Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rendra Diganggu Amoniak

WS Rendra dilempari kantong berisi amoniak dalam acara pembacaan sajak di tim, Jakarta. Sebelumnya ia telah menerima ancaman melalui surat kaleng agar berhenti melancarkan kritik.(nas)

6 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OBOR di kiri kanan panggung sudah menyala ketika Rendra tampil. Malam itu, Jum'at 28 April kemarin, ia membaca 15 puisi yang ia sebut "pamflet". Dengan karcis Rp 300, Teater Terbuka TIM yang berkapasitas 2.500, malam itu luber. Tak sedikit penonton yang berdiri di sisi kanan-kiri. Bercelana hijau dengan hem lengan pendek hitam, Rendra tampak lebih muda dari usianya yang 43 tahun. Rambutnya yang dulu gondrong dan separo putih, kini dipotong dan dicat hitam. Beberapa menit sebelumnya, "Kelompok Ngamen '78" menyanyikan 8 lagu-lagu bernada protes. Jam menunjuk angka 20.30 ketika Rendra membaca: Kutulis pamflet ini karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring laba-laba. Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk. Dan ungkapan diri menjadi pengiyaan. Mendadak terdengar keributan di antara penonton baris depan sayap kanan, di bawah lampu sorot sebelah timur. "Awas, gas airmata," beberapa orang berteriak. Sejumlah penonton bangkit, berlarian, terutama wanita. Dua pemuda pingsan dan muntah-muntah. Mereka digotong ke luar lewat panggung. Rendra terdiam sejenak, terbatuk-batuk sambil menutup hidung dengan setangan. Ketika itu memang tercium bau busuk yang menyebar sampai kursi deretan tengah. Meloncat Serentak dengan itu, beberapa kawan Rendra meloncat ke panggung, "membentengi" sang penyair. "Rendra, kami yang menjaga kamu di sini," teriak seorang dari mereka di antara puluhan pemuda di panggung. Para petugas berusaha menenangkan suasana. Beberapa penonton berteriak agar acara dilanjutkan. Bekas Kapolri Hoegeng Iman Santosa, yang duduk di kursi depan sederet dengan Bung Hatta, berdiri di atas kursinya. "Terus-terus," teriaknya sambil mengacungkan tangan. Rendra merah padam. Bagaikan orator ia melengking: "Saya tidak mundur. Saya bertanya apakah saudara akan mundur?" Penonton menyambut "tidaaaak". Dan Rendra melanjutkan pembacaan puisi. Bunyinya kebetulan sangat pas dengan suasana, hingga setiap kali mendapat tepukan tangan. Tak sedikit pula yang bersuit-suit dan ger. Apabila kritik hanya boleh melalui saluran resmi, maka kehidupan akan menjadi sayur tanpa garam. Kutulis pamflet ini, karena pamflet bukan tahu bagi penyair. Aku inginkan merpati pos. Aku ingin memainkan bendera-bendera isyarat dengan tangan-tanganku. Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian. Aku tidak melihat alasan kenapa harus diam dan termangu .... Sebelum membaca sajak Pertemuan Mahasiswa, di tengah sorak-sorai dan siulan para penonton, Rendra berteriak dengan tetap berusaha mengendalikan emosi: "Saya diganggu dan dijamah. Saya mempertahankan peradaban. Saya mempertahankan hukum dan akal sehat. Kekacauan yang tidak pasti itu tadi adalah teror. Adalah unsur anti peradaban. Adalah unsur yang memalukan bangsa." Sekitar jam 21.45, acara selesai. Para penggemar Rendra menyerbu ke belalang panggung. Rendra sendiri tampak letih, menyedot sebotol Green Spot. Malam itu telah terjadi pelemparan 6 buah kantong plastik berisi cairan amoniak. Diduga dilakukan oleh 3 orang tak dikenal, yang sampai minggu kemarin masih buron. Tampak amat menguasai medan, mereka melempar dari atas tembok tinggi 3 meter sebelah selatan Teater Terbuka. Tepatnya di bawah tiang antena pesawat penerima TV di belakang flat ketiga dari timur, yang dihuni oleh karyawan Planetarium. Mereka masuk lewat pekarangan belakang flat yang memang kurang berpenerangan. Kemudian melarikan diri dengan jip Canvas Top warna abu-abu berplat merah. Beberapa petugas keamanan TIM dan seorang anggota Polri tak berhasil mengejar jip yang tancap gas itu. Surat A. Kadir Minggu malam kemarin tangga setinggi 1¬ meter masih tersandar di tembok. Juga ada sebuah sarung tangan baru warna biru tercecer di semak-semak pohon keladi. Pagar bambu setinggi 1 meter yang membatasi flat kedua dan ketiga roboh. Sebuah kantong plastik masih utuh berisi amoniak yang ketinggalan di sana sudah diserahkan oleh petugas kepada Kodak Metro Jaya. Lima hari sebelum membaca puisi, Rendra sudah menerima surat peringatan dari seseorang yang menamakan dirinya A. Kadir dari "Sastrawan & Budayawan Generasi Penerus Pancasilais." Surat kaleng itu antara lain berbunyi: "Lu masih ngomong terus, nyindir terus. Siaplah menerima malapetaka pada dirimu dan keluargamu." Minggu siang kemarin, jam 12.10, Rendra menerima surat kaleng kedua di rumah kontrakannya di Pejambon. Surat yang ketikan dan gaya bahasanya sama dengan surat pertama ini diantar oleh seorang anak lelaki yang katanya menerimanya dari seseorang di jalan Kwini. Pada amplopnya tertulis si pengirim M. Zufri R, jalan Tirtayasa 3/9 Jakarta, yang juga mengaku sebagai "Kelompok Seniman & Budayawan Generasi Muda". Isinya antara lain "Kejadian tanggal 28 kemarin baru merupakan peringatan pertama bagimu. Bila kamu terus, bencana lebih berat akan menimpa dirimu. Sampai jumpa dalam permainan kita yang berikutnya." Siapa pelakunya? Rendra hanya menjawab: "Saya tak mau menduga-duga. Ya pokoknya mereka orang-orang yang tak bertanggungjawab. Semacam perbuatan Durno atau Sengkuni .... "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus