Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Korupsi dan Budaya Wani Pira

BANYAK berita menyesakkan akhir-akhir ini. Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Wahid Husein dengan sejumlah uang yang diduga suap jual-beli fasilitas penjara kepada narapidana korupsi.

4 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
KPK Seleksi Lima Calon Direktur Penyidikan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK berita menyesakkan akhir-akhir ini. Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Wahid Husein dengan sejumlah uang yang diduga suap jual-beli fasilitas penjara kepada narapidana korupsi. Selain itu, KPK menangkap Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, juga bersama uang yang diduga suap dana otonomi khusus yang diperkirakan bocor ke mana-mana. Dalam setengah tahun, KPK sudah menangkap lebih dari sepuluh pejabat setingkat gubernur dan bupati/wali kota, juga penegak hukum di republik ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika melihat berita-berita tersebut, agaknya seorang pejabat tinggal bilang kepada siapa saja yang ingin mendapatkan fasilitas dengan cara menyuap. Dalam khazanah ungkapan Jawa, pejabat ini tinggal bertanya: "Wani pira? (Berani bayar berapa?)" Jika ditarik ke tingkat akar rumput, budaya ini kelihatannya sudah muncul ketika kita membaca berita tentang orang tua yang menyalahgunakan permohonan surat keterangan tidak mampu (SKTM) untuk mendapatkan slot masuk ke sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas negeri bagi anaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penerbitan surat keterangan ini merupakan kebijakan penguatan (affirmative policy) bagi siswa miskin yang nilai ujian akhirnya rendah agar tetap memperoleh fasilitas pendidikan yang relatif baik di sekolah-sekolah negeri. Ternyata begitu banyak orang tua siswa tidak miskin yang meminta SKTM. Situasi menjadi rumit karena banyak kepala desa dan lurah yang melayani permintaan SKTM dengan memasang tarif. Kata kuncinya sama: "Wani pira?"

Elitisme Sistem Pemilihan Presiden

SAAT ini, bola panas tentang Pemilihan Umum 2019 sedang berada di tangan Mahkamah Konstitusi. Pokok soalnya adalah peraturan presidential threshold yang oleh Undang-Undang Pemilu diatur sedemikian ketat: hanya partai atau gabungan partai yang memiliki 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen suara sah nasional yang bisa mengajukan calon presiden. Ketentuan ini jelas tetap membuka peluang oligarki dan budaya wani pira dalam pencalonan presiden.

Melihat elektabilitas Joko Widodo yang masih tinggi, kemungkinan besar pencalonan tidak banyak berubah dibanding peta pemilihan 2014. Sistem presidential threshold ketika itu menciptakan "pencapresan elitis" yang dampaknya sangat detrimental terhadap konstituen, membelah masyarakat menjadi dua kubu: pendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, yang dicalonkan PDIP, NasDem, PKB, serta Hanura; dan pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang dicalonkan Gerindra, Golkar, PKS, PPP, serta PAN. Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta dan sebagian pilkada serentak 2018 yang baru saja berjalan juga terpengaruh oleh terbelahnya konstituen akibat pemilihan presiden 2014.

Tingginya elektabilitas Jokowi ini bukan pertanda baik bagi demokrasi. Sebagian pesaing Jokowi akan ngeper, kecuali kalau ada calon yang tetap melihat pencalonan presiden sebagai modal untuk pemilu berikutnya yang ingin merugi secara materiil atau dipermalukan secara politik. Sejauh ini, pendukung Jokowi dan non-Jokowi belum mengumumkan calon wakil presiden. Sebelum semua kartu lawan terbuka, kedua kubu akan tetap menunggu hingga 10 Agustus 2018, batas akhir pengumuman pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum. Yang tampak dari amatan publik tetap hanya dua kubu. Bahkan dari Demokrat, yang mengklaim tidak mengikuti salah satu kubu, yang terdengar hanyalah mencalonkan Jusuf Kalla dan Agus Harimurti Yudhoyono, sebuah alternatif yang disikapi secara skeptis karena dianggap kartu mati.

Kemungkinan lain, jika elektabilitas Jokowi terlalu perkasa, Pemilu 2019 akan menjadi tertawaan dunia internasional: Jokowi harus melawan kotak kosong. Bisa juga muncul calon alternatif yang lemah, tapi itu tentu merupakan hasil patgulipat wani pira antara tim sukses Jokowi dan calon "ayam sayur" yang siap disembelih.

Membongkar presidential threshold akan memunculkan pasangan calon presiden-wakil presiden alternatif melalui jalur poros ketiga, atau lewat jalur independen. Jika hal ini terjadi, situasi akan berubah. Kita akan terhindar dari kecenderungan dikotomi dalam sistem pemilihan presiden yang berakibat sangat buruk bagi kedamaian dan persatuan bangsa Indonesia. Warganet sudah kenyang dengan perang hoaks, kampanye hitam, dan bentuk-bentuk intimidasi psikologis antarpendukung calon presiden. Iklim kontestasi politik yang dikotomis ini juga melahirkan begundal, pekerja perang cyber, dan lembaga-lembaga survei abal-abal yang menjual omong kosong mereka.

Jika presidential threshold ditiadakan, atau setidaknya dikurangi, semua partai (lama dan baru) tidak akan kehilangan hak konstitusional mengajukan pasangan calon. Transaksi dagang sapi bisa dihindari, persaingan dikotomis atau kemungkinan Jokowi melawan kotak kosong bisa dicegah, oligarki bisa dikikis, dan masih ada sederet manfaat lain bagi kedewasaan demokrasi di Indonesia. Namun, dengan kepentingan elite partai politik yang punya sumber keuangan bak sumur tanpa dasar, godaan bagi hakim Mahkamah Konstitusi untuk meraih materi dan kekuasaan dengan taktik wani pira akan tetap besar. Mampukah para hakim konstitusi menahan godaan itu?

Semua Melawan Satu

JAWABAN atas semua persoalan tentang sindrom wani pira dalam jangka panjang sebenarnya ada di setiap individu dan keluarga sebagai unit terkecil pembentuk bangsa Indonesia. Semua mesti menyadari betapa berbahayanya sindrom ini buat kemajuan bangsa secara berkelanjutan. Strategi yang harus diterapkan adalah all for one (semua melawan satu). Semua pihak harus bersatu-padu untuk satu tujuan, yakni melawan penyakit yang kita percayai sebagai kejahatan luar biasa ini.

Untuk itu, barangkali kita bisa belajar dari bagaimana bangsa-bangsa lain melawan sindrom tersebut, baik di kancah politik nasional maupun di tingkat akar rumput. Di Amerika Serikat pada 1930-an, ketika rakyat dicengkeram oleh kejahatan terorganisasi di bawah gembong mafia Al Capone, satu-satunya cara yang dapat mengakhirinya adalah inisiatif Eliot Ness, seorang polisi, membentuk satuan antikorupsi karena sistem politik sudah bobrok dan semua orang bisa disuap oleh kaki tangan Al Capone. Gerakan tim yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan The Untouchables itulah yang berhasil membebaskan rakyat dari cengkeraman penyakit suap-menyuap dan korupsi yang sistematis.

Di Hong Kong, momentum pemberantasan korupsi bermula dari terbentuknya Independent Commission Against Corruption (ICAC) pada 1974. Ketika itu, Peter F. Godber, yang merupakan kepala inspektur kepolisian, terbukti melakukan korupsi dari berbagai sumber hingga kekayaannya mencapai HK$ 4,3 juta. Upaya mengadili Godber dihalangi dengan berbagai cara oleh korps kepolisian karena mereka banyak mendapat keuntungan dari kerja sama terselubung dengan Triad, mafia Hong Kong.

Rakyat Hong Kong sengit melawan sistem yang korup dalam kepolisian itu dengan dukungan kepemimpinan Gubernur Murray MacLehose yang konsisten. Unjuk rasa terbuka dan tulisan opini yang menguatkan pemberantasan korupsi terus ditunjukkan masyarakat. Berhadapan dengan polisi yang korup di jalanan, masyarakat tak mau lagi berkompromi dan tidak ada lagi kerja sama yang mengarah ke transaksi korup. Perlawanan yang konsisten itu akhirnya membuahkan hasil. Godber, yang sudah melarikan diri ke luar negeri, bisa dipulangkan melalui ekstradisi oleh ICAC untuk kemudian diadili dan dijatuhi hukuman yang setimpal. Setelah itu, sistem pemerintahan yang korup dengan kejahatan terorganisasi Triad di Hong Kong bisa diberantas hingga tuntas.

Pengalaman di Amerika Serikat pada 1930-an atau di Hong Kong pada 1970-an menunjukkan betapa pentingnya ideologi antikorupsi, gerakan "semua melawan satu". Sikap dan dukungan masyarakat tidak cukup lagi sekadar berupa cemoohan (public disdain), tapi harus menjadi gerakan perlawanan menyeluruh (public resistance) terhadap segala bentuk suap dan korupsi. Pemilihan presiden 2019 bisa dijadikan momentum awal untuk membebaskan bangsa ini dari penyakit yang disebabkan oleh budaya wani pira, dan dalam jangka panjang penyakit korupsi sistemik. Inilah tugas mulia yang harus diemban setiap individu, konstituen; setiap keluarga; setiap elemen bangsa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus