Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 6 Juli lalu saya berkunjung ke Yogyakarta dan menemukan sebuah peringatan: ”Jangan anggap enteng krisis energi!”
Masa itu adalah hari-hari awal kelangkaan BBM di Kota Gudeg. Di sejumlah stasiun pompa bensin sepanjang jalan antara bandara dan sebuah hotel agak di pinggir kota, antrean mengular. Mobil dan motor membaur dengan wajah-wajah tak puas, cenderung marah, para pe-nge-mudi dan penumpangnya.
Yogyakarta tak sendirian. Melalui televisi, kita saksikan adegan antrean demi antrean di banyak tempat di Indonesian hingga hari-hari ini. Antrean juga tak hanya menyemut di seputar stasiun pompa bensin, melainkan juga (dan terutama) di tempat-tempat penjualan minyak tanah di berba-gai pelosok.
Kelangkaan BBM memang terjadi secara cukup menye-lu-ruh. Menjadi masalah buat siapa saja, melintasi batas ke-las maupun golongan. Antrean demi antrean ini pun sebe-narnya menggarisbawahi sebuah peringatan keras: krisis ener-gi, apalagi jika berkelanjutan, bisa menjadi ibu kan-dung dari massa politik yang padat!
Krisis energi secara serta-merta memproduksi massa di ja-lanan. Mereka berkendaraan mobil atau motor atau ber-ja-lan kaki menenteng jeriken, menyemut di seputar stasiun pompa bensin. Mereka bergerombol dalam jumlah be-sar di seputar pusat penjualan minyak tanah. Berbeda de-ngan massa politik umumnya, mereka tak cair, melainkan padat.
Pada umumnya, dengan mengecualikan beberapa kasus, yang kita miliki sejak krisis delapan tahun lampau ada-lah massa politik cair. Mereka sebetulnya tak disatukan secara kuat oleh kesadaran dan kepentingan inhe-ren mereka sen-diri. Kadang-kadang mereka digerakkan ha-nya oleh isu-isu abstrak. Pertautan emosional mereka de-ngan kolektivitas massa di sekitar mereka sangat bera-gam dan dinamis. Mereka cair: mengalir, bisa mengecil atau mem-bengkak. Tingkat kesadaran setiap orang di dalamnya juga bertingkat-tingkat, bervariasi, tak solid. Pokok-nya, cair.
Massa politik cair pada dasarnya tidak atau kurang ber-ba-haya. Mereka adalah kerumunan, bukan barisan. Mere-ka sekadar mampu meluapkan ”kemarahan”: sesuatu yang emosional, nir-agenda, berjangka pendek, dan radika-lis-me-nya gampang dibunuh oleh iming-iming hadiah hiburan. Me-reka tak sedang menggerakkan ”perlawanan”: sesuatu yang rasional, beragenda, berjangka panjang, dengan radi-ka-lisme yang tak mudah ditumpulkan. Massa politik cair pun sekadar mampu meneriakkan revolusi, tetapi sejati-nya tak mampu menggerakkan revolusi.
Itulah potret umum massa politik kita. Celakanya, bukan massa semacam itulah yang potensial dilahirkan oleh kri-sis energi. Lihat dan perhatikanlah para pengantre itu de-ngan saksama. Mereka turun ke jalan—sementara ini ba-ru secara harfiah dan belum politik—untuk memperjuang-kan kepentingan mereka sendiri. Mereka bergerak di atas kesadaran sendiri yang penuh. Mereka semacam prototipe true believer-s.
Selain padat, mereka pun tak perlu pengorganisasian. Ka--rena setiap orang berkepentingan, maka orang per orang pun mengorganisasi diri mereka sendiri. Mereka juga tak mengambang, tapi berpijak di bumi. Maka, stasiun pompa bensin dan tempat-tempat penjualan minyak tanah dengan mudah bisa menjadi lahan subur bagi politisasi mereka.
Mereka memang tak akan bisa melahirkan revolusi—karena semua infrastruktur revolusi memang tak tersedia. Tetapi, karena menghimpun true believers, daya ledak me-re-ka tinggi. Jika pemerintah tak mampu mengkomunikasi-kan dan mengatasi krisis energi secara layak, massa po-li-tik padat ini bisa mengembang, membesar, menyatu de-ngan massa politik yang masih pasif di rumah-rumah (yang juga menjadi korban kelangkaan energi). Ledakan po-litik yang bisa mereka hasilkan tak main-main.
Maka, mereka tak bisa kita pandang enteng. Jalan terbaik menghadapinya tentu saja mengatasi krisis ene-rgi segera. Celakanya, sumber krisis datang dari berbagai pen-juru angin:- pola dan peta konsumsi minyak dunia, lonjak-an harga yang menjadi konsekuensinya, ketergantungan Indonesia pada impor minyak, kekeliruan kita bergantung pada mi-nyak sebagai satu-satunya sumber energi utama, pola pem-borosan energi kita, dan kemiskinan finansial dan fiskal kita. Maka, mengatasi krisis energi jelas bukan perkara mudah, murah, sebentar, dan sederhana.
Menyadari ini, kita (termasuk dan terutama pemerintah) selayaknya menampilkan diri secara layak berhadap-an de-ngan krisis ini. Karena krisis ini begitu canggih, maka menghadapinya mesti canggih pula. Karena ia sebuah ”persoalan digital”, maka kita tak akan mampu ”mengatasinya secara manual”.
Celakanya, kesan saya, justru kecanggihan dan kesigap-an-digital itulah yang belum kita miliki. Benar, pemerin-tah telah melakukan sejumlah hal, dari membebaskan kuota distribusi BBM hingga membuat Inpres Hemat Ener-gi. Tetapi, langkah-langkah yang diambil, sejauh ini dalam beberapa hal terkesan artifisial, tidak komprehensif, belum menimbang berbagai dimensi persoalan yang saling berjalin berkelindan, dan lemah dalam hal pemasar-an kebijakan—sesuatu yang lebih menyeluruh dan mendasar ketimbang lemah sosialisasi dan komunikasi.
Jika semua kecenderungan itu berlanjut, kita pantas waswas bahwa krisis energi yang melanda kita saat ini sebetulnya hanya replika saja dari krisis lebih besar dan menyeluruh di bidang kebudayaan, politik, ekonomi, dan sosial yang tak pernah kita kelola secara layak. Yang langka bukan ha-nya energi, tapi juga kemampuan kemanusia-an kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo