Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ketua Komisi Pemilihan Umum

Arief Budiman: Kami Sempat Merasa Sendirian

4 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Arief Budiman: Kami Sempat Merasa Sendirian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMISI Pemilihan Umum memasuki lembar kerja baru. Mulai akhir pekan lalu sampai Jumat, 10 Agustus 2018, mereka menerima pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. Bulan depan, kontestan pemilihan presiden 2019 tersebut akan ditetapkan dan proses dilanjutkan ke masa kampanye.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun KPU menapaki babak baru itu dengan beban lama. Mereka menuai kritik setelah pada akhir Juni lalu merilis Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang mantan narapidana kasus korupsi mendaftar sebagai calon anggota legislatif. Sebab, Undang-Undang Pemilihan Umum tidak sedikit pun menyinggung soal ketentuan itu. Undang-undang ini hanya melarang mantan napi korupsi menjadi calon presiden dan wakil presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua KPU Arief Budiman mengatakan pembuatan aturan itu didasarkan pada banyaknya calon kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPU merasa diperlukan penyaringan calon legislator pada pemilu mendatang. Menurut dia, semangat antikorupsi itu awalnya didukung banyak kalangan. Namun, saat gagasan tersebut dituangkan dalam peraturan KPU, banyak yang tak setuju. "Semua mengatakan ’tidak’, sementara KPU mengatakan ’ya’," kata mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur itu kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Belum selesai perdebatan itu, KPU tersandung masalah dengan Partai Bulan Bintang, yang mereka anggap terlambat menyerahkan berkas pendaftaran calon legislator, pertengahan bulan lalu. Sengketa ini baru selesai lewat mediasi di Badan Pengawas Pemilihan Umum, pekan lalu.

Di tengah kesibukannya menyiapkan tahap pendaftaran calon presiden dan wakil presiden serta verifikasi perbaikan berkas calon legislator, dengan suara bindeng dan kerap batuk, Arief, 44 tahun, menerima wartawan Tempo Reza Maulana dan Angelina Anjar untuk wawancara khusus di kantor KPU, Jakarta Pusat.

Apa antisipasi Komisi Pemilihan Umum jika kontestan pemilihan presiden baru mendaftar di menit-menit akhir?

Kami mengingatkan kembali agar jangan mendaftar pada hari terakhir. Dengan begitu, kalau ada problem yang harus diselesaikan, masih ada waktu. Misalnya ada kekurangan tanda tangan koalisi partai atau jumlah dokumen, ada problem keabsahan dokumen, bisa diperbaiki. Kalau tidak bisa mendaftar lebih awal, saya menyarankan partai-partai yang akan mengusungnya menyiapkan semua dokumen calon secara lengkap dan sudah dikonsultasikan dengan KPU. Jadi, kapan pun calon itu didaftarkan di hari terakhir, dokumennya sudah beres.

Bagaimana jika hingga melewati tenggat 10 Agustus hanya ada satu bakal pasangan calon?

Menurut undang-undang, tahap pendaftaran akan diperpanjang 2 x 7 hari. Kalau setelah itu bakal pasangan calon tetap satu, ya sudah, undang-undang mengatakan kita mesti jalan dengan hanya satu calon.

Melawan kotak kosong?

Ya, seperti saat pemilihan kepala daerah.

KPU membuat peraturan yang melarang mantan narapidana kasus korupsi mendaftar sebagai calon legislator. Apa dasarnya?

Sebetulnya itu kegelisahan bersama, ketika banyak calon kepala daerah dalam pilkada 2015, 2017, dan 2018 terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi. KPU pun diberi masukan, diminta mengakomodasi, "Sudahlah, kalau tertangkap seperti itu, diganti saja."

Siapa yang memberi masukan itu?

Banyak pihak. Tapi kan tidak bisa. Regulasi KPU jelas: kalau masih tersangka, dia tetap sah menjadi calon kepala daerah. Akhirnya saya mengusulkan calon yang terkena OTT, walaupun masih berstatus tersangka, didiskualifikasi. Tapi tidak ada yang mau.

Siapa yang menolak ide itu?

Ha-ha-ha…. Banyak, dari partai-partai juga. Nah, supaya hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi, KPU berpikir mengantisipasinya sejak awal. Kami pun melihat regulasi. Ternyata, dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, bandar narkoba dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak tidak boleh ikut. Dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden, hanya calon presiden yang tidak boleh pernah melakukan tindak pidana korupsi. Syarat seperti itu tidak ada untuk calon anggota DPD, DPR, dan DPRD. Karena menurut kami mereka akan menjadi rekan kerja presiden dan kepala daerah, semestinya direkrut dengan cara yang setara. Akhirnya, kami menggabungkan klausul dua undang-undang itu dalam peraturan KPU.

Peraturan itu pernah didiskusikan secara eksternal?

Ketika ide penyaringan ini dilontarkan, semua pihak setuju dengan substansinya, termasuk partai-partai, pemerintah, dan Bawaslu. Tapi terjadi perdebatan ketika sampai pada penyaringan di tingkat mana. Ada yang mengatakan harus lewat undang-undang. KPU setuju dengan Undang-Undang Pemilu. Tapi, karena waktunya tidak cukup dan tahap pemilu sudah berjalan, KPU menyarankan diatur dalam peraturan KPU.

Praktik seperti ini pernah KPU lakukan?

Soal pencalonan kepala daerah dalam pilkada 2015 oleh partai dengan kepengurusan ganda, kami membuat peraturan KPU yang menyebutkan mereka bisa mengajukan calon asalkan kedua kubu memberikan tanda tangan. Saat itu tidak ada undang-undang yang mengatur hal tersebut. Kalau kami keukeuh dengan undang-undang yang berlaku saat itu, partai dengan kepengurusan ganda tidak bisa mengajukan calon. Nah, peraturan KPU ini akhirnya diadopsi ketika undang-undangnya direvisi. KPU juga berdiskusi dengan para ahli hukum. Mereka mengatakan boleh dan bisa.

Penentang aturan itu berargumen para narapidana korupsi telah menjalani hukuman dan memiliki hak politik yang dilindungi undang-undang.

Banyak pihak protes, "Saya sudah dihukum." Saya menghormati itu dan meyakini orang itu bisa menjadi baik kembali. Tapi saya ingin mengingatkan generasi yang akan datang bahwa kalau Anda melakukan korupsi, Anda tidak bisa maju sebagai wakil rakyat. Kami ingin mewariskan hal baik untuk generasi yang akan datang. Lagi pula, secara substansi, semua pihak setuju soal ide penyaringan itu.

Tapi aturan itu kan tidak ada dalam Undang-Undang Pemilu?

Undang-undang tidak mengaturnya. Maka KPU mengatur secara teknis dalam peraturan KPU.

Bawaslu serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ikut mengkritik KPU soal peraturan itu. Tanggapan Anda?

He-he-he…. KPU sempat merasa sendirian. Dalam forum-forum formal, semua mengatakan "tidak", sementara KPU mengatakan "ya". Saya sempat merasa, kok, saya sendirian, ya? Tapi kemudian saya yakin KPU tidak sendirian karena banyak yang mendukung kami untuk menyuarakan ini, baik masyarakat maupun aktivis partai.

Anda mengatakan banyak mendapat tekanan saat membuat peraturan itu....

Memang, banyak yang tidak setuju. Saat rapat konsultasi dengan DPR, fraksi-fraksi yang ada di situ semua menolak. Bukan menolak substansi, tapi cara mengaturnya. Mereka mau itu diatur dalam undang-undang.

Mungkinkah ada mekanisme lain, misalnya memberi tanda di foto calon legislator mantan napi korupsi?

Semuanya mungkin, termasuk usul itu. Tapi apakah masyarakat siap hanya dengan tanda seperti itu? Faktanya, orang yang sudah ditahan saja bisa menang. Orang yang sudah dipidana, dilantik di penjara. Kami berpandangan masyarakat belum siap dilepas seperti itu.

Bagaimana KPU memastikan peraturan ini membuat daftar calon legislator bebas dari mantan napi korupsi?

KPU tidak mempunyai kemampuan super. Bisa saja ada yang luput. Jumlah calon legislator se-Indonesia sekitar 300 ribu orang. Padahal kursi yang diperebutkan hanya 20 ribu.

Bawaslu menyebutkan ada 202 mantan napi korupsi yang maju di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Berapa jumlah mereka versi KPU?

Kami masih dalam tahap verifikasi. Saya sudah meminta datanya dikumpulkan, tapi belum rampung.

Anda meminta data dari KPK?

KPK sudah mengirim kepada kami. Ada sekitar 500 orang yang pernah dipidana KPK sejak 2006.

Dari Mahkamah Agung juga?

Saya belum dikirimi datanya.

Dengan larangan eks napi kasus korupsi mencalonkan diri, berapa bakal calon legislator yang tidak bisa maju?

Saya belum menghitung. Nanti, saat pengumuman daftar calon sementara, 12 Agustus, baru kita bisa tahu.

Pencoretan mantan napi korupsi itu berpeluang menuai protes. Apa persiapan KPU?

Setiap saat KPU bisa diprotes. Setiap saat orang bisa mengajukan keberatan, dan undang-undang memberi ruang untuk itu. KPU sadar betul bahwa apa yang kami kerjakan harus bisa kami pertanggungjawabkan. Maka KPU bekerja dengan sangat hati-hati. Kalau ada perkara, alat bukti, seperti dokumen, harus siap.

Jika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan uji materi peraturan KPU tersebut, bisakah partai merevisi daftar calon legislatornya?

Sesuai dengan tahapan, tidak ada revisi lagi. Tapi, kalau itu perintah pengadilan, KPU akan menjalankannya. Kami akan lihat nanti, karena putusan bisa bermacam-macam.

Termasuk kemungkinan menganulir pencoretan mantan napi korupsi?

Dengan posisi sekarang, mereka tetap dicoret karena tidak ada putusan. Kalau ada putusan, tergantung isi putusannya. Misalnya diterapkan saat pemilu berikutnya, ya, itu diterapkan saat pemilu berikutnya. Bisa juga putusannya, misalnya, membatalkan peraturan KPU saja sehingga tidak berlaku ke belakang.

Putusan Mahkamah Konstitusi melarang pengurus partai mendaftar sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Sehari setelah itu, KPU bertemu dengan DPD. Apa yang dibahas?

Mereka menanyakan implementasi putusan itu. KPU menjelaskan, kami akan menjalankan apa pun putusan MK.

Benarkah ada lobi dari DPD agar putusan itu baru diberlakukan pada Pemilu 2024?

Tafsir-tafsir seperti itu ada. Orang boleh berpendapat apa saja. Tapi KPU sudah memutuskan bahwa ini dilaksanakan pada Pemilu 2019. Ada yang tidak setuju, itu biasa. Setiap kebijakan pasti memunculkan pihak yang setuju dan tidak setuju.
nnn

Mengapa KPU menolak sebagian besar berkas perbaikan bakal calon legislator Partai Hanura?

Karena berkas perbaikannya tidak memenuhi syarat, kami kembalikan. Berkas yang kami pakai dalam verifikasi adalah berkas yang mereka serahkan saat pendaftaran. Itu akan kami sisir kembali. Kalau memenuhi syarat, dia menjadi calon.

Bukankah sudah ada kesimpulan bahwa hanya sembilan dari 575 bakal calon legislator Hanura yang memenuhi syarat?

Itu kesimpulan sementara, yang ditemukan saat pendaftaran. Belum final. Saat ini kami sudah masuk tahap verifikasi berkas perbaikan. Setelah verifikasi, bisa saja yang memenuhi syarat tetap sembilan. Bisa juga bertambah.

Apa bentuk kesimpulan sementara KPU atas berkas bakal calon anggota legislatif?

Ada tiga kemungkinan. Pertama, dinyatakan memenuhi syarat. Kedua, dinyatakan tidak memenuhi syarat, berarti calonnya harus diganti. Ketiga, dinyatakan belum memenuhi syarat. Untuk ini, ada dua opsi, yakni diperbaiki syaratnya supaya memenuhi atau diganti calonnya dengan yang baru.

Apa saja yang sering menjadi batu sandungan?

Soal ijazah dan surat keterangan sehat. Sebenarnya hanya problem administrasi. Ada ijazah yang hanya fotokopi, tidak ada legalisasinya. Kalau surat keterangan sehat, kemarin kami meminta lampiran hasil pemeriksaan kesehatan, ternyata tidak ada rumah sakit yang mau mengeluarkan karena tergolong data pribadi. Jadi KPU mengubah petunjuk teknis, tidak usah menyertakan lampiran. Sepanjang surat keterangan sehat itu sudah ditandatangani dokter dan dicap rumah sakit, dinyatakan memenuhi syarat.

Mediasi penyelesaian sengketa KPU dan Partai Bulan Bintang sempat panas. Apa pangkal persoalannya?

Saat pengajuan bakal caleg pada 17 Juli 2018, PBB menyerahkan daftar untuk 21 daerah pemilihan setelah melewati batas waktu pukul 00.00 WIB. Mereka menjelaskan berbagai macam situasi dan kondisinya, tapi kami putuskan tidak bisa melakukan pemeriksaan berkas karena sudah lewat tenggat. Berdasarkan ketentuan, kalau mereka tidak bisa menerima, boleh mengajukan sengketa. Maka disengketakanlah di Bawaslu. Tahap pertama adalah mediasi. Mediasi menyepakati KPU harus melakukan verifikasi terhadap daftar untuk 21 daerah pemilihan yang pendaftarannya terlambat itu.

KPU tidak mempermasalahkan lagi keterlambatan itu?

Ya, karena ada putusan mediasi.

Bukankah ada calon dari partai lain yang mendaftar setelah tenggat?

Enggak ada. Semua berkas masuk ke KPU sebelum atau pada pukul 00.00. Tapi ada beberapa bakal caleg yang berkasnya disempurnakan setelah tenggat itu. Misalnya pasang foto. Tapi berkasnya sudah ada di situ.

Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra mengatakan KPU tidak profesional karena hanya diwakili dua komisioner dalam mediasi. Mereka juga tidak membawa surat kuasa dan surat tugas….

Selama ini, kami tidak memakai surat kuasa atau surat tugas dalam mediasi. Kehadiran dua komisioner itu pun bukan atas kehendak sendiri, melainkan atas perintah rapat pleno.

Tidak semua komisioner wajib hadir dalam mediasi?

Tidak harus, karena pada saat yang bersamaan urusan kami banyak. Saat mediasi pertama, kami sedang ada rapat pleno. Saya tidak mungkin meninggalkan rapat pleno. Sebenarnya komisioner yang ditugasi saat itu tiga orang, Pak Hasyim Asy’ari, Pak Ilham Saputra, dan Bu Evi Novida Ginting Manik. Tapi, karena Pak Hasyim mesti mengikuti sidang di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, dia menyusul. Saat sudah berangkat ke sana, Pak Hasyim diberi tahu bahwa mediasi sudah selesai. Ya sudah, balik.

Yusril juga menyebutkan KPU sensitif terhadap PBB setelah tidak meloloskan PBB sebagai peserta Pemilu 2019….

KPU profesional dan bekerja berdasarkan regulasi. Lagi pula, apakah kalau kemarin kami menolak berkas berarti benci, lalu kalau sekarang kami memverifikasi berkas berarti sayang? Ha-ha-ha….
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus