Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Terpaksa Dipasung

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Irmansyah
  • Psikiater

    BELUM lama ini muncul berita di sebuah koran terbitan Ibu Kota: empat penderita gangguan jiwa di Kabupaten Serang, Banten, dipasung. Ada pula foto para penderita yang dijepit balok kayu besar. Sebagai berita mungkin tidak terlalu istimewa, tapi ini sebenarnya mencerminkan masalah besar. Bagaimanapun, pemasungan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Kenyataan itu juga mencerminkan buruknya pelayanan kesehatan mental dan nurani kita yang -semakin tumpul.

    Bayangkan, penderita dibiarkan berada di luar rumah tanpa perlindungan fisik. Mereka tersengat matahari pada siang hari, kehujanan, dan malamnya digerogoti nyamuk. Tak jarang penderita kemudian meninggal -da-lam pasungan seperti yang terjadi Bogor bulan lalu. Di Aceh, penderita ter-pasung meninggal sia-sia karena tidak bisa menyelamatkan diri saat tsunami me-nerjang.

    Pemasungan terjadi karena sebagi-an masyarakat menganggap pende-rita tidak bisa sembuh, berbahaya. Bahkan ada yang mengira penderita kemasukan makhluk a-sing dan telah menjadi bukan ma---nusia. Kemungkinan lain, pen---de-ri-ta di-pasung karena terpaksa. Ke----luarganya telah putus asa. Ini terka-it dengan masalah besar lain, yaitu tidak adanya pe-layanan kesehatan ji--wa yang menyentuh masyarakat ba-wah.

    Pelayanan kesehatan jiwa sekarang- ini hanya terpusat di rumah sa-kit jiwa yang umumnya terletak di ibu kota pro-vinsi. Orang- me--mer-lu-kan tenaga ekstra dan biaya yang ti-dak sedi-kit un-tuk mem--bawa penderita ke sana. Wajar jika pe--masungan merupakan solusi praktis yang dianggap tepat.

    Di puskesmas saat ini program kesehatan jiwa bukan-lah hal yang utama. Bahkan dalam struktur orga-nisasi di dinas-dinas kesehatan tingkat kabupaten dan provinsi tidak ada seksi khusus yang mengurus masalah ini. Akibatnya, tenaga kesehatan yang khusus untuk me--nangani masalah mental berkumpul di rumah sakit jiwa. Idealnya, rumah sakit jiwa memperluas jangkauan pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat.

    Sayang, rumah sakit jiwa pun sedang dirundung masalah. Kebijakan desentralisasi membuat kontrol atas ham-pir semua rumah sakit jiwa beralih ke pemerintah dae-rah. Celakanya, tidak semua pemda siap untuk me-ngem--bangkan program kesehatan jiwa di daerahnya. Tidak sedikit yang justru melihat areal rumah sakit ji--wa sebagai aset komersial. Ada juga yang kemudian me-ng--ubahnya menjadi rumah sakit umum karena me-ng----anggapnya lebih menguntungkan. Tugas pemerintah untuk memberi pelayanan kesehatan jiwa masyarakat jadinya terabaikan.

    Kerap kali pula posisi direktur rumah sakit jiwa di----isi bukan oleh orang yang ahli dalam masalah ke-se--hat-an jiwa masyarakat. Ini gara-gara penutupan kan--tor- wilayah di daerah yang membuat banyak orang ke-------hilangan jabatan. Dengan alasan direktur hanya men------jalankan fungsi manajerial, pemerintah daerah -bi-sa menunjuk siapa saja untuk memimpin rumah sakit jiwa.

    Suramnya pelayanan kesehatan jiwa mungkin terjadi ka-rena tidak adanya aturan yang bisa menjadi pedoman. Dulu kita punya Undang-Undang Kesehatan Jiwa yang seharusnya diperbaiki dan ditingkatkan mutunya. Tapi, alih-alih diperbaiki, UU ini ma-lah menghilang. Pasal-pasalnya di-masuk-kan ke dalam UU Kesehatan 1992. Sudah 13 tahun per--aturan pe-me--rintah tentang kesehat-an jiwa yang diamanatkan oleh UU Kesehatan tidak muncul. Mungkin sudah sa-at-nya kini melupakan PP tersebut dan memikirkan kembali keberadaan UU Kesehatan Jiwa. Tentu, isinya harus le-bih baik dan sesuai dengan tuntutan nyata masa kini.

    Bencana tsunami lebih membuka ma--ta kita tentang pentingnya sistem pe---layanan kesehatan jiwa masyarakat. Kita sangat kela-ba-k-an mengha-dapi gelombang trauma yang diderita ma-syarakat Aceh-Ni-as. Menurut Or-ga-nisasi Kesehatan Dunia (WHO), aki--bat bencana tsu-nami di Aceh dan Nias, sekitar 50 ribu orang mengalami problem men-tal yang se-rius dan membutuhkan layanan kesehatan jiwa. Karena meng---alami guncangan hebat, mere-ka menderita rangkaian masalah mental seperti kecemasan, depresi, dan berbagai stres traumatik lain.

    Dalam periode darurat, puluhan LSM lokal maupun inter-national telah membantu proses pemulihan mental ini. Namun, berbeda dengan masalah kesehatan fisik, kesehatan mental memerlukan penanganan yang jauh lebih lama. Masalah mental juga sangat erat terkait de-ngan budaya sehingga profesional asing yang berbeda budaya dan tidak bisa berbahasa setempat tidak dapat di-andalkan. Untuk menjamin kesinambungan diperlu-kan pelayanan yang terintegrasi dalam program peme-rintah serta bersumber pada kekuatan bangsa sendiri. Syukurlah, kini berbagai LSM dan lembaga pendi-dikan yang sangat peduli pada Aceh bersama WHO dan Departemen Kesehatan mulai membangun sistem pela-yanan kesehatan jiwa yang ideal. Kelak, ini bisa menjadi contoh untuk tingkat nasional.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus