OBOR di kiri kanan panggung sudah menyala ketika Rendra tampil.
Malam itu, Jum'at 28 April kemarin, ia membaca 15 puisi yang ia
sebut "pamflet". Dengan karcis Rp 300, Teater Terbuka TIM yang
berkapasitas 2.500, malam itu luber. Tak sedikit penonton yang
berdiri di sisi kanan-kiri.
Bercelana hijau dengan hem lengan pendek hitam, Rendra tampak
lebih muda dari usianya yang 43 tahun. Rambutnya yang dulu
gondrong dan separo putih, kini dipotong dan dicat hitam.
Beberapa menit sebelumnya, "Kelompok Ngamen '78" menyanyikan 8
lagu-lagu bernada protes.
Jam menunjuk angka 20.30 ketika Rendra membaca: Kutulis pamflet
ini karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring laba-laba.
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk. Dan ungkapan diri menjadi
pengiyaan. Mendadak terdengar keributan di antara penonton baris
depan sayap kanan, di bawah lampu sorot sebelah timur. "Awas,
gas airmata," beberapa orang berteriak.
Sejumlah penonton bangkit, berlarian, terutama wanita. Dua
pemuda pingsan dan muntah-muntah. Mereka digotong ke luar lewat
panggung. Rendra terdiam sejenak, terbatuk-batuk sambil menutup
hidung dengan setangan. Ketika itu memang tercium bau busuk yang
menyebar sampai kursi deretan tengah.
Meloncat
Serentak dengan itu, beberapa kawan Rendra meloncat ke panggung,
"membentengi" sang penyair. "Rendra, kami yang menjaga kamu di
sini," teriak seorang dari mereka di antara puluhan pemuda di
panggung. Para petugas berusaha menenangkan suasana. Beberapa
penonton berteriak agar acara dilanjutkan. Bekas Kapolri Hoegeng
Iman Santosa, yang duduk di kursi depan sederet dengan Bung
Hatta, berdiri di atas kursinya. "Terus-terus," teriaknya sambil
mengacungkan tangan.
Rendra merah padam. Bagaikan orator ia melengking: "Saya tidak
mundur. Saya bertanya apakah saudara akan mundur?" Penonton
menyambut "tidaaaak". Dan Rendra melanjutkan pembacaan puisi.
Bunyinya kebetulan sangat pas dengan suasana, hingga setiap kali
mendapat tepukan tangan. Tak sedikit pula yang bersuit-suit dan
ger. Apabila kritik hanya boleh melalui saluran resmi, maka
kehidupan akan menjadi sayur tanpa garam. Kutulis pamflet ini,
karena pamflet bukan tahu bagi penyair. Aku inginkan merpati
pos. Aku ingin memainkan bendera-bendera isyarat dengan
tangan-tanganku. Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian. Aku
tidak melihat alasan kenapa harus diam dan termangu ....
Sebelum membaca sajak Pertemuan Mahasiswa, di tengah sorak-sorai
dan siulan para penonton, Rendra berteriak dengan tetap berusaha
mengendalikan emosi: "Saya diganggu dan dijamah. Saya
mempertahankan peradaban. Saya mempertahankan hukum dan akal
sehat. Kekacauan yang tidak pasti itu tadi adalah teror. Adalah
unsur anti peradaban. Adalah unsur yang memalukan bangsa."
Sekitar jam 21.45, acara selesai. Para penggemar Rendra menyerbu
ke belalang panggung. Rendra sendiri tampak letih, menyedot
sebotol Green Spot. Malam itu telah terjadi pelemparan 6 buah
kantong plastik berisi cairan amoniak. Diduga dilakukan oleh 3
orang tak dikenal, yang sampai minggu kemarin masih buron.
Tampak amat menguasai medan, mereka melempar dari atas tembok
tinggi 3 meter sebelah selatan Teater Terbuka. Tepatnya di
bawah tiang antena pesawat penerima TV di belakang flat ketiga
dari timur, yang dihuni oleh karyawan Planetarium. Mereka masuk
lewat pekarangan belakang flat yang memang kurang
berpenerangan. Kemudian melarikan diri dengan jip Canvas Top
warna abu-abu berplat merah. Beberapa petugas keamanan TIM dan
seorang anggota Polri tak berhasil mengejar jip yang tancap gas
itu.
Surat A. Kadir
Minggu malam kemarin tangga setinggi 1¬ meter masih tersandar di
tembok. Juga ada sebuah sarung tangan baru warna biru tercecer
di semak-semak pohon keladi. Pagar bambu setinggi 1 meter yang
membatasi flat kedua dan ketiga roboh. Sebuah kantong plastik
masih utuh berisi amoniak yang ketinggalan di sana sudah
diserahkan oleh petugas kepada Kodak Metro Jaya.
Lima hari sebelum membaca puisi, Rendra sudah menerima surat
peringatan dari seseorang yang menamakan dirinya A. Kadir dari
"Sastrawan & Budayawan Generasi Penerus Pancasilais." Surat
kaleng itu antara lain berbunyi: "Lu masih ngomong terus,
nyindir terus. Siaplah menerima malapetaka pada dirimu dan
keluargamu."
Minggu siang kemarin, jam 12.10, Rendra menerima surat kaleng
kedua di rumah kontrakannya di Pejambon. Surat yang ketikan
dan gaya bahasanya sama dengan surat pertama ini diantar oleh
seorang anak lelaki yang katanya menerimanya dari seseorang di
jalan Kwini. Pada amplopnya tertulis si pengirim M. Zufri R,
jalan Tirtayasa 3/9 Jakarta, yang juga mengaku sebagai
"Kelompok Seniman & Budayawan Generasi Muda". Isinya antara lain
"Kejadian tanggal 28 kemarin baru merupakan peringatan pertama
bagimu. Bila kamu terus, bencana lebih berat akan menimpa
dirimu. Sampai jumpa dalam permainan kita yang berikutnya."
Siapa pelakunya? Rendra hanya menjawab: "Saya tak mau
menduga-duga. Ya pokoknya mereka orang-orang yang tak
bertanggungjawab. Semacam perbuatan Durno atau Sengkuni .... "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini