Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Nasib Bantuan Ke Flores

Bantuan untuk korban kelaparan di Kabupaten Sikka, Flores telah mencukupi. Tetapi penduduk di kampung wolobela belum memperoleh pembagian beras, karena bantuan hanya untuk penderita kelaparan berat. (nas)

6 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANTUAN yang mengalir untuk para korban kelaparan di Kabupaen Sikka, Flores sampai akhir April tampaknya sudah mencukupi. Sejumlah 250 ton beras dan Rp 5 juta dari Departemen Sosial sudah sangat berarti untuk daerah yang saban tahun kekurangan beras 20 ton itu. Belum lagi dihitung dengan bantuan yang datang dari lembaga-lembaga swasta seperti PT Caltex Pacific Indonesia yang menyerahkan sumbangan susu dan obat-obatan sejumlah US$ 10.000. Pejabat pemerintah di sana, sekarang ini sedang bergumul menghadapi berbagai masalah dalam membagikan sumbangan tersebut yang ditumpuk di sebuah gudang di lapangan terbang Maumere dan di Pos Komando yang terletak di seberang kantor Pj. Bupati Dan Woda Palle. Untuk mempercepat sampainya bantuan, sebuah helikopter Puma sejak 22 April lalu mondar-mandir di udara mendrop bahan makanan ke daerah bencana yang diisolir hutan dan bukit terjal. Semula bantuan itu akan dibawa lewat jalan darat, tapi kemudian batal karena untuk mencapai daerah bencana terjauh seperti Wolobela diperlukan perjalanan satu hari jalan kaki. Dengan heli, daerah tersebut bisa dicapai dalam 10 menit tapi biayanya cukup besar. Sebab jenis heli ini menelan Rp 700.000 untuk tiap jam terbang. Bagaimana pun bantuan itu akhirnya sampai juga ke kampung-kampung pusat kelaparan seperti Lekebai, Wolofeo, Wolobela dan Woloara. Ditumpuk dan dibagi-bagikan di rumah kepala desa. Woloara tercatat sebagai daerah yang paling cepat membagikan bantuan. Tapi penduduk Wolobela yang sudah tak sabar lagi berjumpa dengan nasi, sampai akhir April masih harus tertunggu-tunggu. 4 Tahun 5 Kg Pada 26 April penduduk dari daerah yang berbatu-batu itu sudah berkeluaran dari rumahnya dan antri untuk menerima jatah beras 400 gr per hari untuk orang dewasa, dan 250 gram untuk anak-anak. Tapi mendadak sontak barisan antri itu bubar dengan kecewa karena pembagian ditangguhkan. Menurut keterangan, Pj. Bupati Palle ingin menyisipkan unsur pendidikan dalam pembagian tersebut. Karena itulah dia tidak menyamaratakan penduduk daerah tersebut yang berjumlah 2500 sebagai berhak menerima bantuan. Hanya 1600 orang yang boleh. Kepala desa Wolobela sendiri sejak semula berniat untuk membagi rata sumbangan tadi kepada penduduknya. "Sebab semua orang kelaparan di sini. Lihatlah lumbung mereka," katanya kepada wartawan dari Jakarta dan anggota DPRD Sikka, Steph Wula serta Donatus Hure, Ketua Biro Sosial Maumere. Kepala Desa Djama Siga nampak cemas akan menanggung beban dari penduduknya kalau-kalau pembagian tetap didasarkan pada klasifikasi penderita kelaparan berat dan ringan. "Saya akan berangkat ke Maumere untuk mencari jalan keluar pada bupati," katanya di tengah-tengah timbunan beras di rumahnya. Kekurangan makan di daerah pedalaman baian timur dari Kabupaten Sikka yang berpenduduk 18.000 (10% dari jumlah penduduk Sikka yang 206.000), nampaknya sudah merupakan penyakit yang menahun. Panen padi hanya sekali setahun, selebihnya jagung. Kekurangan makanan akan jadi tambah menghantam kalau terjadi serangan angin seperti Januari lalu, yang merontokkan bunga tanaman tersebut. Gambaran keadaan kekurangan gizi penduduk bisa terlihat dari sekitar 500 anak-anak (termasuk sebagian orang tua) yang ditampung dalam Taman Gizi yang diselenggarakan oleh Biro Sosial Maumere. Lebih dari 30% dari anak-anak tersebut setelah ditimbang berada dalam kategori kekurangan gizi yang buruk. Di Wolobela ada seorang anak yang berumur 4 tahun dengan berat badan 5 kg. Anak umur sebegitu dalam keadaan normal, beratnya 15 kg. Sementara seorang tua berusia 37 tahun bernama Paga di Wolofeo (bersama dua anaknya masuk Taman Gizi), bobot tubuhnya hanya 24 kg. Pemerintah tampaknya tidak mau pengalaman pahit ini terulang lagi. Sumber bencana yang datang dari sistim pertanian rakyat yang berpindah-pindah mengakibatkan erosi dan hilangnya hutan sebagai penadah air, akan diatur secara mendasar. Mulai Juni mendatang diharapkan sudah dapat dimulai pelaksanaan rehabilitasi hutan dengan penanaman lamtoro dan penterasan untuk areal 1000 ha. Daerah seluas itu akan mencakup 1500 kepala keluarga. Masing-masing KK akan menangani areal tanah 2 Ha dan kepada mereka akan didrop biaya sebesar Rp 75 juta. Diharapkan kelaparan tak terulang lagi. Suatu beban yang dibawa sampai mati oleh Pejabat Gubernur NTT El Tari, 52 tahun. Ia meninggal Sabtu, 29 April yang baru lalu, akibat serangan jantung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus