Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kritik bukan untuk jadi pahlawan

Motif kritik bukan untuk menunjukkan keberanian, tapi untuk mencari kebenaran. mengkritik bukan untuk jadi pahlawan, karena pahlawan berarti naik takhta dan tiap takhta cenderung korupsi.

6 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARTOO-DETOO tiba-tiba jadi pahlawan. Di sebuah pagi yang terang, ketika tidak pilek, ia berkata: "Pemerintah kemarin bicara abrakadabra, kenapa kini bertindak abrikadibri? " Ucapan itu sebetulnya normal, karena ia cuma heran, tapi koran-koran yang gesit memuat keheranannya itu di halaman satu. Mungkin karena zaman sudah begitu rupa hingga keheranan sudah merupakan berita. Atau pertanyaan sederhana sudah terasa sebagai tindakan heroik, yang demi Allah jarang terjadi. Tentang pemuatan itu Artoo-Detoo sih senang saja. Tapi suatu sore beberapa hari kemudian pintu rumahnya diketuk orang. Ia rupanya ditawari jadi pahlawan. "Kami petugas, pak," kata para pengetuk itu. "Bapak akan kami jadikan pahlawan. Bapak kami ambil. Tolong bawa saja handuk, sikat gigi, sejumlah pakaian, buku-buku. Bagaimana, pak O, tidak lama prosesnya. Tapi berapa hari persisnya kami tidak tahu. Tergantung atasan dan sikap bapak sendiri." Para petugas itu sopan. Dan Artoo-Detoo pun dibawa dengan jip dan dimasukkan ke sebuah rumah. Rumah itu dijaga, di mana untuk beberapa lama ia ditanyai macam-macam, diberi makan, boleh baca buku, gosok gigi, pakai handuk dan bersiul Padamu Negeri. Ritus untuk jadi pahlawan itu memang menimbulkan kejengkelannya, karena ia tak bisa menolak, dan karena ia ditakut-takuti. Tapi ia, seraya melawan ketakutannya, bersiul saja tiap sore. Begitulah, di luar kehendaknya sendiri, ia jadi pahlawan. Tapi Artoo-Detoo sejak itu sulit tidur. Tiap kali ia bicara, biar pun hanya tentang nyamuk atau rempah-rempah, selalu terdengar tepuk tangan gemuruh. Tiap kali ia merengut, berkilatanlah lampu-lampu kamera. Para tetangganya, (atau tamu tetangganya, yang suka membawa walkie-talkie), kini suka mengintip ke arah rumahnya, biar pun dia sedang di WC. Apakah saya ini Elvis Presley, bisiknya sengit. Ia kesal oleh statusnya yang baru: pahlawan. Tapi di samping kesal, ia juga cemas. Ia mulai melihat ada orang-orang yang menirukan jejaknya, menempuh ritus yang pernah dialaminya. Bukan karena ia takut disaingi, tapi ia takut jika rasa heran, atau pertanyaan, atau pernyataan menggugat, atau kritik, jadi kehilangan motifnya yang asli. Menurut Artoo-Detoo, motif kritik bukanlah untuk jadi pahlawan. Morif kritik bukan untuk menunjukkan keberanian. Motif kritik menurut Artoo-Detoo adalah untuk mencari kebenaran. Dan karena kebenaran final tak kunjung tercapai, pencarian itu tak boleh mandeg. Artinya juga tak boleh hanya mengulang. Maka ditulisnya sepucuk selebaran: "Di zaman aneh seperti ini, kritik tidak saja bisa mati karena digertak. Kritik bisa mati karena ia bisa mempromosikan orang biasa jadi hero." "Apa maksudnya?" begitulah bisik-bisik mereka yang membaca selebaran itu. Dan sejumlah pengagumnyapun datang. "Artoo-Detoo, Artoo-Detoo, where are you dan kenapa kau begitu?" seru mereka. "Bukankah kami membutuhkan pahlawan? Dalam masa seperti ini, ketika orang pada kecut, dan hanya pandai ngomong samar-samar, bukankah kami membutuhkan pahlawan?" Artoo-Detoo memandangi mereka semua. Ia menyeringai. Tapi wajahnya masam. Ia benar-benar tak suka melihat orang mengitarinya sebagai pengikut. Ia lebih suka mendapatkan kawan yang menganggap diri seimbang. Tapi justru karena itu ia bangun, menggertakkan gigi dan bicara. Suaranya (aneh) kali ini lantang: "Berbahagialah orang-orang yang di masa seperti ini membutuhkan kritik, tapi tak membutuhkan pahlawan. Karena pahlawan akan tak boleh dicela, hingga kritik tak bisa menyentuhnya. Berbahagialah orang-orang yang mengritik bukan untuk jadi pahlawan, karena jadi pahlawan adalah naik tahta, dan tiap tahta cenderung korup. Berbahagialah mereka yang sadar bahwa pada hakikatnya kritik membutuhkan kontra kritik, karena kebenaran perlu selalu di gandrungi lagi. Berbahagialah mereka yang dari kritik mendapatkan kontrakritik, bukan penjara, kebisuan atau pun pemujaan. Karena itu akan menumbuhkan sikap fanatik." Para pendengarnya terdiam. Lalu seorang dengan bibir gemetar bicara: "Artoo-Detoo, bicaralah dehgan arah yang jelas, untuk kami." "Sorry. Berfikirlah sendiri."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus