Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Demokrasi tanpa Pranata?

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Smita Notosusanto
  • Peneliti Senior Centre for Electoral Reform (CETRO)

    Para pakar ilmu politik yang mendalami demokrasi sudah lama berdebat mengenai dua jenis demokrasi: demokrasi prosedural dan demokrasi substansi. Yang pertama hanya sebatas pada eksistensi pranata pemilu yang jujur dan adil, serta adanya pranata ketatanegaraan yang mencerminkan pembagian kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Yang kedua, atau demokrasi liberal, sepenuhnya melindungi hak-hak sipil, dan memiliki warga negara yang sepenuhnya sadar akan hak dan kewajibannya di sebuah negara demokrasi.

    Seperti juga konstruksi ilmiah lain, kedua klasifikasi ini merupakan klasifikasi teoretis atau abstrak yang diguna-kan oleh para pakar ilmu politik untuk dapat mempermudah analisis terhadap kecenderungan demokratisasi yang mulai muncul sejak awal abad ke-20. Kedua kategori dipertentangkan untuk dapat menunjukkan bentuk ideal demokrasi yang harus menjadi tujuan penggerak pro-demokrasi.

    Pada dasarnya demokrasi prosedural, yang sering dianggap sebagai simbolis belaka, dianggap sebagai bentuk demokrasi yang lebih buruk karena hanya merupa-kan demokrasi etalase dengan membentuk pranata-pranata kosong untuk memberi ilusi adanya demokrasi. Sedangkan tipe yang ideal adalah demokrasi liberal, yang sepenuhnya merupakan perwujudan dari bentuk demokrasi yang dici-t-a-citakan karena bukan hanya demokrasi “teflon”, tapi d-emokrasi yang sebenarnya.

    Pada kenyataannya, kedua kategori demokrasi tersebut sebenarnya ada dalam suatu kontinuum yang sama yang, menurut Ayesha Jalal, seorang ahli demokrasi dari India, sering kali di negara demokrasi baru, merupakan dua sisi dari mata uang yang sama, seperti yang terjadi di India dan Pakistan. Pendulum antara demokrasi prosedural ke d-emokrasi substantif atau sebaliknya bergoyang sesuai de-ng-an konteks sejarah negara dan konteks internasional yang ada. Akhir-akhir ini periode demokrasi “illiberal” menurut Fareed Zakaria sering juga dialami oleh negara-negara yang sudah mencapai demokrasi liberal, seperti AS setelah peristiwa 11 September 2002, yang mendorong negara untuk mengorbankan hak-hak sipil demi keamanan nasional. Jadi, demokrasi tidak pernah merupakan suatu kondisi ideal yang permanen yang dapat begitu saja dipajang di rak buku. Demokrasi harus diperjuangkan, dipelihara, dan mati-mati-an dipertahankan.

    Tantangan yang dihadapi oleh negara-negara yang masih dalam tahapan transisi menuju demokrasi, setelah sebelumnya berada pada sistem politik otoriter dalam waktu lama, berbeda konteks dengan tantangan yang dihadapi negara-negara yang berupaya memelihara atau mempertahan-kan demokrasi setelah mencapai tahapan pendalaman atau konsolidasi. Di negara transisi, sering kali proses jatuhnya rezim otoriter tidak sepenuhnya bersih sehingga kekuatan pro-demokrasi masih harus berhadapan dengan kekuatan status quo yang berupaya mempertahankan “ruang” otoriter dalam bentuk pranata-pranata rezim otoriter yang masih dipertahankan.

    Pranata ini tidak saja mengambil bentuk perangkat hukum yang melanggengkan sistem otoriter seperti dalam konstitusi dan undang-undang, tetapi juga melembaga dalam sistem nilai dan cara pandang warga negara yang sulit mengubah cara berpikir sebagai warga yang merdeka dan berdaulat. Negara transisi yang baru saja melepaskan diri dari sistem yang totaliter bahkan masih harus melalui proses pemerdekaan dari rasa takut yang begitu kuat ber-cokol dan sulit dihapus, terutama bila pranata-pranata impunitas masih berakar kuat.

    Proses transisi sering kali hanya merupakan proses suksesi dari kepemimpinan yang otoriter ke pemimpin dari luar sistem, tanpa proses perombakan pranata otoriter secara total. Akibatnya, kepemimpinan yang baru, yang bahkan berasal dari kalangan pro-demokrasi, dapat mengulang kembali metode otoriter masa lalu karena pranata yang ada memang masih pranata otoriter. Sangat naif bila beranggapan bahwa para pemimpin yang bermoral baik dalam kapasitasnya sebagai pejuang demokrasi akan dengan sendirinya dapat menjadi pemimpin yang demokratis bila mereka memegang tampuk kekuasaan di negara transisi yang masih mempertahankan pranata otoriter.

    Karena itu, perjuangan untuk menyusun pranata-pranata demokrasi merupakan salah satu langkah penting yang harus dilakukan pada masa transisi. Terbukanya jendela transisi ini sering kali begitu pendek sehingga para penggerak pro-demokrasi harus secepat mungkin meruntuhkan prana-ta lama yang otoriter dan sekaligus membangun pranata demokrasi yang baru. Upaya meruntuhkan pranata otoriter sembari membangun pranata demokratis bukan pekerjaan yang mudah. Sering kali para pegiat pro-demokrasi masih harus mengatasi masalah-masalah kapasitas akibat penindasan sistematis terhadap pegiat pro-demokrasi di masa otoriter. Itulah sebabnya, di negara-negara transisi abad ke-21, menurut Kevin Hewison, proses demokratisasi lebih merupakan proses pembangunan ruang-ruang demokratis di anta-ra konstruksi rumah otoriter. Padahal, idealnya, proses demokratisasi seharusnya merupakan proses membangun konstruksi rumah demokratis yang dapat diisi de-ngan berbagai substansi demokrasi seperti perlindungan hak-hak sipil di dalamnya.

    Proses pembangunan ruang-ruang demokratis ini tidak dapat dicampuradukkan dengan klasifikasi teoretis antara demokrasi prosedural dan demokrasi liberal (substantif). Proses demokratisasi menuju pendalaman atau konsolidasi demokrasi tetap memerlukan adanya pranata-pranata demokratis yang dapat memberi ruang, dasar, dan konstruksi bagi terlaksananya kegiatan, proses, dan tumbuhnya kultur demokratis. Tanpa pranata demokrasi yang akan menjamin aturan main demokrasi yang baru, aturan main yang lama akan tetap berlaku. Lebih buruk lagi, aturan main lama ini tidak saja dimainkan oleh pemain lama pro-status quo, tetapi juga pemain baru yang mungkin sebelumnya ada di p-ihak oposisi. Selama ini adalah aturan main yang ada, maka sistem status quo akan bertahan dan akhirnya membuka peluang kembalinya sistem otoriterisme.

    Banyak negara yang gagal mencapai konsolidasi karena proses pembuatan ruang-ruang demokrasi tidak cukup cepat dan efektif. Karena itu, beberapa pranata yang fundamental, seperti konstitusi yang menjamin hak-hak sipil warga negara dan supremasi sipil, harus segera dirumuskan. Pranata lain yang penting adalah undang-undang pemilu yang inklusif dan memungkinkan terjadinya sirkulasi pemimpin dan pembersihan sistem. Menurut Larry Diamond, ke-dua pranata ini penting bagi tercapainya konsolidasi karena tumbuhnya masyarakat serta nilai demokratis akan bergantung pada konstruksi yang memungkinkan kondisi tersebut untuk tumbuh. Tentu tidak hanya kedua pranata tersebut yang diperlukan. Pranata lain yang berkaitan de-ngan sistem peradilan juga harus ditegakkan sehingga seluruh perangkat rule of law dapat dijadikan aturan main yang baru untuk menjamin fondasi demokrasi yang kukuh.

    Sayangnya, proses ini tidak akan terjadi dalam semalam. Di banyak negara yang mengalami transisi, proses ini bahkan bisa mencapai dua dekade sehingga muncul kategori baru negara demokrasi yang oleh Todd Eisenstadt disebut sebagai “protracted transition countries” (negara transisi berkepanjangan) karena lamanya proses demokratisasi tersebut.

    Apa pun namanya, Indonesia jelas masih dalam masa transisi yang penuh dengan tantangan dan membutuhkan dukungan penuh dari pegiat pro-demokrasi untuk meruntuhkan aturan main lama dan sekaligus membangun aturan main yang baru. Dalam proses ini, baik pembangunan pranata maupun pengisian substansi demokrasi melalui sosia-li-sa-si kultur demokrasi perlu diciptakan seiring.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus