Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Berita Tempo Plus

KPK di Ujung Tanduk

28 September 2009 | 00.00 WIB

KPK di Ujung Tanduk
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UPAYA pemberantasan korupsi di Indonesia sedang di ujung tanduk. Tiga pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi telah dijadikan tersangka oleh polisi. Sang ketua, Antasari Azhar, bahkan sudah ditahan hampir tiga bulan. Dua yang lain, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dinyatakan sebagai tersangka pada Selasa malam dua pekan lalu.

Berbeda dengan kasus Antasari, tuduhan terhadap kedua pemimpin KPK ini segera memicu protes, terutama dari para aktivis antikorupsi dan pakar hukum. Sangkaan yang dibuat polisi—penyalahgunaan wewenang pencekalan dan pencabutan cekal dua buron kasus korupsi, Joko Tjandra dan Anggoro—terkesan mengada-ada. Kasus Anggoro sedang diproses KPK, sedangkan Joko Tjandra sudah mendapat hukuman dari Mahkamah Agung.

Jadi, mengapa polisi terkesan membela koruptor? Sebagian masyarakat menduga karena Komisaris Jenderal Susno Duadji khawatir akan ditangkap KPK, lalu menggunakan wewenangnya mendahului memperkarakan pimpinan KPK. Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI ini memang diberitakan tersadap KPK saat berkomunikasi dengan telepon sakunya, yang mengindikasikan dugaan keterlibatannya dalam soal patgulipat pencairan dana Bank Century.

Di tengah pertempuran pernyataan ini tiba-tiba muncul testimoni Antasari Azhar yang mengaku telah bertemu Anggoro di Singapura untuk mendengarkan pengakuannya tentang penyuapannya terhadap pimpinan KPK. Namun penyidikan polisi hanya bisa menunjukkan adanya penyerahan dana kepada seorang broker. Ini mengindikasikan tertipunya Anggoro oleh broker yang telah memberikan surat palsu pencabutan pencekalan.

Kini polisi mencari dalil lain untuk menjadikan Bibit dan Chandra tersangka. Proses cekal dan pencabutan cekal itu dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang, walaupun sesuai dengan aturan internal KPK. Polisi berkilah, aturan itu melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Banyak pakar hukum menganggap polisi tak berwenang menilai aturan internal KPK. Itu wilayah pengadilan tata usaha negara.

Pemberian status tersangka memang jadi masalah krusial. Khusus untuk lima orang pemimpin KPK, undang-undang menyatakan: pimpinan berstatus tersangka harus nonaktif dari jabatannya.

Presiden Yudhoyono rupanya menganggap situasi sudah genting dan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk mengangkat pimpinan sementara KPK. Melalui keputusan presiden, ia menunjuk lima tokoh untuk menyeleksi tiga calon pemimpin itu dalam satu minggu.

Perpu ini menuai kritik. Apakah keadaan sudah benar-benar genting sehingga perpu diterbitkan. Ada kesan bahwa Presiden Yudhoyono berpihak kepada polisi dalam perseteruan antara dua instansi hukum ini. Tanpa menonaktifkan Jenderal Susno Duadji, sulit menghindari kesan bahwa telah terjadi benturan kepentingan dalam penyidikan Bibit dan Chandra. Penyidik Markas Besar Polri secara struktural anak buah Kepala Badan Reserse Kriminal.

Pendapat boleh nyaring menyalak, tapi perpu dan keppres sudah telanjur dibuat. Pada 1 Oktober nanti, Dewan Perwakilan Rakyat yang akan dilantik akan menentukan apakah perpu ini diterima atau ditolak, sedangkan Tim Lima harus menyerahkan tiga nama itu kepada Presiden. Apa yang dapat dilakukan agar pemberantasan korupsi di republik ini tak mengalami kemunduran tapi justru semakin kuat?

Presiden Yudhoyono, yang naik ke jabatannya dengan platform antikorupsi, akan punya peran menentukan ketika menerima laporan Tim Lima nanti. Presiden akan dinilai berniat melemahkan KPK jika ia langsung mengangkat tiga pemimpin sementara KPK tanpa memperbaiki benturan kepentingan itu.

Sebaliknya, Presiden akan tetap dipandang serius dalam membersihkan KKN jika ia memutuskan dengan lebih bijak: mengangkat satu pemimpin sementara saja dulu sebagai pengganti Antasari Azhar—diperkirakan akan menjadi terdakwa bulan ini, sehingga harus diberhentikan. Dua nama lain sebaiknya disimpan dulu hingga ada kejelasan apakah polisi memang berwenang menilai aturan internal KPK. Dan untuk memastikan tak ada penyalahgunaan wewenang, Susno Duadji harus dinonaktifkan dulu sampai kasus ini tuntas.

Bila Presiden Yudhoyono mencermati perkembangan upaya pemberantasan korupsi di berbagai belahan bumi —global benchmarking—ia akan melihat benturan polisi versus lembaga antikorupsi sebagai bagian tak terelakkan. Dan sikap pemerintah dalam menghadapi benturan ini bakal menentukan sukses-gagalnya upaya ini.

Ketika lembaga independen antikorupsi Hong Kong, ICAC, mulai bekerja pada 1970-an, polisi melawan dan melakukan pemogokan nasional. Namun pemerintah berdiri di pihak ICAC. Hasilnya, kawasan yang empat dekade silam merupakan sarang koruptor itu kini menjadi salah satu tempat paling bersih dari korupsi.

Sebaliknya, dukungan setengah hati terhadap lembaga antikorupsi di Kenya menyebabkan sang ketua, John Githongo, mengundurkan diri, hidup di pengasingan di London sejak awal 2005, dan Kenya kembali terpuruk dalam lumpur korupsi.

Bagaimana dengan Indonesia? Jawabnya bergantung pada sikap pemerintah SBY menghadapi kemelut cecak lawan buaya. Upaya pemberantasan korupsi di negeri ini memang sedang berada di ujung tanduk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus