BERITA berjudul terjepit KUHAP (TEMPO, 25 Januari, Hukum) menarik kami komentari. Bapak Tuada Bidum Adi Andojo Sutjipto, S.H., benar sekali: di dalam negara hukum, hukum (termasuk undang-undang) harus ditegakkan. Tetapi di dalam negara hukum, etika berlaku di atas hukum. Tidak ada hukum yang bertentangan dengan etik. Yan Munar divonis seumur hidup karena memperdagangkan heroin 700 gram. Andai dilepas dari tahanan, dengan kemungkinan besar ia lari ke luar negeri hanya karena kealpaan administratif di dalam putusan Pengadilan Tinggi, itu tidak etis. Juga mengherankan, mengapa Mahkamah Agung tidak membatalkan segera putusan Pengadilan Tinggi yang tanpa menyebut tuduhan itu saja, tapi langsung memutus perkara itu sendiri. Sekali lagi etika di atas hukum. Putusan hakim perlu sah menurut hukum. Tetapi lebih penting lagi harus dirasakan adil oleh rakyat. Itu berarti harus etis. Sebagai perbandingan kami ingin menambahkan dengan kasus-kasus lainnya. Terdakwa Drs. Nur Usman: sekian kali sidang diundur dengan surat dokter. Ternyata, kemudian, terdakwa segar bugar keluar dari tahanan. Formal-yuridis, ini sah tapi tidak etis. Lalu, Drs. Fatwa diwajibkan membaca pleidoi siang-malam sampai pingsan, agar tidak terpaksa dikeluarkan dari tahanan. Formal-yuridis ini pun sah, tapi juga tidak etis. Terakhir, Advokat Mr. S.P.W. mempertahankan masjid untuk Muhammadiyah. Lawannya berbuat 21 tindak pidana untuk merebut masjid itu dari Muhammadiyah, tidak dituntut. Sementara itu, advokat yang mempertahankan masjid dituntut dan disidangkan pidana. Perkara ini formal-yuridis dan etis batal. Tetapi sidang berjalan terus. Catatan ini kami kemukakan untuk mohon perhatian para hakim dan Tim P-7/BP-7 bahwa peradilan Indonesia sekarang kurang memperhatikan segi etik perkara-perkara yang diadili. MR. SOEMARNO P. WIRJANTO (Advokat) Jalan Teposanan 18 Solo, Jawa Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini