$ 131.940.000 dan hak pengelolaan layanan hiburan pada 99 pesawat sebesar US$ 80 juta.
Dengan menganggap bahwa imbalan tersebut merupakan imbalan tetap, Garuda mengklaimnya sebagai pendapatan tahun berjalan. Alasannya, hal itu sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Manajemen berargumen menggunakan basis akrual dibandingkan dengan basis kas, yaitu pendapatan dapat diakui meskipun pendapatan tunai belum diterima.
PSAK mendefinisikan pendapatan sebagai arus masuk bruto dari manfaat ekonomis yang timbul dari aktivitas normal entitas selama suatu periode jika arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. Apakah pendapatan dari Mahata dapat diakui sebagai pendapatan tahun 2018? Ada dua hal yang harus dipertimbangkan, yaitu kondisi kontrak kerja sama dan jangka waktu perjanjian kontrak.
Penilaian terhadap kondisi kontrak memuat dua skenario. Pertama, apabila penandatanganan kontrak itu berarti Garuda telah menyerahkan sepenuhnya hak tersebut kepada Mahata, berarti Garuda telah menghimpun sekaligus membentuk pendapatan. Kedua, sebaliknya, apabila total imbalan sebesar US$ 211.940.000 merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi Mahata sebelum mendapatkan hak dari Garuda, dapat diragukan bahwa Garuda telah menghimpun pendapatan meskipun telah membentuk pendapatan.
Selain itu, terdapat serangkaian indikasi potensi wanprestasi dan kegagalan dari transaksi. Pertama, kontrak menjelaskan bahwa Mahata akan menyerahkan biaya kompensasi kepada Garuda setelah ditandatangani kontrak kerja sama. Kedua, Garuda akan mengevaluasi kerja sama setiap dua bulan. Ketiga, kontrak berlaku sejak penandatanganan pada 31 Oktober 2018 dengan amendemen terakhir pada 26 Desember 2018. Keempat, sampai 31 Desember 2018, Mahata belum menyerahkan kompensasi sebesar US$ 211.940.000 kepada Garuda. Apabila kondisi kedua dikombinasikan dengan empat indikasi di atas, pengakuan pendapatan atas kompensasi tersebut masih perlu diklarifikasi oleh manajemen Garuda.
Kompensasi dari Mahata belum dapat diakui sebagai pendapatan pada 2018 karena kontrak menyatakan jangka waktu kontrak selama 15 tahun. Apabila dicermati, substansi perjanjian tersebut juga dapat dilihat sebagai perjanjian sewa antara Garuda sebagai pemberi sewa dan Mahata sebagai penyewa. Dalam hal ini, transaksi yang dilakukan adalah menyewakan ruang usaha kepada Mahata, bukan semata-mata mentransaksikan hak usaha.
PSAK menyatakan bahwa pendapatan dari sewa operasi diakui sebagai pendapatan dengan dasar garis lurus selama masa sewa. Sewa pada umumnya melibatkan pemanfaatan aset dalam jangka panjang, sehingga penerimaan kompensasi atas sewa akan diakui sebagai pendapatan melalui alokasi pendapatan pada tahun-tahun masa sewa. Maka, Garuda seharusnya mengalokasikan pendapatan kompensasi selama 15 tahun secara sistematis sehingga pengakuan pendapatan setiap tahun dari penerimaan kompensasi, selain royalti tahunan, adalah US$ 14.129.333.
Apabila Mahata telah membayar kompensasi sebesar US$ 211.940.000, apakah penerimaan itu juga akan diakui sebagai pendapatan? Dalam kasus ini, penerimaan kompensasi tunai tersebut seharusnya diakui sebagai pendapatan di muka, yang termasuk rekening kewajiban pada Laporan Posisi Keuangan Garuda. Pendapatan tersebut setiap tahun akan berkurang dan disesuaikan pada rekening pendapatan tahunan sebesar US$ 14.129.333 sampai masa kontrak selesai.
Perlu diingat bahwa pendapatan yang diterima di muka merupakan rekening kewajiban/utang, bukan pendapatan. Nyatanya, Mahata belum membayarkan kompensasi tersebut sehingga angka tersebut bahkan tidak dapat diakui sebagai kewajiban, apalagi pendapatan. Manajemen Garuda harus menjelaskan masalah ini secara rinci dan jujur sebelum masalah ini membesar dan publik menilai bahwa Garuda telah melakukan aggressive accounting.