25 April lalu, perayaan ulang tahun ke-28 'Republik Maluku
Selatan' berlangsung dengan tenang di gedung pertemuan
Houtrusthallen di Den Haag, Belanda. Dan dubes RI Sutopo Yuwono
juga bisa bercakap dengan tenang tentang masalah itu. Hadir di
Jakarta sejak dua minggu lalu guna mengikuti pertemuan para
dubes menjelang sidang IGGI, Sutopo tampak sangat optimis.
"Penyelesaian final masalah RMS akan tercapai antara Mei sampai
Juli mendatang," kata Sutopo.
Dalam bulan-bulan mendatang ini, parlemem Belanda akan bersidang
membahas Nota Kabinet Van Agt tentang 'Problematik minoritas
Maluku di Negeri Belanda'. Melihat komposisi parlemen maupun
kabinet yang dikuasai partai Kristen-Demokrat (CDA) dan partai
Liberal (VVD) -- serta kejenuhan masyarakat Belanda umumnya
menghadapi teror 'RMS' di sana -- Sutopo Yuwono optimis bahwa
Nota pemerintah Belanda akan diterima parlemen dengan suara
bulat.
Mengejutkan
Sikap pemerintah Belanda sudah tegas tersurat di Nota tersebut:
Pemerintah Belanda menolak sama sekali gagasan 'RMS', dan juga
tak pernah menjanjikan kemerdekaan bagi Maluku Selatan seperti
yang selama ini diklaim pemimpin 'RMS' Manusama. Selanjutnya,
masalah minoritas Maluku di Belanda itu akan diselesaikan dengan
integrasi penuh ke dalam masyarakat Belanda. Bagi yang ingin
pulang ke Indonesia, pemerintah Belanda tetap bersedia membantu.
Sesuai dengan kesepakatan yang telah diambil bersama pemerintah
RI dalam perjanjian di Wassenaar, Agustus 1975.
Sementara itu, Sutopo Yuwono dalam interpiu dengan George
Adicondro dari TEMPO pekan lalu, juga melihat landasan
bergerak para pemimpin 'RMS' -- yakni kalangan Maluku yang tak
berkewarganegaraan (stateless) -- sudah semakin sempit. Dari 34
ribu orang Maluku di Belanda, 9 ribu sudah jadi warga negara
Indonesia. Yang warga negara Belanda, menurut laporan
Kementerian Kebudayaan, Hiburan dan Sosial (CRM) Belanda,
sudah 18 ribu. Berarti yang stateless tinggal sekitar 7 ribu.
Kurang dari 25% dari seluruh masyarakat Maluku di Belanda.
Angka itu mengejutkan. Selama ini yang sering tersiar bahwa yang
WNI hanya 5 ribu orang. Namun menurut Sutopo Yuwono, "dalam 4
tahun terakhir ini ada tambahan 4000 WNI baru." Dua ribu orang
di antaranya diteguhkan kembali kewarganegaraannya setelah
terkatung-katung sejak putusnya hubungan diplomatik dengan
Belanda tempo hari.
Peneguhan kembali itu dimungkinkan setelah DPR-RI memutuskan
amandemen terhadap UU Kewarganegaraan yang lama (1958). Menurut
UU tersebut, warganegara Indonesia di luar negeri yang dalam 5
tahun tak mendaftarkan kembali kewarganegaraannya di kedutaan
atau konsulat terdekat "otomatis gugur kewarganegaraannya."
Namun menurut UU No. 3/1976, mereka dapat memperoleh kembali
paspor WNI-nya asal "mendaftar kembali dalam waktu setahun,"
katanya. UU baru itulah yang dimanfaatkan dengan baik oleh
petugas KBRI di Belanda.
Letupan Intern
Walaupun begitu KBRI tetap berminat ikut aktif membuyarkan
radikalisme 'RMS'. Caranya, menurut Sutopo, "dengan memberikan
visi yang berbeda dari yang selama ini diberikan orang tua
mereka, dan mengajak mereka melihat tanah air dengan segala
masalah yang kita hadapi di sini." Dengan bantuan CRM, KBRI
membuka pintu bagi 'kunjungan orientasi' orang Maluku di Belanda
ke Indonesia -- termasuk kunjungan ke kampung halaman. Dimulai
dengan mereka yang jelas pro-RI, sampai mereka yang tergolong
aktivis 'RMS'. Misalnya dalam kunjungan terakhir, awal tahun
ini, ada seorang bekas menteri 'RMS' Kuhuwael.
Betapapun, kunjungan itu tak juga dapat mencegah aksi teroris.
Menurut Sutopo Yuwono, "itu memang tak dapat dielakkan." Sebab
sekarang ini, sedang berlangsung "pergolakan sengit" di kalangan
generasi muda Maluku di sana. "Aksi kekerasan, seperti
pendudukan gedung propinsi Drente Maret lalu, merupakan letupan
akibat pergolakan intern." Tapi Sutopo optimis bahwa "nanti akan
ada kristalisasi yang diharapkan mendekati pemecahan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini