Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun keduanya bisa dilakukan sekaligus pada pemerintahan saat ini. Persoalan data komoditas pangan seolah-olah tak pernah bisa diselesaikan.
Kementerian Pertanian tidak pernah memiliki data sahih soal luas lahan, produksi, pasokan, serta permintaan produk pertanian dan peternakan. Walhasil, kisruh terjadi pada data beras, bawang putih, hingga daging jeroan. Muaranya, tentu saja, perlu-tidaknya impor—sesuatu yang dianggap haram dalam narasi ”nasionalisme” pemerintah.
Simpang-siur data komoditas jagung adalah kisruh terakhir. Di tengah klaim Kementerian Pertanian bahwa terdapat surplus 12,98 juta ton, pemerintah justru membuka keran impor sebanyak 100 ribu ton komoditas itu pada awal bulan ini.
Kementerian Pertanian berdalih keputusan impor diambil dalam rapat koordinasi terbatas di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian. Saat itu harga jagung sudah menyentuh Rp 5.200 per kilogram, jauh di atas harga acuan Rp 4.000 per kilogram. Belakangan, terungkap permintaan impor justru datang dari Menteri Pertanian Amran Sulaiman.
Tak mengherankan jika banyak pihak mempertanyakan klaim surplus jagung dari Menteri Amran. Kementerian Pertanian menyatakan angka itu diperoleh setelah menghitung jumlah produksi tahun ini sebesar 28,48 juta ton dan kebutuhan sebanyak 15,5 juta ton. Klaim ini ternyata jauh panggang dari api. Fakta di lapangan menunjukkan pasokan jagung ke pasar-pasar seret sehingga harga meroket. Melonjaknya harga jagung berimbas pada kenaikan harga pakan ternak.
Tudingan bahwa perusahaan pakan ternak menimbun jagung di gudang mereka sebagai penyebab melonjaknya harga tak berdasar. Sebab, kapasitas gudang pabrik pakan ternak besar, yang mencapai 1,6 juta ton untuk menyimpan stok dua bulan, tidak akan cukup menampung seluruh surplus yang diklaim Kementerian Pertanian. Jumlah surplus 13 juta ton itu setara dengan tiga kali kapasitas gudang Bulog. Belakangan, Kementerian Pertanian berdalih persoalan distribusi menjadi biang kerok kelangkaan.
Untuk memutus rantai distribusi, Kementerian Pertanian menyalurkan 12 ribu ton jagung ke sentra peternak ayam di Jawa. Dengan penyaluran itu, Amran ingin menjawab bahwa ketersediaan pakan jagung cukup untuk memenuhi kebutuhan peternak lokal. Jagung itu rupanya berasal dari hasil pinjaman PT Japfa Comfeed Indonesia dan Charoen Pokphand. Bulog harus mengembalikan stok tersebut setelah jagung yang diimpornya datang. Penyaluran jagung pinjaman ini tidak akan menyelesaikan akar persoalan.
Yang semestinya menjadi prioritas adalah ketersediaan pa-sokan dengan harga terjangkau. Dengan pilihan itu, kita tidak perlu tabu menjadikan impor sebagai instrumen untuk mengamankan pa-sokan dan meredam gejolak harga. Pemerintah tidak boleh mengabaikan prinsip ekonomi karena Indonesia berada dalam sebuah sistem ekonomi terbuka.
Kekacauan kebijakan jagung, yang disertai saling tuding antar-kementerian dan pelaku usaha, tidak perlu terjadi bila Kementerian Pertanian berterus terang soal data jagung. Sudah lama Amran dikenal sebagai menteri yang sulit berkoordinasi dengan koleganya di pemerintahan. Ia kerap tidak hadir dalam rapat di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian. Amran bahkan absen dalam rapat sinkronisasi data beras di kantor Wakil Presiden bulan lalu. Lemahnya koordinasi itu memperparah ketidakjelasan arah kebijakan pemerintah di sektor pangan. Presiden Joko Widodo semestinya membereskan urusan manajemen pemerintahan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo