PORKAS sepak bola akhirnya mengambil korban. Itu terjadi di Tebingtinggi, 80 kilometer dari Medan, Sumatera Utara. Korbannya tidak tanggung-tanggung. Abdul Muis Nasution, Sekretaris Daerah Tebingtinggi, diskors selama lima bulan dari jabatannya. Sedang Rosna Harahap, Kepala Bagian Perekonomian Pemda Tebingtinggi, dicopot dari jabatannya pada hari yang sama, 29 Januari silam. Abdul Muis dan Rosna menjadi korban bukan karena memasang porkas. Mereka ditindak karena mengeluarkan surat izin tempat penjualan porkas. Abdul Muis, 39, konon menangis sewaktu menerima surat keputusan (SK) Wali Kota Tebingtinggi, Rupai Peranginangin. Kisah penindakan kedua pejabat teras itu bermula dari keterkejutan Rupai. Wali kota ini kaget setelah menerima informasi bahwa di beberapa tempat di wilayahnya muncul tempat penjualan porkas. Antara lain di Jalan Sudirman, dan Jalan A. Yani. Padahal, ia tahu tempat itu belum memperoleh izinnya. Spontan, pada 25 Januari lalu ia menutup tempat-tempat penjualan itu. Setelah diselidiki, anehnya, beberapa tempat itu memiliki surat izin dari Sekda Tebingtinggi. Rupanya, jauh hari sebelumnya ada seseorang yang memohon kepada Pemda agar diberi izin membuka tempat penjualan porkas di Jalan Sudirman. Permohonan ini masih dipelajari, tapi entah mengapa, Rosna Harahap, Kepala Bagian Perekonomian Kantor Wali Kota tak sabar. Kabarnya, pemohon tersebut telah menemuinya dan menyodorkan fotokopi surat permohonannya kepadanya. Maka, Rosna pun menyelipkan fotokopi surat permohonan itu dalam bundel surat-surat yang harus diteken Abdul Muis. Ternyata, Muis, yang mungkin kurang teliti, menandatangani surat itu. Permainan yang terjadi masih berlanjut. Rupanya, bukan cuma Rosna yang melakukan itu. Kecik, seorang pegawai di Bagian Perekonomian itu, tak kalah lihai. Surat izin yang hanya berlaku buat satu tempat penjualan porkas ltu dipakai hingga menjadi enam tempat. Kabarnya, Kecik -- yang hingga kini tak diperkenankan masuk kantor hingga keputusan terhadapnya turun -- cuma disogok Rp 10 ribu untuk melakukan itu. Penindakan itu sudah dilaporkan kepada Gubernur Sum-Ut. Namun, menurut sebuah sumber, dalam laporan Wali Kota Tebingtinggi tersebut tidak disebutkan penindakan itu karena ada kaitannya dengan porkas, tapi karena "pelanggaran disiplin". Rosna, misalnya, disebutkan karena telah memproses surat penting tanpa menggunakan kelengkapan berkas dari pemohon izin. Ia juga disalahkan karena memproses surat tanpa konsultasi dengan atasannya. Sedang Muis ditindak karena telah meneken surat penting, berupa surat izin, tanpa diketahui Wali Kota atau mendapat izin Gubernur. Tak disinggungnya porkas dalam laporan konon karena Pemda Tebingtinggi tak ingin penindakan itu dihubungkan dengan porkas. "Porkas 'kan kebijaksanaan pusat yang harus diamankan daerah," ujar sumber itu. Asisten IV Bidang Kesra Kantor Gubernur Sum-Ut Bahmid Muhammad juga berkelit. Ia juga mengatakan, penindakan itu tak ada kaitannya dengan porkas. "Penindakan itu karena semata-mata pelanggaran disiplin saja," ujarnya. Bahmid membenarkan, Wali Kota Tebingtinggi memang telah menunda peredaran kupon porkas di wilayahnya. "Tapi itu tidak berarti Pemda Tebingtinggi tidak mengizinkan kupon porkas itu beredar di wilayahnya. Wali kota itu cuma ingin lebih dulu berkonsultasi dengan Gubernur Sum-Ut," katanya. Pemda Sum-Ut, tutur Bahmid lagi, memang akan mengamankan keputusan pemerintah pusat, termasuk pengedaran porkas. Di Sum-Ut, terutama di Medan, porkas sepak bola tampaknya laris. Walau hanya berpenduduk hampir 1 juta, Medan ditargetkan bisa menghabiskan 500 ribu lembar kupon yang dipasarkan sekali sepekan itu. "Itu target yang ditentukan pusat," kata P. Halim, Direktur PT Multrade Multi Makmur, yang menjadi agen tunggal penjualan porkas untuk Sum-Ut. Sasaran itu agaknya bisa tercapai. Sebab, pada penarikan pertama, sekitar 100 ribu kupon terjual, dan pada penarikan kedua mencapai sekitar 150 ribu. Mungkin larisnya kupon itulah yang mendorong Rosna dan Kecik bertaruh -- dan kalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini