Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Penyelesaian Terakhir RMS

Belanda menolak gagasan RMS dan akan dibicarakan dalam sidang parlemen. Dubes RI di Belanda Sutopo Yuwono menjelaskan keadaan masyarakat Maluku & pandangan orang Belanda terhadap kegiatan RMS. (nas)

6 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

25 April lalu, perayaan ulang tahun ke-28 'Republik Maluku Selatan' berlangsung dengan tenang di gedung pertemuan Houtrusthallen di Den Haag, Belanda. Dan dubes RI Sutopo Yuwono juga bisa bercakap dengan tenang tentang masalah itu. Hadir di Jakarta sejak dua minggu lalu guna mengikuti pertemuan para dubes menjelang sidang IGGI, Sutopo tampak sangat optimis. "Penyelesaian final masalah RMS akan tercapai antara Mei sampai Juli mendatang," kata Sutopo. Dalam bulan-bulan mendatang ini, parlemem Belanda akan bersidang membahas Nota Kabinet Van Agt tentang 'Problematik minoritas Maluku di Negeri Belanda'. Melihat komposisi parlemen maupun kabinet yang dikuasai partai Kristen-Demokrat (CDA) dan partai Liberal (VVD) -- serta kejenuhan masyarakat Belanda umumnya menghadapi teror 'RMS' di sana -- Sutopo Yuwono optimis bahwa Nota pemerintah Belanda akan diterima parlemen dengan suara bulat. Mengejutkan Sikap pemerintah Belanda sudah tegas tersurat di Nota tersebut: Pemerintah Belanda menolak sama sekali gagasan 'RMS', dan juga tak pernah menjanjikan kemerdekaan bagi Maluku Selatan seperti yang selama ini diklaim pemimpin 'RMS' Manusama. Selanjutnya, masalah minoritas Maluku di Belanda itu akan diselesaikan dengan integrasi penuh ke dalam masyarakat Belanda. Bagi yang ingin pulang ke Indonesia, pemerintah Belanda tetap bersedia membantu. Sesuai dengan kesepakatan yang telah diambil bersama pemerintah RI dalam perjanjian di Wassenaar, Agustus 1975. Sementara itu, Sutopo Yuwono dalam interpiu dengan George Adicondro dari TEMPO pekan lalu, juga melihat landasan bergerak para pemimpin 'RMS' -- yakni kalangan Maluku yang tak berkewarganegaraan (stateless) -- sudah semakin sempit. Dari 34 ribu orang Maluku di Belanda, 9 ribu sudah jadi warga negara Indonesia. Yang warga negara Belanda, menurut laporan Kementerian Kebudayaan, Hiburan dan Sosial (CRM) Belanda, sudah 18 ribu. Berarti yang stateless tinggal sekitar 7 ribu. Kurang dari 25% dari seluruh masyarakat Maluku di Belanda. Angka itu mengejutkan. Selama ini yang sering tersiar bahwa yang WNI hanya 5 ribu orang. Namun menurut Sutopo Yuwono, "dalam 4 tahun terakhir ini ada tambahan 4000 WNI baru." Dua ribu orang di antaranya diteguhkan kembali kewarganegaraannya setelah terkatung-katung sejak putusnya hubungan diplomatik dengan Belanda tempo hari. Peneguhan kembali itu dimungkinkan setelah DPR-RI memutuskan amandemen terhadap UU Kewarganegaraan yang lama (1958). Menurut UU tersebut, warganegara Indonesia di luar negeri yang dalam 5 tahun tak mendaftarkan kembali kewarganegaraannya di kedutaan atau konsulat terdekat "otomatis gugur kewarganegaraannya." Namun menurut UU No. 3/1976, mereka dapat memperoleh kembali paspor WNI-nya asal "mendaftar kembali dalam waktu setahun," katanya. UU baru itulah yang dimanfaatkan dengan baik oleh petugas KBRI di Belanda. Letupan Intern Walaupun begitu KBRI tetap berminat ikut aktif membuyarkan radikalisme 'RMS'. Caranya, menurut Sutopo, "dengan memberikan visi yang berbeda dari yang selama ini diberikan orang tua mereka, dan mengajak mereka melihat tanah air dengan segala masalah yang kita hadapi di sini." Dengan bantuan CRM, KBRI membuka pintu bagi 'kunjungan orientasi' orang Maluku di Belanda ke Indonesia -- termasuk kunjungan ke kampung halaman. Dimulai dengan mereka yang jelas pro-RI, sampai mereka yang tergolong aktivis 'RMS'. Misalnya dalam kunjungan terakhir, awal tahun ini, ada seorang bekas menteri 'RMS' Kuhuwael. Betapapun, kunjungan itu tak juga dapat mencegah aksi teroris. Menurut Sutopo Yuwono, "itu memang tak dapat dielakkan." Sebab sekarang ini, sedang berlangsung "pergolakan sengit" di kalangan generasi muda Maluku di sana. "Aksi kekerasan, seperti pendudukan gedung propinsi Drente Maret lalu, merupakan letupan akibat pergolakan intern." Tapi Sutopo optimis bahwa "nanti akan ada kristalisasi yang diharapkan mendekati pemecahan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus