ARTOO-DETOO tiba-tiba jadi pahlawan.
Di sebuah pagi yang terang, ketika tidak pilek, ia berkata:
"Pemerintah kemarin bicara abrakadabra, kenapa kini bertindak
abrikadibri? "
Ucapan itu sebetulnya normal, karena ia cuma heran, tapi
koran-koran yang gesit memuat keheranannya itu di halaman satu.
Mungkin karena zaman sudah begitu rupa hingga keheranan sudah
merupakan berita. Atau pertanyaan sederhana sudah terasa sebagai
tindakan heroik, yang demi Allah jarang terjadi. Tentang
pemuatan itu Artoo-Detoo sih senang saja. Tapi suatu sore
beberapa hari kemudian pintu rumahnya diketuk orang. Ia rupanya
ditawari jadi pahlawan.
"Kami petugas, pak," kata para pengetuk itu. "Bapak akan kami
jadikan pahlawan. Bapak kami ambil. Tolong bawa saja handuk,
sikat gigi, sejumlah pakaian, buku-buku. Bagaimana, pak O,
tidak lama prosesnya. Tapi berapa hari persisnya kami tidak
tahu. Tergantung atasan dan sikap bapak sendiri."
Para petugas itu sopan. Dan Artoo-Detoo pun dibawa dengan jip
dan dimasukkan ke sebuah rumah. Rumah itu dijaga, di mana untuk
beberapa lama ia ditanyai macam-macam, diberi makan, boleh baca
buku, gosok gigi, pakai handuk dan bersiul Padamu Negeri. Ritus
untuk jadi pahlawan itu memang menimbulkan kejengkelannya,
karena ia tak bisa menolak, dan karena ia ditakut-takuti. Tapi
ia, seraya melawan ketakutannya, bersiul saja tiap sore.
Begitulah, di luar kehendaknya sendiri, ia jadi pahlawan. Tapi
Artoo-Detoo sejak itu sulit tidur. Tiap kali ia bicara, biar pun
hanya tentang nyamuk atau rempah-rempah, selalu terdengar tepuk
tangan gemuruh. Tiap kali ia merengut, berkilatanlah lampu-lampu
kamera. Para tetangganya, (atau tamu tetangganya, yang suka
membawa walkie-talkie), kini suka mengintip ke arah rumahnya,
biar pun dia sedang di WC. Apakah saya ini Elvis Presley,
bisiknya sengit. Ia kesal oleh statusnya yang baru: pahlawan.
Tapi di samping kesal, ia juga cemas. Ia mulai melihat ada
orang-orang yang menirukan jejaknya, menempuh ritus yang pernah
dialaminya. Bukan karena ia takut disaingi, tapi ia takut jika
rasa heran, atau pertanyaan, atau pernyataan menggugat, atau
kritik, jadi kehilangan motifnya yang asli. Menurut Artoo-Detoo,
motif kritik bukanlah untuk jadi pahlawan. Morif kritik bukan
untuk menunjukkan keberanian. Motif kritik menurut Artoo-Detoo
adalah untuk mencari kebenaran. Dan karena kebenaran final tak
kunjung tercapai, pencarian itu tak boleh mandeg. Artinya juga
tak boleh hanya mengulang.
Maka ditulisnya sepucuk selebaran: "Di zaman aneh seperti ini,
kritik tidak saja bisa mati karena digertak. Kritik bisa mati
karena ia bisa mempromosikan orang biasa jadi hero."
"Apa maksudnya?" begitulah bisik-bisik mereka yang membaca
selebaran itu. Dan sejumlah pengagumnyapun datang. "Artoo-Detoo,
Artoo-Detoo, where are you dan kenapa kau begitu?" seru mereka.
"Bukankah kami membutuhkan pahlawan? Dalam masa seperti ini,
ketika orang pada kecut, dan hanya pandai ngomong samar-samar,
bukankah kami membutuhkan pahlawan?"
Artoo-Detoo memandangi mereka semua. Ia menyeringai. Tapi
wajahnya masam. Ia benar-benar tak suka melihat orang
mengitarinya sebagai pengikut. Ia lebih suka mendapatkan kawan
yang menganggap diri seimbang.
Tapi justru karena itu ia bangun, menggertakkan gigi dan bicara.
Suaranya (aneh) kali ini lantang:
"Berbahagialah orang-orang yang di masa seperti ini membutuhkan
kritik, tapi tak membutuhkan pahlawan. Karena pahlawan akan tak
boleh dicela, hingga kritik tak bisa menyentuhnya. Berbahagialah
orang-orang yang mengritik bukan untuk jadi pahlawan, karena
jadi pahlawan adalah naik tahta, dan tiap tahta cenderung korup.
Berbahagialah mereka yang sadar bahwa pada hakikatnya kritik
membutuhkan kontra kritik, karena kebenaran perlu selalu di
gandrungi lagi. Berbahagialah mereka yang dari kritik
mendapatkan kontrakritik, bukan penjara, kebisuan atau pun
pemujaan. Karena itu akan menumbuhkan sikap fanatik."
Para pendengarnya terdiam. Lalu seorang dengan bibir gemetar
bicara: "Artoo-Detoo, bicaralah dehgan arah yang jelas, untuk
kami."
"Sorry. Berfikirlah sendiri."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini