Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Korupsi Haji Mengalir Jauh

2 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUGAAN korupsi penyelenggaraan haji dengan tersangka Menteri Agama Suryadharma Ali membongkar berbagai manipulasi pengelolaan bisnis berskala jumbo itu. Penyelewengan ditengarai membentang dari penggunaan dana setoran awal jemaah hingga pemilihan pemondokan di Tanah Suci. Yang menyedihkan, semua kecurangan yang menumpuk bertahun-tahun itu wajib dipikul pihak terlemah: jemaah haji.

Apa boleh buat, jutaan "tamu Allah" tak punya pilihan selain mengikuti aturan main Kementerian Agama yang sebenarnya merugikan. Mereka tak boleh menerima bunga atas setoran awal ongkos naik haji, walaupun setoran itu mengendap bertahun-tahun. Jemaah diimbau ikhlas menerima apa saja yang disediakan penyelenggara. Mereka yang memprotes dianggap "kurang lempang" niatnya. Sementara itu, jangankan melindungi jemaah, sejumlah pejabat Kementerian justru memanfaatkan lemahnya posisi jemaah demi meraup keuntungan pribadi.

Semua kericuhan ini bermula dari sistem kuota yang ditetapkan pemerintah Arab Saudi. Indonesia mendapat kuota terbanyak sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, tapi tetap saja jatah itu tak cukup. Salah satu penyebabnya, banyak muslim Indonesia pergi ke Tanah Suci berkali-kali, padahal Islam hanya mewajibkan umatnya berhaji sekali seumur hidup. Jemaah pun harus antre bertahun-tahun. Di Sulawesi Selatan, salah satu contohnya, orang harus menunggu 16 tahun.

Agar masuk daftar antre, jemaah wajib membayar setoran awal ke rekening Menteri Agama melalui berbagai bank. Mereka yang mendaftar pada 2009 atau sebelumnya membayar Rp 20 juta. Adapun yang antre setelah itu menyetor Rp 5 juta lebih mahal. Dengan 2,4 juta orang dalam daftar tunggu sejak 2004, dana setoran jemaah mencapai lebih dari Rp 84 triliun. Dengan bunga bank paling minimal, katakanlah empat persen setahun, bunga setahunnya lebih dari Rp 3 triliun. Dana itu aman? Ternyata, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan aneka aliran dana mencurigakan dari rekening itu.

Banyak penggunaan uang yang tidak berhubungan langsung dengan kepentingan jemaah. Contohnya pembuatan lapangan parkir, renovasi asrama haji, pembelian mebel, juga "peningkatan citra" yang semestinya dibiayai anggaran negara. Sejumlah pencairan dana bahkan dilakukan untuk kepentingan pribadi, seperti pembelian mobil oleh pegawai Kementerian. Pengelolaan dana ini jauh dari akuntabel dan transparan.

Aroma korupsi juga tercium dari daftar tunggu. Sekitar satu persen kuota atau 2.000 anggota jemaah setiap tahun biasanya batal berangkat ke Arab Saudi dengan berbagai alasan, misalnya meninggal. Kursi mereka ternyata tidak diisi anggota jemaah urutan berikutnya, tapi disabot pejabat dan konco-konconya. Komisi Pemberantasan Korupsi menuduh Menteri Suryadharma, antara lain, terlibat penyalahgunaan wewenang ini ketika mengusung rombongan besar keluarganya.

Praktek curang sampai ke Tanah Suci. Dengan sekitar dua juta orang dari seluruh dunia datang berhaji, pemondokan merupakan persoalan paling rumit. Dalam "kesempitan" itu, para pejabat menangguk kesempatan. Meskipun jemaah ditempatkan di lokasi yang berbeda-beda, tim Kementerian diduga memukul rata biaya pemondokan. Ditambah jumlah pemondokan yang digelembungkan, puluhan miliar rupiah ditengarai disedot dari pos ini.

Urusan pemondokan diduga juga melibatkan beberapa kelompok yang berkaitan dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sejumlah sumber menyebutkan mereka menerima pembagian "jatah" dari tahun ke tahun. Ini merupakan penyelewengan lain yang dilakukan pihak di luar Kementerian Agama. Korbannya, lagi-lagi, jemaah haji.

Manipulasi haji sebenarnya terdengar setiap musim haji. Tapi "penyelewengan laten" itu baru menarik perhatian orang setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Menteri Suryadharma sebagai tersangka-menteri aktif kedua Kabinet Indonesia Bersatu II, setelah Andi Mallarangeng, yang menyandang predikat itu.

Kasus ini memberi pelajaran penting: Kementerian Agama tak lagi patut mengurus pekerjaan besar setiap tahun itu. Pemerintah semestinya segera membentuk lembaga khusus haji, bisa saja setingkat badan usaha milik negara. Keuangan lembaga itu mesti dikontrol Kementerian Keuangan. Lembaga khusus haji itu perlu diberi kewenangan mengelola keuangan jemaah secara transparan, yang manfaatnya dikembalikan kepada jemaah untuk meringankan ongkos berhaji.

Persoalan teknis, dari pemondokan sampai transportasi, semestinya juga diurus lembaga khusus haji itu. Kementerian Agama-kalau masih dipertahankan pada pemerintahan mendatang-bisa mengurus soal di luar ibadah haji. Lewat lembaga khusus itu, pemerintah berkesempatan melayani jemaah haji dengan lebih baik. Memanipulasi kepasrahan jemaah haji, untuk meraup keuntungan pribadi, sungguh merupakan perbuatan keji.

Berita terkait klik Disini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus